Oleh : Helmi Hidayat Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta |
Jika saya menyatakan: ‘’Tuhan saya bukan orang Arab!’’, apa yang salah dari pernyataan saya?
Di sebuah grup Whatsapp yang semua anggotanya bisa bahasa Arab, rata-rata mendalami Al-Quran dan hadits Nabi SAW, saya pernah minta agar mereka yang tidak setuju dengan pernyataan saya itu mendebat saya dengan semua argumentasi yang mereka bisa. Tiga anggota grup bergumentasi dengan saya, tapi kemudian diam. Mereka tak bisa menjawab pertanyaan saya, di mana kesalahan saya jika saya katakan Tuhan saya bukan orang, tapi Zat Maha Suci lagi Maha Cerdas!
Sekarang bayangkan jika di awal tulisan tadi saya berkata: ‘’Tuhan saya orang Arab!’’
Saya yakin Anda gusar dan seisi grup Whatapps tersebut juga ribut. Saya mungkin akan jadi bulan-bulanan, atau bila perlu dikeluarkan dari grup. Para ustaz di grup itu tentu tidak siap berkawan dengan saya, seseorang yang mereka anggap musyrik karena menjadikan orang Arab sebagai Tuhan.
Nah, sekarang, jika Anda bersepakat dengan saya – bahwa Tuhan yang kita sembah bukanlah orang, entah orang Arab atau seseorang dari suku Hottentot, melainkan Zat Maha Suci -- lalu di mana kesalahan KSAD Jenderal TNI Dudung Abdurrahman saat dia berkata kepada Deddy Corbuzier: ‘’Saya berdoa dengan Bahasa Indonesia sebab Tuhan saya bukan orang Arab’’?
Bukankah Jenderal Dudung benar saat berkata seperti itu? Jika dia berkata ''Tuhan saya orang Arab, bahkan Arab badui'', itu baru salah!
Saya bahkan menilai wawasan keagamaan mantan Pangkostrad ini luas saat melempar pernyataan itu – sebuah keluasan yang membuatnya moderat dalam berpikir dan santai dalam berteologi. Lewat pernyataannya itu, Jenderal Dudung sejatinya ingin berkata: ‘’ Tuhan yang saya sembah bukan orang Arab, melainkan Zat Maha Suci yang Maha Pintar. Orang Arab rata-rata hanya mengerti Bahasa Arab, tapi Zat Maha Tunggal yang saya sembah itu sangat cerdas, mengerti semua bahasa apalagi Bahasa Indonesia, makanya saya cukup berdoa dengan Bahasa Indonesia.’’
Karena itu, saya malah balik bertanya kepada sejumlah besar orang, beberapa di antara mereka bergelar ustaz, yang mengecam Jenderal Dudung sambil memvonis bahwa pernyataannya kepada Deddy Corbuzier itu sama dengan penistaan kepada Allah SWT. Apa pula ini?
Keheranan saya bertambah-tambah setelah saya pelajari bahwa dalam ajaran kelompok Ahlussunnah wal-Jamaah, ada satu ajaran yang menyatakan bahwa salah satu sifat wajib Allah SWT adalah ‘’mukhalafatu lil-hawaditsi’’. Artinya Allah ‘’pasti berbeda dengan semua makhluk’’. Doktrin ini tampaknya diajarkan di semua pesantren beraneka mazhab di Indonesia.
Jika mayoritas umat Islam di Indonesia percaya dengan konsep Allah punya sifat wajib ‘’mukhalafatu lil-hawaditsi’’, mengapa sekarang mereka menerima, minimal diam saja, saat beberapa ustaz mengecam Jenderal Dudung dengan menyatakan sang jenderal sudah menistakan Allah? Jika kita sepakat bahwa Allah adalah Zat Maha Suci – artinya Allah Maha Suci dari segala penisbatan dan pelabelan buatan manusia – mengapa mereka diam saja saat disampaikan ada ‘’Allah yang ternistakan’’?
