JAKARTA - Juru bicara Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Perhimpunan Anak Transmigran Republik Indonesia (PATRI) Sugiharto Parikesit mengapresiasi gerak cepat kebijakan Menteri Perdagangan dan Menteri Keuangan RI, meniadakan pungutan ekspor oleh BPDPKS sebesar US $ 200/ton atau Sekitar Rp 3 juta/ton CPO (Rp 3.000/kg TBS). Setara Rp 600/kg TBS jika rendemen 20%.
Dan Patri meminta pemerintah memberikan kepastian waktu pemberitahuan persetujuan ekspor (PE) selain menghapus pungutan eksport sawit. Langkah itu disebut akan mengerek harga tandan buah segar (TBS) sawit.
Kebijakan tersebut akan menambah harga Rp 600/kg TBS. Misal Rp 1.000/kg, jadi Rp 1.600/kg TBS. Akan tetapi Petani Kelapa sawit masih merugi, karena biaya produksi (HPP) Rp 1.800/kg. Itu jika pabrik kelapa sawit (PKS) masih operasi. Bagi PKS nya yang telah tutup, kebijakan tersebut tidak ada pengaruhnya.
Meniadakan Pungutan Eksport (PE) masih belum sesuai harapan petani Kelapa sawit, dan terlihat masih setengah hati dalam mencari solusi situasi gawat darurat seperti saat ini.
Bulan Juli - November 2022 diperkirakan musim panen raya kelapa sawit. Prediksi CPO mencapai 5,2 juta ton hingga 31 Agustus 2022. Padahal stok saat ini 7,2 juta ton (data menurut GAPKI). Total akan ada stok 12,4 juta ton hingga 31 Agustus 2022. Lazim konsumsi domestik 1,5 juta ton/bulan. Sisa 10,9 juta ton jika tanpa ekspor.
"Lazimnya stok 3 juta ton, karena wajib dipanen tiap 15 hari sekali. Solusinya harus bisa menyerap dari tangki timbun. Diekspor 6,5 juta ton dan dijadikan B30/FAME sebanyak 1,5 juta ton sampai 31 Agustus 2022. Jika formulasi neraca "tidak" seperti ini. PKS makin banyak tutup, kebun tidak terpanen makin luas", ujar Sugiharto
PPIC ( Production Planning and Inventory Control) perangkat tepat mengendalikan situasi "gawat darurat per hari" situasi saat ini. Karena menyangkut kelangsungan usaha yang telah dibangun oleh investor massal yaitu petani dan pengusaha PKS, sarana transportasi, alat berat dan seterusnya.
Investor tersebut harus dijaga iklim usahanya agar dinamis produktif. Karena investasinya di sawit dengan modal sangat besar. Hingga kontribusi ke PDB (Produk Domestik Bruto) 3,5% (BPS), tergolong besar. Tentu memakai dana bank yang butuh dijaga kepercayaannya. Agar tidak macet, bank juga tetap dipercaya oleh masyarakat penabung.
Untuk itu DPP PATRI memberikan masukan agar persoalan krisis Kelapa sawit dan berikut produk turunannya bisa segera di antisipasi, dengan cara antara lk ain;
Pertama, pemerintah sebaiknya menahan diri dengan melakukan kebijakan tambahan untuk relaksasi pajak ekspor (Bea Keluar), yang saat ini bebannya US $ 288/ton. Dan kebijakan DMO DPO sebaiknya di hold sementara, sampai cadangan nasional stok CPO diangka 1 - 3 juta ton. Kendati harga CPO di dalam negeri sudah sangat rendah Rp 7.000/kg dan stok melimpah.
Kedua, bekerjasama dengan INSA, P3N2I, dan IMO sebagai asosiasi pemilik kapal untuk kepastian ketersediaan kapal tanker yang mengangkut CPO ekspor.
Dengan memacu ekspor 6,5 juta ton hingga 31 Agustus 2020 negara akan mendapatkan devisa dan PPN minimal Rp 130 triliun. Tangki timbun jadi kosong, untuk mengisi CPO hasil petani sudah lama menanti PKS nya agar segera buka lagi. Kasihan petani sebagai investor. ©