Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) ke II tahun
1974–1979 pada orde baru dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto
bertujuan guna meningkatkan pembangunan di pulau-pulau selain Jawa, Bali dan Nadura di antaranya melalui program Transmigrasi. Ada tiga jenis model transmigrasi.
Pertama, Transmigrasi Umum. Transmigrasi
jenis ini, pemerintah orde baru menyiapkan anggaran melalui APBN, seluruh
kebutuhan transmigran disiapkan semua, sejak dari asal tempat
tinggal sampai tempat tujuan, sebuah rumah di tempat yang baru, tanah dua hektar terdiri, terdiri ¼ ha tanah pekarangan rumah, ¾ ha tanah peladangan dan 1 ha lahan tabah untuk persawahan.
Kebutuhan hidup selama 6 bulan disediakan oleh pemerintah, berupa sembako
(Beras, bulgur, tepung terigu, minyak goreng, minyak tanah, garam dapur dan ikan
asin) serta bibit jagung dan padi.
Tiba di lokasi Transmigrasi sebelum menempati rumah, terlebih dahulu ditempatkan di bedeng-bedeng sampai selesainya rumah yang akan ditempati selesai di bangun.
Kedua, Proyek
Transmigrasi Spontan.
Transmigrasi
jenis ini, sebenarnya hampir sama dengan transmigrasi umum, yang membedakan
adalah, transmigrasi spontan tidak disediakan rumah tempat tinggal di lokasi
transmigrasi.
Transmigran sebelum tiba di lokasi, ditransitkan di bedeng-bedeng atau bila bedeng masih penuh dengan warga Transmigran sebelumnya yang belum menempati lahan jatahnya, maka terpaksa ditumpangkan di rumah-rumah
penduduk transmigrasi umum yang sudah lebih dahulu tiba di lokasi, disini akan tinggal beberapa hari hingga samapai sebulanan menumpang.
Selama menumpang,
warga transmigrasi spontan ini sudah mulai mencari dimana posisi lahan tanah bagiannya, terutama untuk mulai membuka lahan pekarangan sambil mebuat rumah-rumah
sederhana seperti gubuk untuk tempat tinggal sementara, setelah lahan mulai terbuka
baru keluarga diajak pindah di lokasi penempatan.
Dan ketiga, proyek
Transmigrasi Bedol Desa.
Transmigrasi
jenis ini berbeda dari jenis transmigrasi kedua diatas, Transmigrasi bedol desa
ini biasanya disebabkan di daerah asal terjadi bencana alam yang mengakibatkan
daerahnya tidak bisa ditempati lagi.
Pemerintah memberikan solusi dengan
memindahkan penduduk secara total berikut perangkat desanya. Contohnya peritiwa bencana alam Gunung Merapi di Magelang
Jawa Tengah dan Gunung Agung di Bali.
Selain
itu pemerintah orde baru juga menyelenggarakan transmigrasi pansiuanan ABRI
dari ketiga angkatan dan Polri. Yaitu Transmigrasi Angkatan Darat (Transad),
Transmigrasi Ankatan Udara (Transau), Transmigrasi Polisi Republik Indonesia
(Transpolri) dan Proyek Pemukiman Angkatan Laut (Prokimal).
Pada
artikel ini penulis akan khusus menceritakan sejarah Transmigrasi Spontan dari
Desa Jambangan Kecamatan Geyer Kabupaten Grobogan Jawa Tengah.
Warga
dusun Duro dan Dusun Barangkal desa Jambangan hidup dibawah garis kemiskinan,
rata-rata hidup bercocok tanam tegalan dimusim kemarau dan mengarap sawah tadah
hujan pada musim rendeng dan musim hujan.
Sedang sebagian lagi hidup sebagai
buruh penggarap, dikarenakan tidak semua warga memiliki lahan garapan, dan bila
tidak mendapat kesempatan bekerja sebagai buruh penggarap, maka tidak ada lain
hanya mencari kayu bakar dihutan lindung dan ada juga yang mencari daun jati
untuk dijual kepasar guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Mencari
kayu bakar dan daun jati sangatlah beresiko tinggi, karena harus main
kucing-kucingan dengan mandor penjaga hutan lindung, sebab kedua dusun tersebut
berada dikelilingi hutang lindung bukit kapur pegunungan kendeng. Bila bernasip
apes warga pencari daun jati dan kayu bakar bisa ditangkap mandor dan di
perbal, hingga mendapat hukuman dikurungan penjara.
Kehidupan
warga kedua dusun ini sungguh memprihatinkan. Maka dikala mengetahui adanya
program pemerintah transmigrasi spontan langsung disambut antusias untuk bisa
mengikuti program tersebut. Alasannya sederhana, memiliki mimpi besar bakal
memiliki tanah luas, tiap KK dua hektare dan tentu saja akan bisa hidup makmur,
bisa menanam tanaman apa saja ditanah yang subur di pulau Sumatera.
Pada pertengahan
bulan Desember 1974 sebanyak 27 kepala keluarga dari kedua dusun tersebut pada
pagi hari berkumpul di halaman kantor kecamatan Geyer untuk bersiap-siap
diberangkatkan ke Lampung mengikuti program transmigrasi spontan proyek Pelita
II dengan tujuan kabupaten Lampung Utara.
Mula-mula saling berpelukan bersama
sanak keluarga yang yang mengantar dan tidak ikut berangkat transmigrasi,
berpamitan sambil menangis sesenggukan bercucuran air mata berlinang seakan
berat untuk melepas kepergian, dan entah kapan akan kembali lagi ke kampung
halamannya.
