Tuhan Tidak Beragama dan Tidak Sekolah

Helmi Hidayat (Foto - Dokumen pribadi)

Oleh : Drs. H. Helmi Hidayat, MA.

Dalam Al-Quran, Allah memperkenalkan Diri-Nya sebagai Tuhan yang sangat genius dengan kecerdasan-tak-terbatas. Kitab suci umat Islam menyebutkan Allah tahu salah satu anggota keluarga Firaun diam-diam beriman pada Nabi Musa tapi dia menyembunyikan keimanannya (QS 40: 28), atau Allah tahu kapan seuntai daun jatuh baik di siang maupun di malam hari (QS 6: 59). Allah tidak perlu sekolah untuk menjadi sangat cerdas-tak-terbatas.

Al-Quran juga menyebutkan sejak awal, Allah adalah Tuhan Maha Baik, Maha Pemurah, dan Maha Pemaaf. Tidak hanya sekali Allah menegaskan Dia tak mau berlaku zalim pada hamba-Nya (QS 22: 10) atau seseorang hanya dihukum atas dosa yang dia lakukan, bukan atas apa yang dilakukan orang lain termasuk kedua orangtuanya (QS 35: 18). Karena Allah Maha Positif, Dia tidak perlu beragama. 

Jika Allah tidak beragama, mengapa umat manusia harus beragama? 

Manusia adalah makhluk yang kepada mereka diberikan dua potensi sekaligus: jahat dan baik. Agar manusia tak hanya tenggelam dalam potensi jahat yang akibatnya justru merusak harmoni umat manusia itu sendiri, Tuhan lalu menurunkan agama-agama – bayangkan jika di planet Bumi kita hidup 1000 Adolf Hitler di Barat dan 1000 Firaun di Timur bersamaan. Akibat satu Hitler saja meletus Perang Dunia, akibat satu Firaun samudera jungkir balik. 

Agama adalah nilai-nilai langit yang kalau dipatuhi, umat manusia akan hidup teratur, tertib, dan saling kasih. Agar nilai-nilai langit itu dipatuhi, pertama-tama umat manusia diwajibkan melakukan tindakan revolusioner: menyembah Zat Adikodrati yang sama sekali tidak pernah mereka lihat. 

Menjalankan kewajiban ini sangat berat, tapi sekali mereka percaya lalu tunduk melakukan penyembahan ‘’revolusioner’’ itu, maka apa pun yang berada di belakangnya akan mereka lakukan: bersikap tertib, tidak merusak, menekan ego, dan lain-lain. 

Dengan kata lain, tujuan agama-agama diturunkan ke muka Bumi sejatinya adalah untuk keperluan manusia itu sendiri, meski tidak salah juga jika dikatakan agama-agama diturunkan agar Allah disembah. Tapi, tidak bisa dibuat kesimpulan tunggal bahwa agama diturunkan hanya agar Allah disembah karena faktanya Allah tidak butuh disembah. Tanpa disembah satu manusia pun di muka Bumi, Allah sudah Maha Hebat. 

Contoh menarik betapa Allah tak butuh disembah terlihat ketika Perang Khandaq pada 5 Hijriah selesai dan Nabi SAW serta para sahabat hendak salat Ashar, malaikat Jibril melarang mereka. Kata Jibril, Nabi dan umat Islam tak boleh salat Ashar sampai mereka tiba di Bani Quraizhah karena salah satu suku Yahudi ini berkhianat dalam perang itu. 

Apa artinya? Allah hendak berkata kepada umat Islam saat itu, ‘’singkirkan dulu segala bentuk ancaman di sekitar kalian, barulah setelah itu kalian menyembah-Ku.’’ – perjalanan Nabi ke Bani Quraizhah sangat mungkin butuh waktu lama hingga Maghrib tiba. Tapi jika pun Maghrib tiba tak apa-apa, toh Allah tak akan mati hanya gara-gara tak disembah dalam shalat Ashar itu. 

Allah juga pernah memerintahkan Nabi membakar Masjid Dhirar pada Oktober 630 Masehi, dengan konsekuensi Dia tak akan disembah selamanya di masjid itu. Allah mati? Tidak!

