Nadirsyah Hosen - (Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama di Australia – Selandia Baru)
Melintas. Pada mulanya, setiap kita, tanpa terkecuali, terkukung pada diri, entah itu berupa ego, lokasi, maupun wawasan. Untuk itu kita butuh melintas, keluar dari penjara diri dari apa yang kita miliki. Nabi Muhammad melintas lebih dari sekali. Diawali dengan melintas dunia fisik dari Masjidil Haram di Mekkah ke Masjidil Aqsha di Palestina. Dilanjutkan dengan melintas dunia spiritual menuju ke Sidratul Muntaha. Diakhiri dengan melintas kembali ke bumi.
Pada lintasan pertama, Nabi melakukan napak tilas perjalanan para utusan Tuhan sebelum beliau. Bukankah setiap diri perlu mengenal akar hakikatnya agar batang pohon kehidupan kita bisa kokoh dan berbuah manis? Diriwayatkan bagaimana Nabi Muhammad menjadi imam shalat para Nabi sebelumnya. Ini menjadi penguat posisi beliau sebagai Nabi terakhir.
Lintasan pertama ini juga mengokohkan gejolak hati Nabi Muhammad. Sebelum peristiwa Isra Mi’raj ini Nabi mengalami kesedihan luar biasa. Pamannya, Abu Thalib, wafat. Istrinya, Siti Khadijah, juga wafat. Abu Thalib selaku kepala suku Quraisy berperan memberikan jaminan keamanan. Sang Istri, sebagai pebisnis sukses, memberikan jaminan sosial. Wafatnya kedua tokoh terdekat beliau telah menggoyahkan jaminan sosial keamanan dakwah Sang Nabi.
Lintasan pertama ini mengajarkan pada Nabi bahwa beliau tidak pernah berjalan sendirian (You’ll Never Walk Alone). Beliau berdakwah di atas pondasi yang telah dibangun oleh para pendahulunya. Begitulah seorang pemimpin itu –menyadari bahwa apa yang dikerjakannya merupakan sambungan dari jejak pemimpin sebelumnya. Jangan sampai ketika sukses seorang pemimpin menepuk dada; tapi jikalau gagal yang disalahkan adalah beban kerja yang diwarisi dari pemimpin sebelumnya.
Pada lintasan kedua, dimensi spiritual memberi pelajaran bertingkat dari langit pertama menuju langit ketujuh. Seorang pecinta Tuhan harus menempuh laku spiritual secara bertahap. Banyak yang gagal atau berhenti di tingkatan pertama karena keburu terpesona dengan berbagai keajaiban yang diberikan. Ketika ghaib direduksi menjadi semata hal ajaib, maka tak lagi beda antara seorang salik (penempuh jalan spiritual) dengan seorang dukun. Itu sebabnya banyak masyarakat yang tertipu dan gagal membedakan keduanya.
Pada lintasan kedua, di setiap pintu langit ada Nabi tertentu yang duduk di sana. Semua ini bekal Nabi Muhammad menuju Sidratul Muntaha menemui Allah, sebuah stasiun spiritual yang malaikat Jibril pun tak berani melintasinya. Dalam riwayat shahih dikisahkan betapa Nabi Muhammad bolak-balik melakukan negosiasi jumlah bilangan shalat atas usulan Nabi Musa.
Kasih sayang Allah itu berupa perintahNya bisa dinegosiasi sampai akhirnya Nabi malu dan berhenti di angka lima waktu shalat. Kalau Allah saja mau bernegosiasi, bagaimana dengan para pemimpin di dunia yang ngotot sampai rela berkonflik atau perang?
Setelah bertemu dan menerima perintah Allah, kemudian apa lagi? Bukankah puncak pertemuan telah terjadi? Namun ternyata lintasan ketiga menjadi sangat krusial. Nabi diminta kembali ke bumi melanjutkan dakwah menebar Islam yang rahmatan lil alamin. Banyak salik yang hanya mendambakan perjumpaan dengan Allah, tapi kepuasan spiritual semacam ini hanya bermanfaat buat dirinya semata.
Nabi Muhammad justru diperintah kembali ke bumi melanjutkan misi beliau. Isra Mi’raj bukan sekadar melangitkan diri dengan melintasi ruang dan waktu, tapi jauh lebih penting lagi, yaitu membumikan pesan langit. Sudahkah kita mengambil hikmahnya agar turut melintas keluar dari penjara diri?