Ayo Kenali Hukum Syariat Islam Kerajaan Banjar

Oleh: Khairullah Zain  -  Alumnus Ma'had ‘Aly Darussalam Martapura, Ketua Lembaga Bahtsul Masail PWNU Kalsel

Meski Islam sudah dipeluk oleh sebagian masyarakat Banjar, namun agama ini baru berkembang pesat sejak Sultan Suriansyah (memerintah 1520 – 1546 M) menyatakan Kesultanan Banjar resmi memeluk agama Islam.

Sejak itu, Islamisasi terjadi pada masyarakat Banjar. Secara “afwaja” (berbondong-bondong) masyarakat Banjar masuk dalam agama yang dipeluk oleh penguasa mereka.

Kendati demikian, hukum Islam belum melembaga dalam pemerintahan. Hukum Islam masih sebatas keyakinan bersama, bukan dalam bentuk hukum legal formal.

Pengadilan Syariah Di Kerajaan Banjar

Pulangnya Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari ke negeri Banjar pada 1772 M, pasca 30-an tahun menimba ilmu di Makkah al-Mukarramah kemudian melahirkan perubahan dalam keberagamaan masyakarat Banjar.

Kitab Sirathal Mustaqim, susunan ulama besar Aceh Syaikh Nuruddin ar-Raniri, yang semula menjadi rujukan masyarakat Banjar digantikan kitab Sabilal Muhtadin, yang disusun Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari atas permintaan Sultan Tahmidullah II (memerintah 1761 – 1801 M).

Sabilal Muhtadin sendiri hanya memuat tentang Fikih Ibadah atau seperempat bagian dari Fikih Syafi’i. Tiga perempat lainnya, yaitu Mu’amalat, Munakahat, dan Jinayat tidak dimuat dalam Sabilal Muhtadin. Fikih mengenai pernikahan yang tidak termuat dalam Sabilal Muhtadin ditulis Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari dalam bentuk kitab tersendiri.

Menurut riwayat beliau juga menulis kitab tentang hukum warisan. Namun tidak ditemukan, baik secara bentuk fisiknya ataupun riwayat tentangnya, kitab yang membahas hukum Jinayat (Hukum Pidana Islam).

Pengembangan ajaran agama Islam dilakukan Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari tidak hanya dilakukan dengan tulisan.

Ulama besar yang juga dikenal dengan sebutan “Datuk Kalampayan” ini juga menginisiasi terbentuknya sebuah lembaga bernama “Mahkamah Syar’iyyah” (Pengadilan Syariah). Untuk itu, beliau mengkader anak cucunya hingga mencapai level mufti (Pemberi Fatwa) dan sebagian dari mereka menduduki jabatan qadhi (Hakim Agama).

Mufti pertama yang resmi diangkat kerajaan adalah Mufti Syaikh Muhammad As’ad bin Utsman atau putera Syaikhah Syarifah binti Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari, sementara qadhi pertama adalah Syaikh Abu Su’ud bin Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari.

Adapun Mawlana Syaikh Muhammad Arsyad sendiri konsentrasi pada pendidikan dan pengkaderan para calon ulama di Dalam Pagar. Tidak ada catatan resmi kapan lembaga “Mahkamah Syar’iyyah” ini dibentuk.

Namun, menurut Abdurrahman SH., MH., diperkirakan pembentukan lembaga ini berkisar pada tahun 1790 – 1795 M, yaitu setelah Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari merampungkan kitab Sabilal Muhtadin.

Bermula dari “Mahkamah Syar’iyyah” inilah kemudian lembaga “Kerapatan Qadhi Besar” dibentuk pada masa pemerintahan Belanda, dengan Qadhi Besar (Hakim Agung) Syaikh H. M. Thaha bin H. M. Sa’ad yang bertugas sejak 1 Januari 1938 M. Inilah cikal bakal lembaga pengadilan agama Islam yang kita kenal saat ini.

Kita tidak bisa memungkiri terbentuknya lembaga ini berhulu pada inisiatif Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari yang wafat pada 1812 M. Beliaulah yang mempunyai peran terbesar dalam mendakwahkan dan memasyarakatkan syariat Islam, hingga kelak menjadi sebuah aturan atau undang-undang di Bumi Banjar.

Kendati Mahkamah Syar’iyyah telah terbentuk, namun ketika itu kerajaan Banjar belum memiliki kitab undang-undang tersendiri atau qanun. Acuan qodhi (hakim) dalam membuat keputusan terkonsentrasi pada fatwa seorang mufti yang menggali dari kitab-kitab fikih, khususnya kitab-kitab susunan Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari.

Syariat Islam Ala Undang-Undang Sultan Adam

Qanun atau undang-undang resmi kerajaan berdasarkan hukum Islam baru dibuat pada masa pemerintahan Sultan Adam, yang memerintah pada 1825 – 1857 M.

Qanun yang dikenal dengan sebutan Undang-Undang Sultan Adam (UUSA), menurut para pengamat sejarah, diberlakukan sejak ditetapkan pada Kamis, 15 Muharram 1251 H atau 1835 M. Qanun inilah yang kemudian menjadi rujukan dan titik temu bila terjadi perbedaan pendapat. Hal ini sesuai dengan yang tersurat dalam naskah undang-undang tersebut :

“…akoe Soeltan Adam membuat oendang-oendang pada sekalian ra’jatkoe soepaja djadi sempoerna agama ra’jatkoe dan atikat mereka itoe dan soepaja djangan djadi banjak djadi-djadi perbantahan mereka itoe dan soepaja djadi kemoedahan segala hakim-hakim manghoekoemkan mereka itoe akoe harap harap djoea bahwa djadi baik sekalian mereka itoe dengan sebab oendang-oendang ini…”

Meski dimaksudkan “soepaja djadi sempoerna agama ra’jatkoe dan atikat mereka itoe“, sebagaimana Mawlana Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari yang tidak menulis tentang Hukum Jinayat, UUSA juga tidak mengatur tentang hukum pidana berdasarkan syariat Islam.

Materi yang termuat dalam UUSA terdiri dari persoalan agama dan peribadatan (pasal 1, 2 dan 3), tata pemerintahan (pasal 3, 21, dan 31), perkawinan (pasal 4, 5, 6, 18, 25 dan 30), hukum acara/peradilan (pasal 7, 8, 9, 10, 12, 13, 14, 15 dan 19), hukum tanah (pasal 17, 23, 26, 27, 28 dan 29) dan peraturan peralihan (pasal 16). Syariat Islam dalam undang-undang ini hanya pada Ibadat, Mu’amalat, dan Munakahat.

Penutup

Dari catatan sejarah diatas, kita tidak menemukan adanya pemberlakuan hukum jinayat atau pidana berdasarkan Fikih Islam pada rakyat kerajaan Banjar. Hukum syariah di Bumi Banjar, baik yang diajarkan melalui kitab-kitab fikih susunan ulama besar Banjar ataupun yang diundangkan melalui undang-undang resmi kerajaan (UUSA), tidak membahas tentang hukum jinayat.

Dalam kitab fikih susunan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari kita tidak menemukan bahasan tentang rajam, potong tangan, dan lainnya yang biasa diulas dalam sub Fikih Jinayat. Demikian pula dalam Undang-undang Sultan Adam.

Apakah terapan Hukum Islam di Kerajaan Banjar tidak menetapkan persoalan pidana berdasarkan hukum fikih Islam, perlu penelitian lebih lanjut tentang hal ini.  

Wallahul Muwaffiq Ilaa Aqwamit Thoriq.