Selanjutnya
satu persatu menaiki bus yang sejak pagi telah tersedia untuk mengantarkan
kepergian rombongan, jarum jam menunjuk angka 08.45 WIB bus bergerak
meninggalkan halaman kantor kecamatan menuju Jakarta, rombongn ditransitkan
ditempat rumah bedeng besar milik dinas transmigrasi yang disiapkan untuk
menampung tranmigran dari pulai Jawa, Madura dan Bali sebelum ketempat tujuan
guna istirahat bersih-bersih dan makan
sebelum melanjutkan perjalanan.
Sekitar
lebih kurang dua jam istirahat rombongan melanjutkan perjalanan ke pelabuhan
Merak Jawa Barat, selanjutnya menyeberang menggunakan kapal Karimun mendarat di
pelabuhan Panjang Lampung. Setiba di Panjang rombongan di istirahatkan di
bedeng penampungan sementara milik dinas transmigrasi untuk istirahat, mandi
dan makan.
Dari sini tinggal menuju ke lokasi yang terahir tujuan, sudah
tersedia angkutan bak terbuka berupa truk fuso ada dua armada yang akan
mengantarkan menuju desa Daya Murni kecamatan Tulang Bawang Udik kabupaten
Lampung Utara tiba pukul 15.35 WIB tanggal 19 Desember 1974.
Setiba
disini sudah disambut petugas dari Dinas Transmigrasi sub proyek Pelita II
untuk membagi masing-masing KK ditumpangkan ke rumah-rumah penduduk.
Keesokan
harinya, masing-masing kepala keluarga diajak menuju lokasi penempatan yang
jaraknya sekitar 5-6 km dari tempat penampungan sementara, di Unit A desa
Candra Kencana kecamatan Tulang Bawang Tengah. Ke 27 KK ini menempati jalan dua
sebelah selatan dari jalan utama (jalan satu), pada pembagian wilayah pada
Rukun Keluarga (RK) dua.
Setelah
hari pertama ditunjukkan lokasi pekarangan masing-masing maka hari-hari
selanjutnya mulai mengajak isteri dan anak yang sudah beranjak remaja dan
dewasa untuk membuka lahan pekarangan yang akan dijadikan tempat pemukiman.
Mula-mula mendirikan rumah-rumah kecil berukuran 3 x 4 meter, terbuat dari
batang kayu yang ditebang ditempat itu juga, beratapkan daun ilalang yang juga
diambil dari situ, dindingpun dari ilalang, beralaskan tanah.
Membuat sumur
untuk keperluan mandi dan air minum dengan peralatan seadanya, tidak
ketinggalan juga membuat WC atau masyarakat menyebutnya kakus. Ada yang baru 4
hari membuka lahan sudah memboyong keluarga dari tempat tumpangan, namun ada
yang setelah dua minggu sampai 3 minggu baru meninggalkan tempat tumpangan dan
berpindah ketempat yang dibangun dilokasi pekarangan yang disediakan
pemerintah.
Banyak
sekali suka dukanya sebagai warga transmigrasi ditempat yang baru, selain benar-benar
membuka hutan yang masih banyak binatang buas berkeliaran disekitar tempat
pemukiman baru tersebut, terutama dimalam hari, antara lain babi hutan atau
masyarakat menyebutnya celeng, harimau, ular, monyet, trenggiling dan beberapa
jenis binatang buas lainnya.
Ditempat
yang baru mulai bercocok tanam untuk kebutuhan hidup sehari-hari, antara lain
menanam ubi kayu atau singkong, jagung, padi, sayur mayur, pisang, mangga, papaya,
nanas dan banyak lagi yang bisa ditanam.
Sambil
menunggu hasil tanaman untuk kebutuhan
sehari-hari, pemerintah menyediakan kebutuhan pokok berupa sembako selama 6
bulan. Setiap awal bulan warga transmigran mendapat jatah berupa, beras, minyak
goreng, minyak tanah, ikan asin, tepung terigu, bulgur dan garam.
Akan tetapi
tidak jauh dari tempat tinggal di jalan satu dekat jembatan, ada 3 bangunan
gudang lagistik, orang-orang menyebutnya bedeng, di pelataran halamannya
beberapa orang mendasarkan jualan kebutuhan pokok keperluan rumah tangga,
seperti beras, sayur-mayur dan lain sebagainya.
Untuk
keperluan sarana ibadah, masyarakat bergotong royong mendirikan rumah ibadah
berupa mushollah atau biasa disebut Langgar di salah satu pekarang rumah warga.
Langgar dipergunakan untuk sholat lima waktu, sholat jumat dan belajar mengaji
buat anak-anak setiap setiap bakda maghrib.
Seiring
waktu, setelah 6 bulan warga tidak lagi mendapat jatah sembako, gudang logistikpun
tidak terpakai lagi, lama kelamaan gudang menjadi rusak, lokasi gudang menjadi
beralih fungsi untuk dipergunakan fasilisas sosial (fasos), maka langgar yang
semula berada di jalan dua sepakat dipindah ke jalan satu menempati lahan bekas bedeng.
Selanjutnya langgar berubah meningkat menjadi Masjid yang masih beratapkan
ilalang, masyarakat menyebutnya Masjid Gondrong. Namun pada pertengahan tahu
1977 Masjid Gondrong kedatangan seorang Kiai dari kabupaten Pati Jawa Tengah yang
bernama Kiai Imam Suyuti memberikan nama Masjid Baiturrahman. Sejak itu hingga saat ini nama Masjid tetap Baiturrahman
tidak berubah walau mengalami tiga kali
bergeseran posisi tempat Masjid walau masih di lokasi yang sama.
Penulis H. Maskut
CN, S.Pd.I., M.Pd.
Anak
Transmigrasi Spontan dan sebagai pelaku sejarah yang mengalami sendiri.