Memasuki Usianya yang ke 52 Provinsi Lampung tanggal
18 Maret 2016, mungkin bagi sebagian besar masyarakat Lampung, tidak banyak
yang tahu sejarah provinsi paling ujung selatan Pulau Sumatera ini.
Apalagi
harus diakui, tidak banyak catatan sejarah dan buku-buku yang bisa untuk dibacanya.
Makanya tidak salah bila akhirnya banyak masyarakat Lampung yang sama sekali
tidak mengetahui dengan sejarah daerahnya sendiri.
Provinsi Lampung sebelum tanggal 18 Maret 1964 secara
administratif masih merupakan bagian dari Provinsi Sumatera Selatan, namun
daerah ini jauh sebelum Indonesia merdeka memang telah menunjukkan potensi yang
sangat besar serta corak warna kebudayaan tersendiri yang dapat menambah
khasanah adat budaya di Nusantara yang tercinta ini.
Oleh karena itu pada zaman
VOC daerah Lampung tidak terlepas dari incaran penjajahan Belanda.
Pada masa Banten dibawah pimpinan Sultan Agung
Tirtayasa (1651-1683) Banten berhasil menjadi pusat perdagangan yang dapat
menyaingi VOC di perairan Jawa, Sumatra dan Maluku. Sultan Agung ini dalam
upaya meluaskan wilayah kekuasaan Banten mendapat hambatan karena
dihalang-halangi VOC yang bercokol di Batavia.
Putra Sultan Agung Tirtayasa
yang bernama Sultan Haji diserahi tugas untuk menggantikan kedudukan mahkota
kesultanan Banten.
Dengan kejayaan Sultan Banten pada saat itu tentu saja
tidak menyenangkan VOC, oleh karenanya VOC selalu berusaha untuk menguasai
kesultanan Banten. Usaha VOC ini berhasil dengan jalan membujuk Sultan Haji
sehingga berselisih paham dengan ayahnya Sultan Agung Tirtayasa.
Dalam
perlawanan menghadapi ayahnya sendiri, Sultan Haji meminta bantuan VOC dan
sebagai imbalannya Sultan Haji akan menyerahkan penguasaan atas daerah Lampung
kepada VOC. Akhirnya pada tanggal 7 April 1682 Sultan Agung Tirtayasa
disingkirkan dan Sultan Haji dinobatkan menjadi Sultan Banten.
Dari perundingan-perundingan antara VOC dengan Sultan
Haji menghasilkan sebuah piagam dari Sultan Haji tertanggal 27 Agustus 1682
yang isinya antara lain menyebutkan bahwa sejak saat itu pengawasan perdagangan
rempah-rempah atas daerah Lampung diserahkan oleh Sultan Banten kepada VOC yang
sekaligus memperoleh monopoli perdagangan di daerah Lampung.
Pada tanggal 29 Agustus 1682 iring-iringan armada VOC
dan Banten membuang sauh di Tanjung Tiram. Armada ini dipimpin oleh Vander
Schuur dengan membawa surat mandat dari Sultan Haji dan ia mewakili Sultan
Banten. Ekspedisi Vander Schuur yang pertama ini ternyata tidak berhasil dan ia
tidak mendapatkan lada yag dicari-carinya.
Agaknya perdagangan langsung antara
VOC dengan Lampung yang dirintisnya mengalami kegagalan, karena ternyata tidak
semua penguasa di Lampung langsung tunduk begitu saja kepada kekuasaan Sultan
Haji yang bersekutu dengan kompeni, tetapi banyak yang masih mengakui Sultan
Agung Tirtayasa sebagai Sultan Banten dan menganggap kompeni tetap sebagai
musuh.
Sementara itu timbul keragu-raguan dari VOC apakah
benar Lampung berada dibawah Kekuasaan Sultan Banten, kemudian baru diketahui
bahwa penguasaan Banten atas Lampung tidak mutlak. Penempatan wakil-wakil
Sultan Banten di Lampung yang disebut "Jenang" atau kadangkadang
disebut Gubernur hanyalah dalam mengurus kepentingan perdagangan hasil bumi
(lada).
