HUT Ke 68 KAA : Wajah Islam Tiongkok di KAA Bandung

Wakil Sekretaris Jenderal PBNU dan Rektor Unira Malang

Enam puluh delapan tahun lalu, tepatnya 11 April 1955, Kashmir Princess, sebuah pesawat jenis Lockheed-749A, yang membawa rombongan delegasi Tiongkok ke Konferensi Asia Afrika (KAA) Bandung, meledak di atas perairan Natuna akibat bom waktu. Bom itu dipasang di dekat roda pesawat sebelah kanan oleh agen rahasia Kuomintang, dengan memanfaatkan petugas kebersihan Bandara Kai Tak Hongkong bernama Zhou Zhu alias Zhou Zemin.

Kejadian ini menjadi peristiwa sabotase pertama yang menimpa pesawat terbang komersial sejak perang dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet berlangsung.Steve Tsang (1994), dalam tulisannya berjudul Target Zhou Enlai: The Kashmir Princess Incident of 1955 menceritakan bahwa meskipun pesawat milik Air India yang disewa pemerintah Tiongkok itu meledak di ketinggian 18 ribu kaki dan 108 mil di utara Kalimantan menewaskan belasan penumpangnya yang mayoritas jurnalis, Perdana Menteri Zhou Enlai tidak berada di dalamnya. 

Dia selamat karena berganti pesawat lain menuju Indonesia melalui Kunming Burma, setelah menerima informasi adanya upaya pembunuhan high ranking Chinese officials yang dikirimkan otoritas Hong Kong lewat Kedutaan Inggris di Beijing, sesaat sebelum Kashmir Princess transit di Bandara Kai Tak. 

Meskipun ada upaya pembunuhan, Zhou Enlai tetap berkeras untuk hadir ke Bandung karena KAA dianggap sebagai forum penting yang akan membantu meningkatkan reputasi Tiongkok di pentas dunia. 


Gagalnya upaya pembunuhan terhadap Zhou Enlai membawa keberuntungan lain, yakni Da Pusheng -ulama senior, yang juga menjadi Wakil Ketua Persatuan Islam Tiongkok- ikut selamat karena menemani perdana menteri berganti pesawat. Delapan bulan sebelumnya, 

JDa Pusheng pernah menerima delegasi muslim Indonesia di Beijing sehingga kehadirannya di KAA Bandung menjadi penting, mengingat Indonesia merupakan negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Dari Da Pusheng didapatkan cerita bahwa Perdana Menteri Tiongkok Zhou Enlai memiliki leluhur muslim.

Seorang ilmuwan etnologi Tiongkok bernama Li Jianbiao (2017) dalam bukunya yang berjudul _Da Pusheng Pingzhuan_ (Biografi Da Pusheng) menjelaskan bahwa selama perjalanan menuju Indonesia, Perdana Menteri Zhou Enlai banyak berdiskusi dengan Da Pusheng berkait dengan Islam dan memberikan penjelasan kebijakan PKC tentang keberadaan agama-agama, serta peran pentingnya dalam diplomasi Tiongkok.Perdana Menteri pertama ‘Negeri Tirai Bambu’ tersebut juga menceritakan bahwa memiliki leluhur muslim meskipun tidak hafal dari generasi ke berapa. 

Dalam sebuah penelitian pada 2015, Zhou Bingyi yang juga salah satu keponakan Zhou Enlai, menjelaskan bahwa pemimpin Tiongkok modern ini memiliki leluhur bernama Zhou Mao, seorang keturunan Hui muslim dan juga hakim di Yaozhou Kota Shaanxi selama periode Kaisar Shizu di era Dinasti Yuan (Li Jianbiao, 2017 : 182).


Dari 29 negara peserta KAA Bandung, 12 di antaranya ialah negara Arab dan ditambah tuan rumah, Indonesia, yang juga merupakan negara berpenduduk mayoritas muslim. Komposisi kepesertaan KAA seperti ini sudah diantisipasi oleh Zhou Enlai dengan mengajak beberapa tokoh muslim Tiongkok menjadi bagian delegasi resmi. 

Selain mengajak Da Pusheng, Zhou Enlai juga mengajak Prof Liu Linrui dari Universitas Peking sebagai penerjemah bahasa Arab. Linrui merupakan putra dari Liu Pinda, Wakil Direktur Asosiasi Muslim Tiongkok.Dalam sebuah artikel berjudul _China’s Cultural and Public Diplomacy to Countries in the Middle East,_ MA Lirong, akademisi dari Kajian Internasional Universitas Shanghai menyebutkan bahwa selain membawa dua tokoh muslim Tiongkok ke KAA Bandung, Zhou Enlai juga membawa beberapa alat diplomasi lainnya, yakni Al- Qur’an, 

Konstitusi Tiongkok dalam bahasa Arab, serta buku berjudul Chinese Muslim Life dan China’s Muslims (Journal of Middle Eastern and Islamic Studies, Vol 4, No 2, 2010, 37-38).Dengan membawa konstitusi dalam bahasa Arab, diharapkan delegasi KAA Bandung baik yang berasal dari negara-negara Arab maupun muslim bisa memahami konstitusi Tiongkok yang menjamin kebebasan memeluk agama ataupun tidak memeluk agama bagi warga negaranya. 

Dalam Pasal 36 Konstitusi Tiongkok disebutkan bahwa 'Setiap warga negara menikmati kebebasan memeluk agama. Tidak ada organ negara, organisasi publik atau individu yang dapat memaksa warga negara untuk memeluk atau tidak memeluk agama. Mereka juga tidak boleh melakukan diskriminasi terhadap warga negara yang memeluk atau tidak memeluk agama'.

