Masalah isbal atau menurunkan ujung kain ke bawah mata kaki baik di dalam sholat maupun di luar sholat memang telah terjadi perbedaan dan perdebatan. Menurut mayoritas ulama’, hukumnya makruh jika tidak dengan maksud sombong (khuyala’) dan haram jika dengan maksud sombong. Berikut beberapa hadits Nabi SAW mengenai isbal, yaitu antara lain :
عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: لَبِسْتُ ثَوْبًا جَدِيدًا، فَأَتَيْتُ عَلَى رَسُولِ الله صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم وَهُوَ عِنْدَ حُجْرَةِ حَفْصَةَ فِي لَيْلَةٍ مُظْلِمَةٍ، فَسَمِعَ قَعْقَعَةَ الثَّوْبِ، فَقَالَ: مَنْ هَذَا؟ فَقُلْتُ: عَبْدُ الله بْنُ عُمَرَ، قَالَ: ارْفَعْ إِزَارَكَ فَإِنَّ الَّذِي يَجُرُّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ لاَ يَنْظُرُ الله إِلَيْهِ، الحديث ....
Artinya : Dari Ibnu Umar, Dia berkata : Aku memakai pakaian baru lalu aku mendatangi Rasulullah SAW, pada saat itu beliau sedang berada di bilik Hafshoh di malam yang gelap, beliau mendengar suara kresek-kresek pakaian (yang aku pakai), maka beliau bersabda : Siapa? Aku menjawab “Abdullah bin Umar”, Beliau-pun bersabda : Naikkan pakaianmu karena sesungguhnya orang yang menjulurkan pakaiannya (sampai di bawah mata kaki) karena sombong, Allah tidak akan melihat kepadanya.
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: « مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ لَمْ يَنْظُرِ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ». فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقِ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ: أَىْ رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَحَدَ شِقَّىْ إِزَارِى يَسْتَرْخِى إِلاَّ أَنْ أَتَعَاهَدَ ذَلِكَ مِنْهُ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: «لَسْتَ أَوْ إِنَّكَ لَسْتَ مِمَّنْ يَصْنَعُهُ خُيَلاَءَ». رَوَاهُ الْبُخَارِىُّ فِى الصَّحِيحِ عَنْ أَحْمَدَ بْنَ يُونُسَ. السنن الكبرى لأبو بكر أحمد بن الحسين بن علي البيهقي
Artinya : Rasulullah SAW bersaba : Barang siapa yang menjulurkan pakaiannya (sampai di bawah mata kaki) karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat. Lalu Abu Bakar berkara: “Wahai Rasulullah, sarungku sering melorot (lepas ke bawah) kecuali aku benar-benar menjaganya. Maka Rasulullah SAW bersabda :"Engkau tidak melakukannya karena sombong”.(H.R. bukhari)
عن ابن مسعود قال: سمعت رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يقول: من أسبل إزارة في صلاته خيلاء، فليس من اللَّهِ عز وجل في حل ولاحرام.
Artinya : Dari Ibnu Mas’ud, Dia berkata : Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda : “Siapa yang shalat dalam keadaan isbal disertai kesombongan, maka Allah tidak memberikan jaminan halal dan haram untuknya.”
بَيْنَمَا رَجُل يُصَلِّى مُسْبِلاً إِزَارَهُ إِذْ قَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم اذْهَبْ فَتَوَضَّأْ. فَذَهَبَ فَتَوَضَّأَ ثُمَّ جَاءَ ثُمَّ قَالَ اذْهَبْ فَتَوَضَّأْ. فَذَهَبَ فَتَوَضَّأَ ثُمَّ جَاءَ فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا لَكَ أَمَرْتَهُ أَنَّ يَتَوَضَّأَ ثم سكت عنه ؟ َقَالَ إِنَّهُ كَانَ يُصَلِّى وَهُوَ مُسْبِلٌ إِزَارَهُ وَإِنَّ اللَّهَ لاَ يَقْبَلُ صَلاَةَ رَجُلٍ مُسْبِلٍ
Artinya : Manakala seorang laki-laki melaksanakan shalat dalam keadaan ujung kain sarungnya menutup mata kakinya (isbal), pada ketika itu, Rasulullah SAW berkata : “Pergilah engkau berwudhu’”, maka dia pergi berwudhu’, kemudian dia datang kembali. Kemudian Rasulullah berkata lagi : “Pergilah engkau berwudhu’”, maka dia pergi berwudhu’, kemudian dia datang kembali lagi. Pada ketika itu, seorang sahabat berkata : “Ya Rasulullah, kenapa engkau memerintahnya berwudhu’, kemudian engkau diam?, maka Rasulullah SAW bersabda : Laki-laki itu melaksanakan shalat, padahal ujung kain sarungnya menutup mata kaki, sesungguhnya Allah tidak menerima shalat seseorang yang ujung kainnya menutup mata kaki (isbal) (H.R. Abu Daud[18]
وفي هذه الأحاديث أن إسبال الإزار للخيلاء كبيرة وأما الإسبال لغير الخيلاء فظاهر الأحاديث تحريمه أيضا لكن استدل بالتقييد في هذه الأحاديث بالخيلاء على أن الإطلاق في الزجر الوارد في ذم الإسبال محمول على المقيد هنا فلا يحرم الجر والاسبال إذا سلم من الخيلاء قال بن عبد البر مفهومه أن الجر لغير الخيلاء لا يلحقه الوعيد إلا أن جر القميص وغيره من الثياب مذموم على كل حال وقال النووي الإسبال تحت الكعبين للخيلاء فإن كان لغيرها فهو مكروه وهكذا نص الشافعي على الفرق بين الجر للخيلاء ولغير الخيلاء قال والمستحب أن يكون الإزار إلى نصف الساق والجائز بلا كراهة ما تحته إلى الكعبين وما نزل عن الكعبين ممنوع منع تحريم إن كان للخيلاء وإلا فمنع تنزيه لأن الأحاديث الواردة في الزجر عن الإسبال مطلقة فيجب تقييدها بالإسبال للخيلاء انتهى