Sedangkan penguasa-penguasa Lampung asli yang terpencar-pencar pada
tiap-tiap desa atau kota yang disebut "Adipati" secara hirarkis tidak
berada dibawah koordinasi penguasaan Jenang/ Gubernur. Jadi penguasaan Sultan
Banten atas Lampung adalah dalam hal garis pantai saja dalam rangka menguasai
monopoli arus keluarnya hasil-hasil bumi terutama lada, dengan demikian jelas
hubungan Banten-Lampung adalah dalam hubungan saling membutuhkan satu dengan
lainnya.
Selanjutnya pada masa Raffles berkuasa pada tahun 1811
ia menduduki daerah Semangka dan tidak mau melepaskan daerah Lampung kepada
Belanda karena Raffles beranggapan bahwa Lampung bukanlah jajahan Belanda.
Namun setelah Raffles meninggalkan Lampung baru kemudian tahun 1829 ditunjuk
Residen Belanda untuk Lampung.
Dalam pada itu sejak tahun 1817 posisi Radin Inten
semakin kuat, dan oleh karena itu Belanda merasa khawatir dan mengirimkan
ekspedisi kecil di pimpin oleh Assisten Residen Krusemen yang menghasilkan
persetujuan bahwa : Radin Inten memperoleh bantuan keuangan dari Belanda
sebesar f. 1.200 setahun.
Kedua saudara Radin Inten masing-masing akan
memperoleh bantuan pula sebesar f. 600 tiap tahun. Radin Inten tidak
diperkenankan meluaskan lagi wilayah selain dari desa-desa yang sampai saat itu
berada dibawah pengaruhnya. Tetapi persetujuan itu tidak pernah dipatuhi oleh
Radin Inten dan ia tetap melakukan perlawanan-perlawanan terhadap Belanda.
Oleh karena itu pada tahun 1825 Belanda memerintahkan
Leliever untuk menangkap Radin Inten, namun dengan cerdik Radin Inten dapat
menyerbu benteng Belanda dan membunuh Liliever dan anak buahnya. Akan tetapi
karena pada saat itu Belanda sedang menghadapi perang Diponegoro (1825 - 1830),
maka Belanda tidak dapat berbuat apa-apa terhadap peristiwa itu. Tahun 1825
Radin Inten meninggal dunia dan digantikan oleh Putranya Radin Imba Kusuma.
Setelah Perang Diponegoro selesai pada tahun 1830
Belanda menyerbu Radin Imba Kusuma di daerah Semangka, kemudian pada tahun 1833
Belanda menyerbu benteng Radin Imba Kusuma, tetapi tidak berhasil mendudukinya.
Baru pada tahun 1834 setelah Asisten Residen diganti oleh perwira militer
Belanda dan dengan kekuasaan penuh, maka Benteng Radin Imba Kusuma berhasil
dikuasai.
Radin Imba Kusuma menyingkir ke daerah Lingga, namun penduduk daerah
Lingga ini menangkapnya dan menyerahkan kepada Belanda. Radin Imba Kusuma
kemudian di buang ke Pulau Timor.
Dalam pada itu rakyat dipedalaman tetap melakukan
perlawanan, "Jalan Halus" dari Belanda dengan memberikan
hadiah-hadiah kepada pemimpin-pemimpin perlawanan rakyat Lampung ternyata tidak
membawa hasil.
Belanda tetap merasa tidak aman, sehingga Belanda membentuk
tentara sewaan yang terdiri dari orang-orang Lampung sendiri untuk melindungi
kepentingan-kepentingan Belanda di daerah Telukbetung dan sekitarnya.
Perlawanan rakyat yang digerakkan oleh putra Radin Imba Kusuma sendiri yang
bernama Radin Inten II tetap berlangsung terus, sampai akhirnya Radin Inten II
ini ditangkap dan dibunuh oleh tentara-tentara Belanda yang khusus didatangkan
dari Batavia.
Sejak itu Belanda mulai leluasa menancapkan kakinya di
daerah Lampung. Perkebunan mulai dikembangkan yaitu penanaman kaitsyuk,
tembakau, kopi, karet dan kelapa sawit. Untuk kepentingan-kepentingan
pengangkutan hasil-hasil perkebunan itu maka tahun 1913 dibangun jalan kereta
api dari Telukbetung menuju Palembang.
