New Normal dan Nasihat Kiai
Oleh Abdul Rochim
Penggiat Ansor Kudus dan Sekretaris LTN NU Kudus
ADA sangat banyak peristiwa di sepanjang lekuk dan liku dari perjalanan pandemi corona virus disease 2019 (covid-19). Pandemi itu hingga kini masih menebar kegelisahan publik dunia. Sekaligus pula masih menyisakan teka-teki sampai kapan virus yang sudah membunuh lima juta manusia itu akan menemukan ujungnya.
Saya sendiri sempat deg-deg serrr, saat wabah penyakit korona itu mulai ramai di Kudus dan sekitarnya pada Maret lalu. Yang semula korona hanya ada di tv-tv dan koran-koran saja. Dengan kejadian itu menjadi sangat dekat.
Bahkan malaikat sang pencabut nyawa itu seolah membayangi. Karena kurang lebih satu mingguan sebelum pasien positif korona meninggal sempat berinteraksi sangat dekat dengan saya.
Saya tercekat saat mendengar kabar meninggalnya seorang legislator RI itu. Saya kira tak perlu saya ketengahkan lagi. Karena sudah sangat ramai beritanya beberapa bulan lalu. Jadi perasaan takut, kecewa karena dikucilkan hingga khawatir menular ke anak istri sudah pernah saya rasakan dan terlewati. Intinya mendebarkan.
Belum lama ini, awam di sebagian daerah Indonesia bisa sedikit berbinar bahagia menyimak tren kesembuhan pasien covid-19. Ya setidaknya di Kudus dan sekitarnyaa. Namun masih saja, kejanggalan statistik dan kasuistik menimbulkan kebingungan masyarakat makin menebal.
Sementara ini, masih belum ditemukannya vaksin yang dalam catatan wabah pandemic paling membunuh itu, virus korona itu terus memakan korban. Bahkan menemukan klaster-klaster baru. Terbaru, di Jepara klaster di kawasan Pasar Ratu.
Tak cuma nyawa manusia saja, dampak korona telah merenggut nadi ekonomi. Banyak dari saka ekonomi yang dibangun belasan bahkan puluhan tahun masyarakat luluh lantah dalam hitungan tiga hingga empat bulan terakhir.
Belum lagi kerusakan sosial. Kedekatan relasi sosial maupun interpersonal kini juga harus terkoyak. Ini seiring dengan social dan phisical distancing, anjuran bekerja dan stay di rumah. Kehangatan sosial berkah dari perayaan Idul Fitri belum lama ini sedikit terusik.
Ditambah lagi, dimensi keyakinan juga melemah. Utamanya keyakinan belum mendalam. Tanpa disadari, keyakinan akan kematian yang selama ini hanya karena Allah tergeser dengan sebab akibat virus yang memiliki nama lain 2019-nCov itu. Padahal hakikat segala tetap dari Gusti Allah.
Sebuah nasehat cerdas KH Bahaudin Nursalim Rembang alias Gus Baha menjadi pegangan penulis yang turut dibuat resah virus yang seolah-olah menjadi “Izrail” ke dua itu. Nasehatnya, kurang lebih begini. “Ojo wedi ambi virus korona. Wedi iku nek mati ora iso ngibadah neng gusti Allah meneh,”.
Lebih menarik lagi ketegasan dari Habib Luthfi Pekalongan. Habib Luthfi menyarankan agar “sing dagang tetep dagang, sing mbut gawe tetep mbut gawe, sing sekolah tetep sekolah, ikhtiar tetep jalan,”.
Kini babak baru perjalanan pandemi korona menggelinding dengan hasrat memasuki new normal life.
Banyak pihak merumuskan hidup normal baru itu ke dalam berbagai kondisi lingkungan. Dengan garis besar tetap memerhatikan protokol kesehatan yang telah ditetapkan pemerintah.
Dengan demikian roda kehidupan yang seolah mandeg ini kembali berjalan normal lagi? Mungkin hati dan jangan sembrono perlu dijadikan sikap kita memasuki era new normal ini.
Sembari menunggu pemerintah membangun norma tatanan new normal, ulama-ulama yang memiliki pengaruh luas tetap terus dan harus turut membangun keyakinan umat. Dawuh-dawuh para kiai bagi saya sangat mencerahkan di tengah situasi yang membuat nyali ciut.
Terlebih bila kita sudah hidup berdampingan dengan banyak korban. Orang-orang yang menyandang predikat ODP, PDP, positif. Atau keluarganya. Satu sisi kita tak boleh mengucilkan. Di satu sisi yang lain kita harus salih dalam bersikap dengan tetap memelihara keberanian. Terkait membangun keberanian dan keyakinan adalah hal yang sulit dilakukan pemerintah. Siapa lagi kalau bukan para ulama memiliki reputasi tinggi. Karena hidup tidak bisa begini terus-terusan. (*)