Oleh : KH Ahmad Ishomuddin
Ilmu dicabut oleh Allah dengan cara mewafatkan ulama. Saat orang berilmu ('ālim) mulai langka, maka manusia menjadikan orang bodoh (juhhāl) sebagai pemimpin yang bila mereka ditanya maka mereka menjawab pertanyaan itu (berfatwa) tanpa ilmu, sehingga mereka sesat dan menyesatkan orang lain.
Ulama (ahl al-'ilmi) sebagai pewaris ilmu dari para Nabi jelaslah manusia pilihan Allah yang memiliki sejumlah keutamaan dan derajat yang tinggi melebihi kaum beriman pada umumnya.
Karena rasa takut (khasy-yah) nya kepada Allah, maka ulama tidak kenal lelah untuk mengamalkan, mengajarkan ilmunya dan membimbing umat manusia agar meraih kebaikan duniawi dan ukhrawi dengan keteladanan, kebijaksanaan, lemah lembut dan mengedepankan rasa kasih sayang.
Oleh karena itu, wajarlah jika para malaikat, penduduk langit dan bumi hingga semut-semut di liangnya serta ikan-ikan di lautan pun memintakan ampunan Allah untuk mereka.
Hanya orang yang angkuh dan tidak tahu kadar dirinya saja yang berani menodai kehormatan dan dengan tergesa-gesa menyalahkan ulama. Lebih-lebih apabila dirinya sudah mulai merasa pandai berceramah agama di hadapan orang-orang awam. Seolah-olah keseluruhan ilmu agama yang demikian luas itu sudah tertampung di dalam dirinya, sehingga tanpa kecuali semua pertanyaan selalu ia berikan jawabannya dan semua masalah kehidupan ia berikan solusinya. Sungguh, semua itu sebenarnya dilakukan untuk kepentingan dirinya sendiri dan sekali-kali tidak untuk kepentingan agama.
Hendaklah umat Islam seluruhnya berhati- hati dalam belajar agama. Sebab saat ini banyak penceramah yang tidak jelas mengambil ilmu agama entah dari siapa, yang dengan sembarangan mengutip dalil berupa teks ayat al-Quran dan atau hadits Nabi secara tidak utuh, tanpa memahami konteksnya (sabab an-nuzūl dan sabab al-wurūd), bahkan hingga menafsirkan semaunya sendiri, tanpa merujuk kepada kitab-kitab tafsir karya ulama terdahulu.
Kesimpulan yang keliru dalam memaknai maksud ayat dan hadits Nabi dan tidak menerapkan sesuai dengan konteksnya yang tepat justru positif menimbulkan mafsadat, memunculkan kegaduhan demi kegaduhan dan bahkan membawa bencana bagi setiap hubungan kemanusiaan.
Andaikata orang yang tidak tahu substansi agama diam saja, tidak ikut menyampaikan pendapatnya, niscaya perselisihan tidak semakin merajalela.