Hingga menjelang Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus
1945 dan periode perjuangan fisik setelah itu, putra Lampung tidak ketinggalan
ikut terlibat dan merasakan betapa pahitnya perjuangan melawan penindasan
penjajah yang silih berganti.
Sehingga pada akhirnya sebagai mana dikemukakan
pada awal uraian ini pada tahun 1964 Keresidenan Lampung ditingkatkan menjadi
Daerah Tingkat I Provinsi Lampung.
Proses Sejarah
Berdirinya Propinsi Lampung
Sekilas sejarah berdirinya provinsi Lampung adalah
diawali dengan adanya keputusan bersama dari seluruh bupati/kepala daerah dan
Residen Lampung pada tahun 1962. Ketika itu, tercetuslah “petitie” berupa penuntutan agar Keresidenan Lampung diubah
statusnya menjadi Daerah Swatantra Tingkat I (Daswati I) Lampung yang terpisah
dengan Daswati I Sumatera Selatan.
Kemudian berlandaskan hal itu, sembilan partai politik
yang ada mengambil inisiatif dengan membentuk panitia. Seluruh organisasi massa
dan cabang partai politik yang ada di Lampung, diundang dalam rapat tanggal 5
Maret 1963 untuk meresmikan berdirinya panitia dan mengesyahkan Program
Perjuangan Penuntutan Berdirinya Daswati I Lampung bertempat di Gedung BPR
Tanjungkarang. Akan tetapi, rapat ini tidak dapat dilangsungkan karena tidak
mendapat izin dari penguasa perang waktu itu.
Sehingga pada akhirnya, panitia eksekutif
mempertanggung jawabkan hal tersebut kepada penguasa perang. Sementara itu,
seluruh perwakilan partai politik/organisasi berkumpul di kantor panitia untuk
meneruskan rapat. Hingga pada tanggal 7 Maret 1963, panitia ini resmi berdiri.
Untuk mensukseskan perjuangan panitia, maka dibentuk
perwakilan panitia di Palembang dan Jakarta yang diserahkan kepada Achmad
Ibrahim sebagai pimpinannya. Tugasnya sebagai penghubung panitia dengan Daswati
I Sumatera Selatan dan pemerintah pusat di Jakarta.
Kemudian berdasarkan keputusan Menteri Dalam Negeri
tertanggal 14 Desember 1963, Nomor BK 2/103/5472 – A17/1313.3, lalu Pemda Daswati I Sumatera Selatan
mengeluarkan surat keputusan tertanggal 8 Januari 1964, Nomor: L.5/1964,
pemerintah pusat menyetujui pembentukan Daswati I Lampung dalam waktu
sesingkat-singkatnya.
Barulah pada tanggal 7 Januari 1964, diadakan rapat
dinas oleh Gubernur atau Kepala Daswati I Sumatera Selatan yang dihadiri catur
tunggal, para bupati, walikota, anggota DPRGR/BPH Tingkat I dan Ketua Front
Nasional se Keresidenan Lampung. Pada rapat tersebut, dibicarakan mengenai
persiapan-persiapan pembentukan Daswati I Lampung.
Makanya dibentuklah tim asistensi yang terdiri Ketua:
Anwar gelar Datuk Madjo Basa Man Kuning (Pegawai Tinggi Ketataperajaan Tingkat
I Departemen Dalam Negeri); Wakil Ketua: Zainal Abidin Pagaralam (Residen
Lampung); Sekretaris/Bendahara: R Juanda SH (Pembantu Utama Sekretaris Daerah),
dan pembantu-pembantu: Mursjid Alamsjah Carapeboka (Bupati dpb Kantor Residen
Lampung, Pembantu Sekretaris) dan R Achmad (Sekretaris Keresidenan Lampung,
Pembantu Bendahara).
Tugas-tugas tim asistensi untuk membantu
Gubernur/Kepala Daerah Sumatera Selatan untuk mengumpulkan bahan-bahan yang
diperlukan untuk pelaksanaan pemindahan hak, tugas kewajiban, dan wewenang
dalam urusan pemerintah dari Sumatera Selatan kepada pemerintah Lampung yang
akan dibentuk.
Lalu berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perpu) Nomor 3 Tahun 1964, maka terbentuklah Daswati I Lampung.
