Islam Nusantara Arus Baru Islam Dunia

Ditulis oleh :  Imaduddin Utsman, LBM PBNU

Nahdlatul Ulama (NU) sebagai jam’iyyah keagamaan berbasis Pondok Pesantren (Pontren) telah mampu mentransformasikan epistimologi Islam yang terdapat dalam kitab-kitab kuning kedalam kehidupan masyarakat Islam di Indonesia, dengan meracik perpaduan antara bumbu fikih yang kaku dan menyengat dengan ditaburi “sasa” tasawuf yang lunak dan sedap, serta diperciki cuka kearifan yang larut secitarasa, untuk selanjutnya dapat menghidangkan masakan nilai-nilai islam yang universal sesuai dengan selera lidah hati masyarakat Indonesia, walau bahan intinya sama dengan yang berkembang di negara lain, namun karena dikerjakan oleh koki lokal yang linuih (sakti/ahli) dan piawai, terwujudlah hidangan masakan Islam yang memiliki kekhasan lokal dengan hakikat universal yang kemudian diperkenalkan dengan ibaroh “Islam Nusantara”.
 
Islam Nusantara adalah suatu kebijaksanaan yang lahir dari proses panjang perjalanan peradaban umat islam nusantara yang kelak bernama Indonesia yang mulai menemukan momentum kristalisasinya pada tahun 2015 ketika perhelatan muktamar NU ke-33 di Jombang.

Esensi Islam Itu Bukan Budaya Arab

Allah SWT mewahyukan kepada Nabi Muhammad SAW ajaran Agama Islam yang universal yang sama dengan yang diwahyukan kepada rasul sebelumnya, bukan mewahyukan ajaran Agama Arab baru yang harus dijalankan baik oleh orang Arab sendiri maupun non Arab. 

Ketika ajaran Agama Islam, misalnya solat harus menutup aurat, maka ketika orang-orang arab sehari-hari sebelum agama Islam itu datang menggunakan baju jubah sebagai penutup aurat, maka bukan berarti orang diluar Arab harus bersusah payah mencari bahkan membuat baju Jubah ketika hendak solat, ia cukup, menggunakan sarung misalnya untuk orang nusantara, seperti apa adanya pakaian ia sebelum Islam, itu sudah memenuhi sarat dan dianggap sah.

Praktik Islam yang diterjemahkan oleh Nabi Muhammad SAW yang direkam oleh hadits-hadits yang sampai kepada kita, tidak semuanya murni wahyu yang harus dijalankan seluruh umat islam secara dzahir nash, didalamnya tentu ada proses saling mengisi dan akulturasi antara ruh universal Islam dan budaya Arab dimana Nabi Muhammad SAW berada didalamnya.

Ulama mempunyai tugas untuk memilah antara ia yang termasuk esensi universalitas Islam yang tidak bisa ditawar harus seragam tidak boleh berbeda berdasarkan klimatologis dan geografisnya dan mana yang boleh. Pebedaan klimatologis dan geografis telah terbukti menyebabkan perbedaan warna kulit, tinggi badan, watak dan lain sebagainya, hal itu tentu tidak terlalu berlebihan jika kita pun berusaha memilah dari apa yang kita fahami sebagai Islam itu, mana yang betul betul Islam dan mana yang sebenarnya hanya merupakan hasil akulturasi sinergis antara Islam dan Arab secara klimatologis dan geografis.

Dalam beberapa hal, sebenarnya secara yurisprudensi Islam, hal tersebut diatas sudah dimulai misalnya dalam menentukan jenis makanan untuk zakat fitrah, ulama fikih menentukan bahwa jenis makanan yang harus dibayar dalam zakat fitrah adalah jenis makanan yang sesuai dengan tempat di mana zakat fitrah itu dikeluarkan, tidak harus sama dengan orang Arab yang berzakat fitrah kurma dan gandum.

Juga misalnya dalam zakat hewan gembala, kerbau tidak termasuk dalam jenis hewan yang wajib dizakati, tapi ulama menentukan wajibnya zakat hewan kerbau karena disamakan dengan sapi.tentu yang telah dimulai ulama dalam hal hal terbatas itu harus diteruskan, dan dalam masalah itu ulama NU bisa dianggap adalah pelopor di dunia Islam. Gus Dur misalnya telah lama berbicara tentang pribumisasi Islam.

Islam Nusantara Menjadi Pusat Perhatian Dunia

Konsep Islam Nusantara yang terlahir dari pijakan berpikir seperti diatas kini dianggap mempunyai peran strategis dalam menciptakan keharmonisan bangsa Indonesia yang plural dari sisi agama, keyakinan keagamaan dan suku bangsa.

Negara Arab yang relatif lebih homogen, berlandaskan hal hal yang telah disebutkan, dari Indonesia, ternyata mengalami chaos dalam beberapa tahun kebelakang karena mudahnya disulut oleh isu politik yang di balut faham keagamaan. Sebagai sebuah trend ketika itu, ternyata beberapa kelompok berusaha membawa trend chaos itu ke Indonesia, namun rupanya usaha mereka gagal. 

Banyak pertanyaan apa yang membuat Indonesia bisa bertahan? Banyak yang menduga bahwa semua itu tidak terlepas dari faham keagamaan yang dikembangkan oleh NU sebagai unsur mayoritas muslim indonesia, dan faham keagamaan tersebut dapat disederhanakan dengan konsep Islam Nusantara. 

Tentu sebagai sebuah konsep yang baru beberapa tahun dikristalisasi, konsep Islam Nusantara ini masih terus perlu disempurnakan, namun inti dasar pemilahan antara Islam dan Arab, atau lebih khusus Quraisy Makkah, akan menjadi percontohan besar arus baru pemikiran Islam di seluruh dunia. Wallahu a’lam.