Foto ilustrrasi piket isi air tempat wudhu
Oleh : H. Maskut Candranegara
Setengah abad lebih perjalanan hidupku banyak ku habiskan di kota, tepatnya di Bandar Lampung dan di Jakarta. Hiruk-pikuk dan hingar-bingar di kota, membuat hati tambah ruwet dan semakin hari semakin jenuh mengahadpi permasalahan rutinitas hidup.
Saat seperti itu anganku melayang jauh terbang ke masa keci, dimana masa kanak-kanak di kampungku yang penuh dengan canda dan tawa riang-gembira bersama sepermainan.
Kampung halamanku semasa kecil, saat ini sudah jauh berubah, bahkan perubahannya bisa di bilang 360 derajat.
Bagaimana tidak dikatakan berubah 360 derajat? Yang semula merupakan desa penempatan proyek Transmigrasi Repelita II, Way Abung II Lampung Utara, kini menjadi kabupaten berdiri sendiri Tulang Bawang Barat, pemekaran dari kabupaten Tulang Bawang, sedang Tulang Bawang merupakan pemekaran dari kabupaten Lampung Utara.
Sebagai anak yang orang tuanya pendatang dari pulau Jawa ke Lampung mengikuti program Transmigrasi era pemerintah Orde Baru, tentu banyak menyimpan kenangan pahit dan manis di tempat yang baru tersebut.
Kenangan dimasa kecil sangat banyak sekali, namun yang dapat dikisahkan hanya sebagian kecil saja tentunya. Seperti saat belajar mengaji, sekolah, bermain dengan teman sebaya dan mengikuti rutinitas orang tua.
Biasanya setiap sore jelang masuk waktu mahrib tiba, di kampung anak-anak sebaya ramai-ramai berangkat mengaji di Langgar atau biasa disebut juga Mushola, tidak jauh dari rumah. Mengenakan kain sarung dan kopiyah hitam dan membawa buku Turutan Juz Amma.
Sebelum sholat maghrib tentu harus mengambil air wudhu terlebih dahulu untuk bersuci ditempat yang bernama padasan. Air untuk wudhu diambil dari sumur menggunakan timba yang di tarik dengan kerekan, bahkan ada juga yang lebih tradisional lagi alat mengambil air dari dalam sumur dengan jungkitan dari batang bambu.
Dibuatkan jadwal piket setiap sore, bergiliran yang harus mengisi air wudhu di padasan atau jeding. Namun ada juga yang mau enak sendiri tidak mau melaksanakan piket.
Selesai sholat maghrib, membuat lingkaran di Langgar, yang laki-laki kumpul dengan laki-laki dan yang perempuan kumpul bersama perempuan di dampingi guru ngaji. Dimulai dengan doa belajar dilanjutkan dengan hafalan yang sudah diajarkan sebelumnya. Setelah itu bergantian maju menghadap guru ngaji satu persati dengan membawa buku turutan juz amma.
Selesai belajar mengaji biasanya bermain bersama-sama, terlebih lagi bila sedang terang bulan purnama bisa sampai larut malam baru bubaran atau setelah capek. Biasanya yang paling seru permainan petak umpet atau gobak sodor. Cara bermainnya yang kalah menjaga tiang atau patok penanda, sedang yang menang bersembunyi, yang kalah wajib mencari dimana bersembunyi dan yang menang bisa merebut patok yang ditinggalkan penjaga karena mencari yang bersembunyi.
Pada pagi harinya berangkat ke sekolah jalan kaki ramai-ramai tanpa alas kaki, umumnya pada waktu itu sekolah belum diwajibkan mengenakan sepatu alias nyeker. Berjalan kaki menuju sekolah kurang lebih 4 km, namun tanpa terasa menempuh jarak tersebut pada waktu itu karena beramai-ramai.
Di sekolah pada jam istirahat dimanfaatkan untuk bermain, anak laki-laki ada yang bermain kelereng namun ada yang bermain tradisional yaitu adu buah pohon karet. Anak perrmpuan lebih suka permainan tali karet gelang yang dibentangkan dengan dipegang dua anak untuk berlompat-lompatan.
Sepulang dari sekolah setelah sholat zuhur dan makan siang, sudah punya tugas rutin dari orang tua, yaitu menggembala sapi. Saat menggembala sapi ini juga lebih seru lagi, sapi di lepas memakan rumput, si penggembalai asyik bermain sambil mencari jangkrik, setelah jangkrik di peroleh kadang di adu, namun juga ada yang di pelihara untuk dinikmati suara jangkriknya.
Kegiatan masa kanak-kanak yang lainya dan tidak kalah serunya adalah, bila menjelang libur akhir pekan, tidak ke sekolah, maka pada sabtu malam suka diajak orang tua ke ladang bakda sholat maghrib untuk menjaga kebun jagung dari pencurian orang atau ancaman dimakan babi hutan. Ditengah kebun jagung berdiri sebuah gubuk, di bagian atas gubuk bisa buat tidur sedang di bagian bawah bisa buat menaruk hasil panen dan juga buat bakar jagung.
Di bagian lain sebelum tidur biasanya punya acara yang tidak kalah seru, yaitu menyiapkan beberapa pancing atau kail di kasih umpan, lalu di letakkan di rawa-rawa tidak jauh dari gubuk. Pada esok hari jelang mata hari terbit pancing-pancing diperikaa satu persatu, ada yang dapat ikan gabus, lele, belut namun ada juga yang umpannya habis tidak dapat ikannya.
Itulah sekelumit kenangan indah kampung halamanku desa Candra Kencana yang kini telah mekar menjadi 3 desa, yaitu Canda Mukti, Candra Kencana dan Candra Jaya, kecamatan Tulang Bawang Tengah kabupaten Tulang Bawang Barat.
Tulisan ini bagian dari kumpulan kisah "Mengenang Kampung Halaman" yang diterbitkan dalam sebuah buku.
Denpasar Bali, 7 Desember 2023