Oleh ; KH. Ahmad Ishomuddin
Sudah biasa aku mencuci mobilku sendiri, namun siang kemarin aku mencucinya di pencucian mobil yang tidak jauh dari rumah. Dengan sabar aku menunggu antrian panjang sambil asyik membaca beberapa kitab karya al-Syeikh Abdul Halim Mahmud berformat PDF di HP canggih pemberian istriku.
Tiba tiba seorang bapak dengan sopan minta idzin duduk di dekatku, mengusik kesendirianku. Aku tidak meneruskan membaca karena menghormatinya. Setelah berkenalan, ia banyak bercerita tentang siapa dirinya dan aku hanya mendengarnya dengan setia, sambil sesekali menimpali seperlunya. Ia kini seorang EO (Event Organizer) lomba burung berkicau di Lampung dengan skala pergaulan yang luas, namun dari keseluruhan obrolannya terkesan tidak ada sama sekali rasa ingin menonjolkan diri.
Tentu saja, seperti biasa aku tidak terlalu terbuka menceritakan siapa diriku, karena siapalah aku, sangat tidak perlu menceritakan kelebihan diri sendiri kepada orang lain.
Dengan runtut ia ceritakan masa mudanya yang gelap gulita, menghabiskan waktu malam bersama kawan-kawannya dengan mabuk-mabukan hingga menjelang pagi di berbagai diskotik ternama, baik di Lampung maupun di Jakarta. Ia juga rajin berjudi hingga mobil mewah kesayangan pemberian orang tuanya pun terjual untuk modal berjudi. Ia bahkan berani membentak dan menantang duel ayahnya dan dosennya sendiri saat dinasehati. Intinya banyak keburukan dan kejahatan yang dulu pernah ia lakukan, semua diceritakan padaku tanpa beban dan ekspresi rasa malu.
Karenanya aku bertanya padanya, bagaimana ia bisa berhenti total dari semua itu. Ia menjawab bahwa semua keburukan yang ia lakukan karena salah memilih teman pergaulan, semua itu adalah kebodohan, semua itu tidak ada manfaatnya sama sekali, bahkan sangat merusak.
"Alhamdulillah pak, saya dan kawan kawan saya sudah berhenti semuanya, bahkan kini paling benci kepada dunia kejahatan semacam itu, sekarang alhamdulillah saya dan anak isteri sudah rajin ke masjid untuk shalat berjamaah dan mulai belajar agama", pungkasnya.
Alhamdulillah, aku bersyukur karena siang itu Allah telah memberikan teman dudukku seorang yang telah bertaubat dengan taubat yang sesungguhnya.
Aku pun permisi pulang karena mobilku sudah bersih selesai dicuci. Ia meminta nomor hand phone ku dan bertanya kembali nama lengkapku. Ia berkata, "Sepertinya nama bapak ini sudah sering saya dengar."
Aku diam saja dan buru-buru permisi pulang dengan hati lapang.