Dua cerita tadi menguatkan bukti betapa agama diturunkan bukan semata agar Allah disembah, tapi lebih karena kebutuhan sosial umat manusia. Namun demikian, beragama saja tanpa pendidikan yang cukup bisa jadi bencana. Orang butuh sekolah yang baik untuk bisa beragama dengan baik. Contoh orang beragama tanpa bangku sekolah lalu menimbulkan bencana ada dalam dua cerita di bawah ini: 

Cerita pertama, dalam sebuah hadis riwayat Bukhari dan Muslim, diceitakan bahwa sejumlah orang dari ‘Ukl atau ‘Urainah datang menghadap Nabi di Madinah. Mereka sakit akibat cuaca ekstrem. Nabi kemudian memerintahkan suku ‘Ukl itu meminum air kencing dan susu unta miliknya. Dalam hadis yang diceritakan oleh Anas bin Malik itu, mereka sembuh dari sakit usai melaksanakan perintah Nabi. 

Tapi, apa yang terjadi? Dasar Badui tidak pernah sekolah, bukannya kagum pada mukjizat Nabi Muhammad, mereka malah kagum pada unta yang mereka anggap ajaib. Orang-orang tolol ini lalu mencuri unta yang mereka yakini ajaib itu setelah membunuh penggembala suruhan Nabi. Tentu saja Rasulullah marah bukan main dan memerintahkan para sahabat mengejar orang-orang tak tahu diri itu. 

Seharusnya, orang-orang Badui itu (nama suku di jazirah Arab yang terkenal terbelakang dalam literasi) beragama dengan benar, misalnya berinstrospeksi diri mengapa Nabi sampai menyuruh mereka meminum cairan najis? Orang-orang Badui di masa Rasulullah memang cenderung tidak kenal sopan santun, misalnya kepada Nabi selalu berteriak-teriak nyaring: ‘’Yaa Muhammad … yaa Muhammad!’’ – akhlak yang membuat Allah marah (QS 49: 2). 

Jika beragama dengan benar, para Badui itu seharusnya bisa menafsirkan ajaran agama dengan benar pula. Misalnya mereka berpikir, Nabi menyuruh mereka minum air kencing unta di masa darurat. Artinya, jika penelitian ilmiah membenarkan kencing unta mengandung obat, di masa senggang (tidak darurat) seharusnya umat Islam tidak lagi meminum kencing unta mentah-mentah seperti minum Coca-cola dari gelas, melainkan mengekstraknya lebih dulu dalam bentuk pil atau puyer. Jika saat ini ada umat Islam minum air kencing unta dari gelas, atau nekat menyedotnya dari tetek unta, apa beda mereka dengan para Badui itu? 

Cerita kedua adalah ketololan yang ditampilkan orang-orang yang melakukan bom bunuh diri, seperti yang baru saja terjadi di Polsek Astanaanyar, Bandung, Jawa Barat, Rabu (7/12/22) lalu. Ini adalah contoh bagaimana orang beragama tanpa sekolah yang benar. Jika pelakunya benar-benar sekolah bidang agama dan membaca semua ayat Al-Quran, niscaya dia akan tahu bahwa tidak ada satu ayat pun dalam Al-Quran yang membenarkan umat Islam bunuh diri. 

Kedua, jika sekolah dengan benar, dia akan tahu bahwa menurut Islam, melenyapkan nyawa manusia adalah hak malaikat Izrail atas izin Allah, bukan hak manusia. 

Ketiga, jika sekolah dengan benar, dia akan tahu bahwa menurut Islam, membunuh orang lain tanpa hak adalah dosa besar yang membuat pelakunya dijebloskan ke neraka Jahanam selama-lamanya (QS 25: 68 – 69). 

Pendek kata, betapa penting dalam beragama seseorang harus pula berilmu. Beragama tentu baik malah harus, tapi jika beragama tanpa ilmu, hasilnya hanyalah orang-orang Badui yang menganggap unta yang memberinya susu yang menyembuhkan sebagai unta ajaib, atau para teroris yang menganggap pembunuhan yang mereka lakukan sebagai jihad kampungan yang berbuah 70 bidadari di surga.
 
Karena itu saya sungguh heran, Pemerintah Kota Depok tetap akan menggusur SDN Pondokcina 1 hanya karena di lahan sekolah itu akan dibangun Masjid Raya Margonda. Jika alasannya hanya karena di Margonda belum ada masjid, bukankah Allah bisa disembah di mana pun, bahkan di atas kendaraan maupun sambil jalan kaki? (QS 2:239) 

Wali Kota Depok, juga Gubernur Jawa Barat, seharusnya tahu bahwa Allah tak akan mati tak disembah di Masjid Raya Margoda, sebagaimana Ia tak mati tak disembah di Masjid Dirar. Tapi, tanpa sekolah, anak-anak bangsa kita sangat mungkin menjadi Badui tolol yang mengundang kemarahan Rasulullah SAW. 

Tuhan tidak bodoh tidak bersekolah, tapi manusia bisa jadi musuh agama tanpa sekolah.