Masa cepat sekali derajat Allah turun dari derajat tertinggi ‘Allah Maha Suci’ lalu berubah jadi ‘Allah Ternistakan’ hanya gara-gara sebuah pernyataan ‘’Tuhan saya bukan orang Arab’’? Bukankah label ‘Allah Ternistakan’ adalah buah pikir manusia, dan setiap buah pikir manusia adalah makhluk, dan setiap makhluk pasti berbeda dengan Allah – mukhalafatu lil-hawaditsi?
Belum merasa aneh? Ayo saya ajak kembali ke masa lalu.
Saya teringat Nike Ardilla, penyanyi Indonesia yang tewas dalam kecelakaan mobil di Jalan Raden Eddy Martadinata, Bandung, 19 Maret 1995. Indonesia saat itu berduka. Semua koran nasional dan koran daerah berhari-hari menyajikan berita artis yang tewas di usia 19 tahun itu di halaman depan, termasuk Harian Umum Republika, tempat saya dulu bekerja.
Di hari keempat, rapat redaksi memutuskan sebaiknya pemberitaan besar-besaran tentang Nike Ardilla dihentikan, minimal tidak lagi penuh menyita satu halaman depan. Untuk itu sebuah tajuk rencana ditulis khusus tentang Nike Ardilla. Isinya mengimbau agar masyarakat Indonesia legowo menyikapi kematian seseorang – toh setiap manusia pasti mati.
Agar masyarakat ikhlas dengan kepergian Nike Ardilla, tajuk rencana itu pun mengakhiri tulisannya yang panjang dengan satu kalimat yang mantap dan puitis: ‘’Semoga Nike Ardilla tidur tenang di sisi-Nya.’’
Seteleh itu hari demi hari berlalu, semua berjalan aman seperti biasa, sampai pada akhirnya dua Metromini dan satu Kopaja penuh dengan orang-orang pandai dan tokoh masyarakat mendatangi kantor Republika di Jl. Buncit Raya No. 37 empat atau lima bulan setelah tajuk ditulis. Dalam pertemuan dengan jajaran redaksi, mereka memprotes sejumlah tulisan Republika yang mereka nilai liberal, tidak sesuai dengan ajaran Islam, dan menimbulkan banyak kontroversi di tengah umat.
Salah satu tulisan yang mereka persoalkan adalah tajuk rencana Republika tentang Nike Ardilla itu. Menurut beberapa demonstran, lewat tajuk itu Republika sudah menistakan Allah SWT sebab artis itu ditulis tidur di sisi Allah. Biasanya, kata mereka, kalau perempuan tidur di sisi laki-laki, ya Anda tahu sendirilah … ‘’Masa sih Nike Ardilla ditulis tidur di sisi Allah?’’ kata mereka dengan nada tinggi.
Saya terhenyak saat mendengar langsung cara berpikir mereka tentang Allah di forum itu. Tentu saya kaget, teman-teman saya juga kaget. Kami yang menulis kalimat di tajuk itu jangankan berpikir secerdas pikiran demonstran itu, bahkan sampai hati untuk berpikir seperti itu pun tidak.
Sampai sekarang, 26 tahun setelah peristiwa demonstrasi itu berlalu, saya masih sabar bertanya-tanya dalam hati, berapa lama sih orang-orang pandai itu bertamasya ke Arsy Allah SWT di langit terjauh sana hingga mereka terkesan kenal betul karakter Allah SWT? Juga tahu kapan Allah merasa ternistakan – bahkan oleh sebuah kalimat yang sangat mungkin ditulis atau diucapkan lewat ketulusan hati yang paling dalam?
Ya Allah, jangan Kaubuat hati hamba lelah berpikir tentang Engkau, meski hamba sadar, setiapkali hamba berpikir tentang Engkau, semakin Engkau berbeda dengan hasil pikiran hamba ...
Jakarta, 3 Desember 2021