Oleh: KH Cholil Nafis, Ph.D., Ketua Komisi Dakwah Dan Pengembangan Masyarakat MUI Pusat
Malam hari pertama Ramadan saya terbang dari Bandara Soekarno Hatta Jakarta menuju Bandara Schipol, Amsterdam. Saya bertekad untuk tetap berpuasa meskipun Islam memberi dispensasi (rukhshoh) kepada orang yang berpergian jaun untuk tidak berpuasa.
Imam Ahmad bin Hambal menyatakan bahwa orang musafir itu tak baik menjalankan ibadah puasa. Namun saya tetap berpuasa karena beban moral dalam diri saya: "Masa' saya yang akan dakwah dan ceramah di depan orang berpuasa, ko' diri sendiri tak menjalankan ibadah puasa". Tekad itulah yang memotivasi saya tetap berpuasa saat menjalankan safari Ramadhan di beberapa negara.
Selain itu berpuasa untuk menjaga kesehatan selama dalam perjalanan.
Puasa hari pertama saya menjalankannya selama 23 jam. Sebab saya sahur di malam Sabtu itu pada jam 12-an saat pesawat berada di atas Kota Doha menuju sebelah Teheran. Selisih waktu saat sahur di pesawat dengan waktu setempat di Amsterdam sekitar 4 jam. Saya lanjutkan berpuasa 19 jam di Amsterdam sehingga total saya berpuasa di hari pertama 23 jam.
Di musim panas di Eropa waktu siangnya lebih panjang dari pada waktu malamnya. Malam hari hanya 5 jam. Mulai masuk waktu Maghrib jam 21.48, Isya jam 23.58 dan waktu subuh jam 03.08. Sehingga praktis tak tidur semalaman karena seusai shalat tarawih langsung makan sahur dan dilanjutkan shalat Subuh. Waktu istirahat tidur pindah seusai shalat subuh.
Kondisi alam Eropa di musim panas memunculkan banyak masalah fikih. mulai dari waktu turunnya lailatul qadar, menjalankan ibadah puasa dan melaksanakan shalat. Ada yang memfatwakan agar puasanya mengikuti waktu di Mekkah dan ada fatwa lain bahwa shalat isya'nya boleh dijama' taqdim (digabung waktunya lebih awal) dengan waktu maghrib agar lebih banyak bisa istirahat. Meskipun fatwa ini tak semua masyarakat muslim mengikutinya.
Pengalaman saya berpuasa di Eropa tak ada masalah dengan perubahan waktu. 19 jam berpuasa tak jauh berbeda dengan berpuasa yang 13 jam seperti di Tanah Air. Kesehatan tak terganggu dan bahkan normal dapat melakukan aktifitas dan perjalanan. Shalat pun yang saya lakukan tidak menjamaknya. Itupun tak menggangu waktu istirahat masyarakat.
Kondisi Masyarakat pun di Eropa tak menampakkan suasan lain bulan Ramadan. Jam kerja dan warung-warung buka seperti biasanya. Bahkan di musim panas bagi masyarakat Eropa adalah surga karena dapat menikmati panas matahari.
Pakaian masyarakat Eropa minim dan terbuka dan senangat berjemur di taman-taman ruang terbuka. Inilah tantangan maksiat mata bagi orang yang berpuasa di musim panas di Eropa.
Semua ibadah dan puasa dapat dilaksanakan dengan baik karena ada tekat dibuat oleh iman sehingga sistem tubuh terhormat dengan baik. Puasa itu menyehatkan jasmani dan rohani.
Dikutip dari Tribun.Com