JAKARTA - Tiga orang penting di negeri ini membawa pesan penting yang isinya mengingatkan agar semua pihak waspada. 'Krisis langka' membayangi dunia.
Ekonomi dunia diyakini akan mengalami resesi tahun depan. Presiden Joko Widodo (Jokowi), Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengemukakan bahaya resesi tersebut.
Resesi ekonomi menjadi hantu menyeramkan bagi seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia. Ekonomi dunia saat ini memang sedang baik-baik saja, terutama selepas pandemi Covid-19 mereda.
Melihat laporan perkembangan ekonomi global yang mengkhawatirkan, semakin sadar bahwa jurang krisis dan resesi ada di depan mata. Lantas, apa yang terjadi kepada warga Indonesia jika resesi benar-benar terjadi?
Ekspor Indonesia akan terguncang karena pasar dunia yang lesu. Ekspor sendiri berkontribusi sebesar 23% terhadap pertumbuhan ekonomi di kuartal I-2022. Kemerosotan ekspor akibat resesi dunia tentunya akan memangkas PDB Indonesia.
Nah saat ekspor kemudian menjadi lesu, dampaknya akan terasa bagi eksportir. Permintaan yang sepi akan mempengaruhi pendapatan perusahaan. Di sisi lain, beban operasional tetap harus berjalan seperti listrik, sewa gedung, dan karyawan.
Biasanya untuk mengurangi beban, kapasitas produksi pun dikurangi mengikuti permintaan yang turun. Selain itu, karyawan pun jadi korban dengan adanya pemotongan gaji. Bahkan lebih parah, adanya pemutusan hubungan kerja (PHK).
Ujung-ujungnya daya beli pun semakin rendah karena pendapatan yang terpotong atau bahkan terputus. Tingkat pengangguran pun menjadi bertambah. Sudah pasti saat pendapatan berkurang, pengeluaran hanya terbatas untuk memenuhi kebutuhan pokok saja.
Masalah makin rumit ketika ada utang yang belum dibayar dan sudah segera jatuh tempo. "Gali lubang, tutup lubang" alias meminjam untuk menutup pinjaman akan jadi pilihan yang umum untuk segera membayar utang yang akan jatuh tempo.
Apalagi saat terjadi resesi, menjual aset di harga terbaik akan sulit. Sebab daya beli masyarakat sedang lesu saat itu. Kemudian jika melihat kondisi saat ini, resesi dipicu oleh kenaikan suku bunga bank sentral yang agresif.
Sehingga bisa mengerek suku bunga kredit yang membuat utang menjadi lebih mahal. Di sisi lain bunga deposito pun bisa naik yang membuat investasi di bank lebih menguntungkan dibandingkan investasi di aset risiko yang akan terpukul.
Jadi daya beli masyarakat akan terpukul karena pendapatan yang berkurang, ini berisiko meningkatkan angka kemiskinan. Pasalnya, resesi ekonomi dapat membebani lapangan usaha hingga menimbulkan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK).
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah membenarkan bahwa banyaknya PHK akan menjadi salah satu dampak terbesar jika resesi menghampiri ekonomi Indonesia.
"Dari pengalaman 2020 itu paling terdampak kalangan menengah ke bawah. Ketika perekonomian terkontraksi maka akan banyak perusahaan tertutup sehingga banyak PHK," tutur Piter.
Dia menambahkan PHK membuat orang kehilangan sumber pendapatan sehingga daya beli melemah dan kemiskinan pun meningkat. "PHK akan mengurangi daya beli dan kualitas hidup mereka. Kemiskinan pun meningkat," imbuhnya.
Dikutip dari CNBC Indonesia