Ini dilakukan dengan mengubah Undang-Undang Nomor 25 tahun 1959 tentang
Pembentukan Daerah Tingkat I Sumatera Selatan.
Hasilnya, Dati I Sumatera
Selatan diubah dengan memisahkan wilayah yang meliputi daerah-daerah tingkat II
Lampung Utara, Lampung Tengah, Lampung Selatan, dan Kotapraja
Tanjungkarang/Telukbetung; yang kemudian membentuk Daswati I Lampung.
Selain itu, berdasarkan pasal 6 Perpu No 3 tahun 1964,
ketentuan-ketentuan berdasarkan peraturan negara dan daerah yang berlaku bagi
Daswati I Sumatera Selatan, mutatis mutandies berlaku juga bagi Daswati I
Lampung.
Kemudian pada tanggal 16 Maret 1964, Residen Lampung
Zainal Abidin Pagaralam mengadakan rapat pembentukan Panitia Penyelenggara
Peresmian Daswati I Lampung yang dihadiri catur tunggal Keresidenan Lampung,
para bupati/walikota, kepala jawatan/instansi, dan panitia besar perjuangan
penentuan Daswati I Lampung.
Lalu pada tanggal 18 Maret 1964, Kusno Danupojo yang
dilantik Menteri Dalam Negeri sebagai Pj Gubernur Lampung tiba di Lampung
bersama Lny Karim, yang mewakili Mendagri beserta rombongan. Maka pada tanggal
18 Maret 1964, pukul 20.00 WIB, terjadilah upacara serah terima dari Sumatera
Selatan ke Lampung dengan disaksikan Lny Karim.
Tanggal 19 Maret 1964, diadakan rapat dinas Daswati I
Lampung yang pertama dengan semua kepala daerah Lampung Utara, Lampung Selatan,
Lampung Tengah, dan Kotapraja Tanjungkarang/Telukbetung. Kemudian diadakan
rapat dinas pembentukan dinas-dinas serta jawatan nevenue Dati I Lampung.
Lampung
Menuju Jalan Tol Trans Sumatera
Pembangunan jalan tol Trans Sumatera sepanjang 2.048
kilometer yang membentang dari Bakauheni Lampung hingga Banda Aceh diharapkan
menjadi pendorong pertumbuhan roda ekonomi di Pulau Sumatera, khususnya di
Provinsi Lampung.
Tol Trans Sumatera yang melintasi Provinsi Lampung sepanjang 250
kilometr meliputi (Bakauheni – Terbanggi Besar 150 Km, dan Terbanggi Besar –
Pematang Panggang 100 Km) akan Pacu Pertumbuhan Ekonomi disemua sektor.
Dari sudut pandang ekonomi, terbangunnya infrastruktur
akan memberikan dampak pengganda atau multiplier effect pada daerah yang
dibangun seperti di provinsi Lampung nantinya.
Diharapkan akan mampu membangkitkan
ekonomi daerah gerbang Pulau Sumatera ini, terutama dalam hal penyumbang PDB
nasional - Sebagai bagian mendukung terciptanya Asian Highway Network atau
Jalan Asia yang telah disepakati pada forum United Nations di Shanghai, China.
Dalam beberapa tahun terakhir Sumatera mengalami
pertumbuhan dalam kontribusinya sebagai penyumbang Produk Domestik Bruto (PDB)
nasional terbesar kedua setelah Jawa - Sumatera memiliki peran regional dalam
pembentukan PDB yang meningkat dari tahun ke tahun. Di sisi lain justru Jawa
mengalami penurunan dalam PDB Nasional.
Dilihat dari tren pertumbuhan ekonomi regional,
Sumatera mutlak memerlukan sarana pendukung berupa sarana transportasi untuk
mempercepat pertumbuhan ekonominya. Dalam Master Plan Percepatan Pembangunan
Ekonomi Indonesia (MP3EI), Sumatera diharapkan menjadi gerbang utama
perekonomian Indonesia untuk pasar Afrika, Asia, Eropa, serta Australia.
Penulis : Maskut CN, S.Pd.I, M.Pd., Tenaga Ahli Bupati Tulang Bawang Barat Bidang Ekonomi Pembangunan tahun 2015, artikel ini pernah dimuat pada Harian Umum Lampung Post