Oleh : Hamid Basyaib
ESAI pendek Dr. Sukidi di Kompas [20/2] tentang Haji Agus Salim sungguh bernas dan menyadarkan kita bahwa tokoh besar yang berpikiran besar itu sangat kurang diapresiasi. Padahal ide-ide keislaman dan kenegaraannya istimewa, sangat maju, semakin relevan untuk dihayati publik hari-hari ini.
Menurut Sukidi, gagasan-gagasan Agus Salim — khususnya tentang hubungan yang layak antara negara dan pilihan agama warganegara — bertumpu kokoh pada ajaran Islam. Ia bukan mengajukan ide kemerdekaan religius berdasarkan parameter luar [ini pekerjaan yang sangat mudah], melainkan bertolak dari ajaran baku Islam sendiri.
Wacana kemerdekaan religius, setidaknya bagi penganut paham liberalisme, bertolak dari ide John Locke (Inggris, abad 17) tentang toleransi terhadap keyakinan religius orang lain. Tapi nabi kaum liberal itu jauh kalah maju dibanding Agus Salim. Locke mengajarkan toleransi yang sangat terbatas, dengan pertimbangan taktis dan politis. Ia rupanya hanya memikirkan nasib rekan-rekannya yang mengalami persekusi keras karena menganut suatu corak Protestanisme; mereka mengajukan tafsir berbeda dari garis penguasa yang menganut Anglikanisme (meski keduanya berdekatan doktrin).
Seperti dicatat Sukidi: Locke meminta penguasa untuk tidak menoleransi umat Katolik (karena loyalitas mereka kepada Paus di Italia), dan untuk tidak menoleransi umat Islam (karena kesetiaan mereka pada khalifah di Turki).
Dengan kata lain: John Locke memaknai toleransi sebagai hadiah dari mayoritas kepada minoritas tertentu, bahkan bukan pada semua minoritas. Pilihan agama minoritas tertentu itu (dalam hal ini: Protestanisme) beserta perilaku keagamaan mereka, sepatutnya ditoleransi oleh pihak penganut/penguasa agama mayoritas (Anglikanisme).
Sikap Locke ini bertentangan dengan prinsip negara modern; bahwa warganegara tidak didefinisikan menurut agama yang mereka anut. Ia tidak berpegang pada hakikat kebebasan. Ia sekadar mempertimbangkan demografi penganut agama, itu pun secara spesifik dikaitkan dengan siapa yang sedang berkuasa dan penganut tafsir apa yang tidak sejalan dengan penguasa tersebut.
Pihak mayoritas selayaknya “mengasihani” minoritas (tertentu!), dan hak-hak mereka sebagai warganegara tak boleh dikurangi hanya karena mereka minoritas — tapi prinsip ini tidak berlaku bagi minoritas non-Protestan.
Locke, seorang penganut Protestanisme yang taat, juga tidak memberi tempat pada warganegara non-religius atau kaum ateis. Ia mendesak penguasa untuk tidak menoleransi ateisme. Baginya, penyangkalan terhadap eksistensi Tuhan akan merusak tata sosial dan menimbulkan kekacauan.
Di titik ini ia juga melawan prinsip negara modern, dengan melakukan diskriminasi terhadap warganegara atas dasar ketidakberagamaan (yang dalam hal ini setara dengan keberagamaan). Konsekuensi dari intoleransi Locke bisa sangat jauh. Warganegara yang tidak menganut suatu agama mungkin boleh ditumpas. Atau pantas dipersulit hidupnya. Atau setidak-tidaknya hak-hak hukum mereka sebagai warganegara tidak perlu dipenuhi oleh negara.
Kumpulan warganegara yang beragama pun berpotensi menghakimi warganegara yang tak beragama dengan dalih menjalankan kewenangan negara, ketika mereka lihat aparat negara tidak diskriminatif terhadap warga yang ateis.
Padahal, mengikuti resep John Locke, negara harus diskriminatif. Maka negara diletakkan di atas kemanusiaan. Negara sah untuk menginjak-injak kemanusiaan sekadar atas dasar kewajiban pemelukan agama bagi warganegara — terlepas bahwa isi ajaran agama itu sendiri mungkin justeru memuliakan kemanusiaan.
***
Haji Agus Salim, menurut Sukidi, tampil tegas dengan ide yang implikasinya adalah mengoreksi posisi John Locke yang diskriminatif. Dan yang mengagumkan, Agus Salim bukan bertolak dari filsafat luar, atau meminjam ide filosof lain yang berseberangan dengan Locke, melainkan bertumpu pada ajaran agama yang dianutnya (Islam), yang juga agama mayoritas bangsanya.
Ia tidak memperlakukan toleransi terhadap penganut agama-agama lain sebagai hadiah atau sikap tenggang rasa yang terpuji dari penganut Islam. Ia meyakini, berdasarkan tafsirnya atas Quran, bahwa keberagamaan atau ketakberagamaan seorang warganegara sepenuhnya adalah haknya sebagai manusia, tak lebih dan tak kurang.
