Setiap umat Muslim di Indonesia yang sudah selesai ibadah haji di Mekah, akan mendapat gelar dan memakai nama “Haji” atau “Hajjah” di depan nama mereka.
Melansir laman Kementerian Agama, pemberian gelar haji dan hajjah telah terjadi sejak masa silam.
Menurut Filolog Oman Fathurahman atau Kang Oman dalam penjelasannya melalui Kemenag mengatakan, dahulu hal tersebut lantaran perjalanan untuk menuju Tanah Suci bagi orang Nusantara adalah menjadi suatu perjuangan yang sangat berat, harus mengarungi lautan berbulan bulan , menerjang badai, menghindari perompak, hingga menjelajah gurun gurun pasir.
Seorang yang pada akhirnya berhasil melalui ujian tersebut dan berhasil kembali dengan selamat ke tanah air, kemudian mereka dianggap berhasil mendapat anugerah dan kehormatan. Terlebih, Ka’bah dan Mekkah merupakan kiblat suci umat Islam sedunia.
Sementqra itu, berdasarkan keterangan Agus Sunyoto, seorang Arkeolog Islam Nusantara menyatakan, bahwa gelar haji mulai muncul sejak zaman Kolonial Belanda tepatnya tahun 1916.
Jika dilihat dari asal usulnya, gelar haji sebenarnya merupakan pemberian Kolonial Belanda, sebab pada zaman penjajahan, Belanda sangat membatasi gerak-gerik umat muslim dalam berdakwah, segala sesuatu yang berhubungan dengan penyebaran agama terlebih dahulu harus mendapatkan izin dari pihak pemerintahan Belanda.
Belanda sangat khawatir apabila nanti timbul rasa persaudaraan dan persatuan di kalangan rakyat pribumi. Sehingga akan menimbulkan pemberontakkan. Oleh karena itu, segala jenis peribadatan sangat dibatasi. Pembatasan ini juga diberlakukan terhadap ibadah haji. .
Bahkan untuk yang satu ini Belanda sangat berhati-hati, karena pada saat itu mayoritas orang yang pergi menunaikan ibadah haji, ketika pulang kembali ke tanah air maka yang bersangkutan akan melakukan perubahan.
Hal ini bisa dilihat, ketika zaman penjajahan Belanda, sudah banyak Pahlawan Indonesia yang menunaikan ibadah haji, seperti Pangeran Diponegoro, HOS Cokroaminoto, Ki Hajar Dewantara dan masih banyak yang lainnya.
Kepulangan mereka dari menunaikan ibadah haji banyak membawa perubahan untuk Indonesia, tentunya perubahan ke arah yang lebih baik. Contohnya Pangeran Diponegoro yang pergi haji dan ketika pulang melakukan perlawanan terhadap Belanda. Imam Bonjol yang pergi haji dan ketika pulang melakukan perlawanan terhadap Belanda dengan pasukan Paderi-nya. Begitu pun halnya HOS Cokroaminoto.
Sepulang dari menunaikan ibadah haji beliau mendirikan Sarekat Islam. Ki Hajar Dewantara yang berjuang dalam dunia pendidikan. Muhammad Darwis yang pergi haji dan ketika pulang mendirikan Muhammadiyah. Hasyim Asy’ari yang pergi haji, kemudian mendirikan Nadhlatul Ulama.
Begitu juga Samanhudi yang pergi haji dan kemudian mendirikan Sarekat Dagang Islam. Hal ini dapat terjadi karena saat mereka di tanah suci kemudian bertemu dan bertukar pikiran dengan jama’ah haji dari negara-negara Islam lainnya. Hal-hal seperti ini merisaukan pihak Belanda.
Maka salah satu upaya Belanda untuk mengawasi dan memantau aktivitas serta gerak-gerik ulama-ulama ini adalah dengan mengharuskan penambahan gelar haji di depan nama orang yang telah menunaikan ibadah haji dan kembali ke tanah air.
Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Pemerintahan Belanda Staatsblad Tahun 1903. Pemerintahan Kolonial Belanda pun mengkhususkan Pulau Onrust dan Pulau Kayangan (Sekarang Pulau Cipir) di Kepulauan Seribu (Sekarang termasuk wilayah DKI Jakarta) menjadi gerbang utama jalur lalu lintas perhajian di Indonesia.
Di Pulau Onrust dan Pulau Kayangan (Sekarang Pulau Cipir) di Kepulauan Seribu, orang-orang yang pulang dari menunaikan ibadah haji banyak yang dikarantina. Ada yang memang dirawat dan diobati dikarenakan sakit akibat jauhnya perjalanan naik kapal laut. Ada juga yang disuntik mati kalau dipandang mencurigakan oleh pihak Belanda. Nama-namanya akan dicatat dan dibuat daftar. Selanjutnya akan dipulangkan ke kampung halamannya.
Oleh sebab itu, gelar haji menjadi semacam cap yang memudahkan Pemerintah Hindia Belanda untuk mengawasi orang-orang yang dipulangkan ke kampung halamannya sehingga memudahkan Pemerintahan Kolonial Belanda untuk mencari orang tersebut apabila terjadi pemberontakkan.
Hingga saat ini, kebiasaan penambahan gelar H dan Hj di depan nama orang-orang yang telah menunaikan ibadah haji ke tanah suci pada akhirnya menjadi turun temurun dan dijadikan gelar yang memiliki nilai prestisius tersendiri di mata masyarakat.
Orang-orang yang ada gelar tambahan haji atau hajjah di depan nama dipandang sebagai orang yang mampu berangkat ke tanah suci yang berarti orang-orang yang memiliki materi lebih dibanding yang lain. Jika ada orang yang tidak mencantumkan gelar haji atau hajjah di depan nama yang bersangkutan atau menyapanya tanpa ada tambahan gelar haji atau hajjah, yang bersangkutan biasanya akan marah atau tersinggung.
Jika dilihat dari asal usul penambahan gelar haji atau hajjah di depan nama dengan simbol huruf H, maka gelar tersebut bukanlah simbol agama tapi merupakan pemberian Kolonial Belanda.
Oleh karena itu tidak sepantasnya kita membanggakan status dan gelar, karena itu semua sama sekali tidak berarti di hadapan Allah SWT. Justru gelar tambahan haji atau hajjah di depan nama tersebut dapat dijadikan sebagai pengingat agar dapat menjaga sikap dan perilaku, bukan untuk menyombongkan diri dan bermegah-megahan.
Dikutip dari sumber Mediakasasi.com