Tidak itu saja, salah satu delegasi Tiongkok, Da Pusheng selama di Bandung juga terlihat aktif melakukan salat lima waktu setiap hari dan membuat banyak pejabat dan masyarakat muslim yang hadir di KAA menjadi kagum. Banyak delegasi KAA yang memuji kebijakan Tiongkok terhadap keberadaan Islam setelah melihat perilaku dan kebiasaan beribadah Da Pusheng secara langsung. Perdana Menteri Zhou Enlai sangat senang dengan situasi tersebut (Li Jianbiao, 2017). 

Dalam pidato tambahannya di Konferensi, Zhou Enlai secara khusus memperkenalkan Da Pusheng dan berbicara tentang masalah keyakinan agama. Salah satu paragraf pidato Zhou Enlai berbunyi, _"Kebebasan beragama adalah prinsip yang diakui oleh negara-negara modern. Kami komunis adalah ateis, tetapi kami menghormati orang yang beragama. 

Tiongkok adalah negara beragama, sebuah negara bebas, tidak hanya memiliki 7 juta anggota partai komunis, tetapi juga puluhan juta muslim dan Buddha, jutaan Kristen dan Katolik. Ada seorang muslim yang taat dalam delegasi Tiongkok di konferensi ini namanya Da Pusheng. Keadaan semacam ini tidak menghalangi persatuan di Tiongkok, mengapa orang-orang dengan keyakinan agama dan orang tanpa keyakinan tidak dapat bersatu dalam keluarga besar negara-negara Asia-Afrika?

Dalam pidato resminya, Zhou Enlai menyoroti terjadinya praktik-praktik kolonialisme dan terjadinya penganiayaan dan pembantaian warga oleh kekuatan penjajah di beberapa negara Afrika Utara dan Timur Tengah dengan menyebut empat nama bangsa, yakni Tunisia, Maroko, Aljazair, dan Arab Palestina. Tidak itu saja, Tiongkok secara tegas mendukung integritas teritorial beberapa negara peserta KAA yang berpenduduk mayoritas muslim seperti Mesir yang tengah berjuang memulihkan kedaulatannya atas Terusan Suez, Iran, yang atas sumber minyaknya, dan Indonesia atas Irian Barat.

Pidato Zhou Enlai di KAA tersebut mendapatkan sambutan hangat dan melepaskan keraguan banyak pihak, terutama delegasi dari negara-negara Arab dan muslim tentang bahaya paham komunisme di Tiongkok terhadap keberadaan agama-agama. 

Diplomasi Haji Tiongkok

Kehadiran Tiongkok di Konferensi Bandung selain ingin meningkatkan reputasi internasionalnya di Asia dan Afrika di tengah perang dingin Amerika Serikat dan Uni Soviet, juga memiliki beberapa agenda lain, di antaranya menuntaskan persoalan dwi kewarganegaraan dengan Indonesia dan beberapa negara Asia Tenggara lainnya. 
Selain itu, Tiongkok juga ingin melobi delegasi Arab Saudi di KAA Bandung berkaitan dengan penerbitan izin masuk jemaah haji Tiongkok tanpa melalui negara ketiga.Chen Guangyuan (2005) dalam karyanya, Xin Shidai Ahong Shiyong Shouce menyebutkan ikhtiar delegasi Tiongkok di KAA untuk melobi Arab Saudi agar memberikan visa bagi jemaah hajinya secara langsung. 

Sebelumnya, jemaah haji Tiongkok bisa masuk ke Saudi Arabia melalui Pakistan dan pernah mengalami insiden ditolak karena alasan politik.Sejarah mencatat, lobi pemerintah Tiongkok terhadap delegasi Saudi Arabia di KAA Bandung berkait dengan visa haji berhasil dengan baik. 

Zhou Enlai akhirnya bertemu dan meyakinkan Pangeran Faisal dari Kerajaan Saudi Arabia menyangkut perlunya visa haji bagi muslim Tiongkok. Setelah KAA di Bandung, jemaah haji Tiongkok bisa langsung masuk ke Haramain tanpa melalui Pakistan, meskipun terhenti kembali akibat revolusi kebudayaan Mao Zedong 1966-1976.

Dalam sebuah tulisan berjudul The Impact of Islamic Hajj on PRC-Saudi Relations yang diterbitkan oleh Journal of Islamic Research, keberhasilan lobi visa haji Tiongkok ini telah memainkan peran penting sebagai 'pemecah kebekuan' dalam simpul sejarah normalisasi hubungan RRC-Arab Saudi, melalui konsultasi aktif dan efektif tentang isu-isu agama secara jujur antara Perdana Menteri Zhou Enlai dan Pangeran Faisal di Konferensi Bandung Tahun 1955 (Haccin Cin-Suud Lliskilerine Etkisi, 2020:249).

Normalisasi pengiriman jemaah haji Tiongkok ke Saudi Arabia bisa dilakukan kembali di era Deng Xiaoping hingga sekarang. Pada 2016, pemerintah Tiongkok memasukkan perbaikan pelayanan haji dalam National Action Plan 2016-2020 mereka. Jika sekarang kita sering melihat jemaah haji Tiongkok di Saudi Arabia, itu merupakan berkah dari KAA Bandung. 

Sebagai sebuah ikhtiar diplomasi Zhou Enlai untuk melayani rakyatnya yang beragama Islam. Suatu ketika Zhou Enlai pernah berkata, "Diplomasi dilakukan melalui hubungan antara dua bangsa, tetapi titik akhirnya tetap melayani rakyat." (Lirong, 2010:36). Wallahualam bisawab.