Maka penganutan warganegara terhadap agama apapun harus diberi kemerdekaan mutlak oleh negara. Penghormatan ini bukan berkah atau belas kasihan dari penganut agama mayoritas yang direpresentasikan oleh negara. Hak yang sama harus diberikan pula kepada warganegara yang tidak menganut agama apapun atau kaum ateis.
Gagasan-gagasan fundamental Agus Salim tersebut disajikannya melalui pelbagai tulisan dan buku. Tentunya ia sampaikan pula di forum-forum rapat “Panitia Sembilan”, kelompok sembilan pendiri bangsa yang dipimpin Bung Karno, yang diberi mandat oleh forum Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan, karena forum besar itu buntu dalam isu rumusan final sila pertama Pancasila.
Hasil akhirnya kita semua tahu: sila pertama kemudian berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”, dan tujuh kata sambungannya disepakati dihapus (“dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”).
***
Haji Agus Salim (Bukittinggi 1884 -Jakarta 1954), bernama asli Masyhudul Haq (“Pembela Kebenaran”), adalah pahlawan nasional yang dijuluki “The Grand Old Man” berkat pengetahuannya yang luas, dengan penguasaan sembilan bahasa asing (Eropa dan Asia). Ia eksentrik. Ia, misalnya, tidak menyekolahkan kedelapan anaknya; mereka diajarinya sendiri di rumah, jauh sebelum istilah homeschooling disebut orang.
Kehadiran para tamu yang tak henti berkunjung ke rumah kontrakannya hingga akhir hayat, sekaligus dijadikannya media pengajaran bagi anak-anaknya. Mereka selalu disuruhnya ikut mendengarkan percakapan dirinya dengan tamu, yang membahas aneka urusan orang dewasa. Dengan memberi nasihat kepada para tamu, ia juga memberi pelajaran tentang pelbagai masalah kepada anak-anaknya.
“Saya tidak punya banyak waktu untuk mengajar mereka,” ujarnya, menyebut alasan melibatkan anak-anak dalam obrolan dengan tamu-tamunya. Lagi pula, katanya, tidaklah adil jika orang lain diajarnya (melalui percakapan-percakapan serius itu), sementara pertumbuhan mental dan intelektual anak-anaknya sendiri tidak ia pedulikan.
***
Menjalani profesi sebagai wartawan, dan pernah memimpin Harian Neratja dan Hindia Baroe, selain aktif di partai politik (PSII) dan menjadi Menteri Luar Negeri, Agus Salim juga peminat serius kesastraan. Ia menerjemahkan The Taming of the Shrew (Menjinakkan Perempuan Garang) karya William Shakespeare, monumen dan parameter sastra Barat, selain mengalihbahasakan karya besar Rudyard Kipling, The Jungle Book.
Ia memimpin roadshow delegasi ke Timur Tengah untuk meminta pengakuan atas kemerdekaan RI. Rombongannya dengan cepat mendapatkan pengakuan resmi, pertama kali dari Mesir, negara Arab terbesar dan terkuat, kemudian dari Yordania dan lain-lain. Proses pengakuan yang cepat ini konon berkat keterampilannya bicara dalam beragam dialek Arab.
Ia juga witty, tangkas menangkis pendapat orang lain dengan cerdas dan kocak. Adik kandungnya, Chalid Salim, adalah Muslim yang lama menganut komunisme dan kemudian menjadi pendeta Protestan. Ketika orang mempertanyakan hal ini — mengapa tokoh Islam sebesar dirinya sampai memiliki adik yang menjadi pendeta — ia dengan tangkas menanggapi: “Bukankah itu lebih baik (bagi adik saya), sebab dulu dia tidak mengenal Tuhan, sekarang jadi bertuhan…”
Keentengan tanggapannya itu tentu karena ia menyesuaikan diri dengan corak pikir dan beragama lawan bicaranya. Bagi Agus Salim sendiri, orang yang tak bertuhan tidak niscaya lebih buruk daripada mereka yang bertuhan. Setidak-tidaknya soal pilihan ini sepenuhnya hak seseorang, dan siapapun, termasuk negara, tak punya mandat moral untuk menilai, apalagi menindak.
Penyimpulan ini kita dapatkan dari esai Sukidi tersebut, yang menyajikan fakta segar yang sebelumnya terbenam, dan analisis yang tajam tentang posisi kokoh Agus Salim dalam isu kemerdekaan religius.
Kita harap Dr. Sukidi mau mengelaborasi gagasan ini lebih jauh dalam sebuah buku, untuk membandingkan ide-ide toleransi dari John Locke dan pemikir-pemikir lainnya dengan ide Agus Salim, yang tafsirnya terhadap Konstitusi bervaliditas tinggi mengingat posisinya sebagai salah satu bapak pendiri bangsa. ***