Orang Awam Dalam Beragama Wajib Mengikuti Petunjuk Ulama

Orang Awam Dalam Beragama Wajib Mengikuti Petunjuk Ulama
Oleh ; KH. Ahmad Ishomuddin

Sesungguhnya Allah mengutus Rasul-Nya, Sayyidina Muhammad shalla Allāhu 'alaihi wa sallama, untuk menjelaskan al-Quran. Penjelasan tersebut pada hakikatnya juga wahyu dari Allah yang wajib ditaati.

Setelah beliau wafat, kewenangan untuk menjelaskan risalah Islam itu diberikan kepada para pewaris ilmu para Nabi (ulama). Ulama tidak dibenarkan menyimpang dari dua sumber utama syariat Islam tersebut.

Sedangkan kalangan awam dari umat Islam, yakni orang yang tidak mampu menggali hukum langsung dari dalil-dalilnya, tidak dibenarkan untuk menyimpulkan hukum secara langsung dari kedua sumber (al-Quran dan al-Sunnah) itu. Orang awam berkewajiban untuk meminta fatwa dan mengikuti ulama. Sebagaimana ada konsensus dari para sahabat Nabi, bahwa orang awam yang juga dibebani hukum itu tidak mereka perintahkan untuk menjadi mujtahid.

Jadi, orang-orang awam atau siapa saja yang bukan mujtahid, meskipun tergolong 'ālim, wajib bertaqlid di bidang fikih kepada ulama mujtahid. Sebab, bagi orang awam mencari dalil spesifik untuk kasus hukum yang dihadapinya, menalar dalil, menafsirkan dan menyimpulkannya dengan benar jelas tidaklah mudah, tidak mampu mereka lakukan, bahkan bisa menyesatkan dirinya dan orang awam lainnya dari kebenaran.

Membiarkan orang awam dari kalangan umat Islam untuk menggali hukum langsung dari sumber pokoknya ibarat memberi kebebasan kepada seluruh pasien di rumah sakit untuk mengambil obat mereka masing masing di gudang obat, tanpa konsultasi dan resep dari dokter dan abai terhadap petunjuk apoteker.

Kekeliruan dalam memahami substansi ajaran Islam saat ini banyak disumbang oleh orang-orang awam yang tertipu oleh slogan "kembali kepada al-Quran dan al-Sunnah". Sekelompok kecil orang yang tidak mengukur kadar dirinya itu dengan amat bernafsu dan tanpa ilmu menafsirkan sendiri maksud Allah dan Rasul-Nya, menganggap dalil agama hanyalah wahyu, tanpa perlu dalil-dalil lainnya dan bahkan tanpa perlu mendayagunakan akal cerdas. Sungguh kebenaran yang mereka klaim dari penafsiran terhadap terjemahan kedua sumber utama hukum Islam itu menjadi jauh panggang dari api.
Kalangan awam semacam itu menggelorakan agar dalam beragama tidak perlu mengikuti petunjuk ulama, tidak usah taat pada para kyai, dan bahkan mengharamkan mengikuti ulama madzhab seperti al-Imam Abu Hanifah (80-150 H.), al Imam Mālik bin Anas (93-179 H.), al-Imam al-Syafi'i (150-204 H.) dan al Imam Ahmad bin Hanbal (lahir pada 163 H.), padahal masa hidup para imam madzhab ini lebih dekat dengan masa sahabat dan masa Nabi yang merupakan sebaik-baik masa. Jadi, mereka mengatakan bahwa taqlid itu haram secara mutlak dan bermadzhab itu bid'ah.

Pemahaman orang yang anti taklid dan anti madzhab karena slogan kembali kepada al-Quran dan al-Sunnah itu tidak boleh (haram) diterima, wajib ditolak karena berpaham salah, salah paham, sesat dan menyesatkan. Itu semua adalah klaim kebenaran yang hakikatnya adalah kebatilan, lebih mendekatkan kepada kemafsadatan/kerusakan daripada kemaslahatan umat Islam.

Telah ada kesepakatan ulama (al-Ijmā') bahwa taqlid di bidang fikih itu diberlakukan untuk orang awam hingga kini. Dalam hal ini mengikuti salah satu dari empat madzhab merupakan kemaslahatan yang tidak samar dan tidak perlu diragukan, sebaliknya berpaling dari mereka menimbulkan kerusakan (mafsadat) yang besar di segala bidang kehidupan, terutama bidang agama.

Fitnah yang mengusik ketentraman umat Islam, bahkan umat manusia saat ini, nyata-nyata banyak disumbang oleh sebagian muslim awam yang arogan,keras kepala dan tidak mampu mengukur kadar dirinya sendiri. Bukan ulama tetapi mengaku sebagai ulama, amat bodoh tetapi merasa pintar.

Klaim kebenaran berdasarkan dalil-dalil versi mereka tiada lain hanyalah dalih yang jauh dari maksud Allah dan Rasul Nya, karena mereka telah terbukti menafsirkan dan menerapkan al-Quran dan al-Sunnah tanpa memenuhi syarat syarat ilmiah sebagaimana telah ditentukan oleh para ulama terdahulu. Selain itu, mata rantai (sanad) perolehan ilmu agama mereka kebanyakan tidaklah bersambung hingga Rasulullah shalla Allāhu 'alaihi wa sallama.

Untuk mendekati hakikat kebenaran dalam ber-Islam dalam masalah al-ahkām al-ijtihādiyyah (hukum hukum yang diperoleh dari hasil ijtihad) akan lebih aman, selamat dan terhindar dari kesesatan serta lebih maslahat, maka umat Islam sepantasnya mengikuti dan terikat kepada salah satu dari madzhab fikih yang empat, karena para imam madzhab itu disepakati sebagai ulama yang paling otoritatif, lebih bisa dipercaya dalam menafsirkan al-Quran dan al-Sunnah, sedangkan karya-karya ilmiah mereka terkodifikasikan dan praktek keberagamaan mereka tetap terjaga dan terwariskan dengan baik secara berkesinambungan hingga masa sekarang ini.