Hadits-hadits di atas menjelaskan bahwa isbal karena sombong itu termasuk dosa besar (haram), dan jika tidak karena sombong, kalau dilihat dari dzohirnya hadits pun seperti itu pula hukumnya. Akan tetapi keharaman yang ada di dalam hadits-hadits diatas disertai dengan qoyyid ‘khuyala’. Ini menunjukkan bahwa teguran dan ancaman pada isbal itu tergantung kepada ada dan tidaknya tujuan ‘khuyala’. Karenanya hukum isbal kalau tidak di sertai dengan tujuan ‘khuyala’ itu tidak harom, kalau disertai dengan tujuan ‘khuyala’ maka hukumnya harom. Sebagaimana kata Ibnu Abdil Bar dan Imam Nawawi. Imam Nawawi berkata, Isbal dibawah mata kaki dengan sombong ‘khuyala’ (hukumnya haram), jika tidak dengan sombong maka makruh. Demikian itu merupakan pendapat Asy-Syafi’i tentang perbedaan antara menjulurkan pakaian dengan sombong dan tidak dengan sombong. Dia berkata: Yang disukai (mustahab) adalah memakai kain sarung sampai setengah betis, dan boleh saja tanpa dimakruhkan jika dibawah betis sampai mata kaki, sedangkan di bawah mata kaki adalah dilarang dengan pelarangan haram jika karena sombong, jika tidak karena sombong maka itu larangan tanzih. Karena hadits-hadits yang datang yang menegur (pelaku) isbal adalah hadits yang mutlak (umum), maka wajib mengqoyidinya (membatasinya) dengan hadits isbal yang disertai dengan qoyyid/ batasan khuyala (sombong). (Diriwayatkan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, Kitab Al Libas Bab Man Jarra Tsaubahu min Al-Khuyala).
Ibnu ’Alan, seorang ahli hadits terkemuka dari kalangan Syafi’iyah dalam kitab beliau, Dalil al-Falihin li Thuruq Riyadhusshalihin 6/79, berpendapat makruh kalau isbalnya tidak disertai dengan tujuan khuyala’. Tetapi kalau karena udzur seperti yang terjadi pada Abu Bakar, atau karena dlorurot, seperti menutupi luka dari keroyokan lalat maka hukumnya boleh.
Ibnu Muflih berkata: pengarang Al Muhith dari kalangan Hanafiyah berkata, diriwayatkan bahwa Abu Hanifah Rahimahullah memakai mantel mahal seharga empat ratus dinar, yang menjulur hingga sampai tanah. Maka ada yang berkata kepadanya: “Bukankah kita dilarang melakukan itu?” Abu Hanifah menjawab: “Sesungguhnya larangan itu hanyalah untuk yang berlaku sombong, sedangkan kita bukan golongan mereka.” (Imam Ibnu Muflih, Al-Adab Asy-Syar’iyyah, Juz. 4, Hal. 226.). Begitu juga dengan Ibnu Taimiyah, beliau memilih untuk tidak mengharamkannya, dan tidak melihatnya sebagai perbuatan makruh, dan tidak pula mengingkarinya. (Al-Adab Asy-Syar’iyyah).
Ada juga ulama-ulama yang berpendapat bahwa isbal adalah haram baik dengan sombong atau tidak, kalau dengan sombong keharamannya lebih kuat dengan ancaman neraka, jika tidak sombong maka tetap haram dan Allah Ta’ala tidak mau melihat di akhirat nanti kepada pelakunya (musbil). Mereka memahami hadits-hadits di atas dari sisi zahirnya saja. Seperti Ibnul ‘Arabi, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz dan Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin.
Kemudian bagaiman hukumnya Sholat Memakai Celana atau Sarung yang Melebihi Mata Kaki (Isbal)?. Hukumnya sebagaimana dijelaskan di atas, menurut kebanyakan ulama adalah MAKRUH kalau tidak disertai dengan tujuaan khuyala’ dan HARAM kalau disertai dengan tujuan khuyala’. Akan tetapi sholatnya tetap sah. Seperti halnya wudlu’ dengan air curian dan jual beli pada waktu azhan Jum’at. Wudlu’nya tetap sah, tetapi mencurinya ya haram. Jual belinya haram karena ada larangan dalam al-Qur’an, namun akad jual belinya tetap sah.
Sedangkan mengenahi dapat dan tidaknya pahala sholat yang dilakukan oleh orang yang memakai celana atau sarung yang melebihi mata kaki (isbal). Al-Imam al-Hafidz Zainuddin Abdur Rauf al-Munawi mengatakan; Tidak diberi pahala seseorang yang melakukan sholat dengan memakai sarung yang melebihi mata kaki (isbal) karena sombong dan ujub walaupun sholatnya sah. (Attaisir bi Syarhil Jami’is Shoghir 1/535). Pendapat al-Munawi itu jika isbalnya karena sombong. Jika tidak karena sombong maka orang itu masih mendapatkan pahala meskipun berkurang dari pahala yang semestinya (menurut pendapat mayoritas ulama’ yang menganggap makruh isbal tidak karena sombong). dan tentu saja kalau menurut pendapat ulama’ yang menganggap mubah isbal tanpa perasaan sombong, maka isbal tersebut samasekali tidak mengurangi pahala sholat dengan pakaian isbal. Wa allohu a’lam bisshowab.