Oleh : Helmi Hidayat, Dosen UIN Syarif Hidayatullah Ciputat Tangsel
Tahun 1976 penuh kenangan buat saya. Di tahun itu untuk kali pertama saya menangis di kolong langit Ponorogo, Jawa Timur. Itu terjadi ketika ayah saya meninggalkan saya di Pondok Pesantren Wali Sanga di Desa Ngabar, sekitar 5 km dari Desa Gontor. Pesantren ini bukan bagian dari Pondok Modern Darussalam Gontor. Tapi, karena jaraknya yang dekat dengan Gontor, Ngabar kerap dijadikan transit mereka yang terlambat mendaftar atau gagal masuk Gontor.
Saya tak berlama-lama menangis tinggal di pesantren yang terletak di pinggir sawah dan kaki gunung itu. Meski jalan menuju Ngabar belum beraspal seperti sekarang, listrik pun hanya menyala sejak pukul 18:00 hingga 22:00, lantai kamar terbuat dari semen, sejujurnya saya betah di pesantren pimpinan KH Ibrahim Thayyib ini. Di sini para santri mandi di sumur-sumur rumah penduduk kampung dan jajan di kantin-kantin milik mereka. Jauh dari keluarga dan kampung halaman, saya mendapat puluhan keluarga baru juga kampung baru.
Dua tahun sekolah di Ngabar saya lebih banyak menikmati alam pedesaan. Rasanya baru kemirin saya bahagia masih diizinkan mandi di sungai di seberang kebun jati, meski generasi sesudah saya dilarang mandi di sungai itu. Jika hujan terlalu lebat dan Ngabar banjir, saya dan rekan-rekan sebaya menikmati banjir, bercanda di air keruh seolah di kolam renang. Pramuka di Ngabar saat itu konon terhebat. Kami mencari pluit yang disembunyikan kakak kelas di kuburan di tengah malam dan berkemah di bibir pantai Pacitan yang ombaknya dari kejauhan setinggi pohon Mersawa. Indahnya …
Saat di Gontor, semua keindahan natural itu tidak saya temukan. Semua santri dilarang keras berhubungan langsung dengan penduduk kampung meski, dengan tujuan masing-masing, penduduk kampung itu bebas keluar masuk pondok. Saya masih mengalami mandi di sumur-sumur terpisah, tapi semuanya berada di lingkungan pondok. Ketika puluhan kamar mandi terus dibangun, tradisi mandi di sumur-sumur itu “dimatikan’’. Kantin dan kafetaria modern disediakan. Guru-guru pondok membuka dapur sendiri-sendiri atas seizin pimpinan pesantren untuk mengurangi beban dapur umum yang tak mungkin melayani total hampir 1000 santri saat itu.
Tapi, mengapa saya bertahan belajar di Gontor sampai tamat, meski semua fasilitas itu membuat saya merasa hidup di benteng yang kokoh dan tertutup?
Jawabannya adalah saya menikmati sosok KH Imam Zarkasyi, satu dari tiga pendiri Gontor yang masih hidup. Saya memang tidak sempat bertemu KH Ahmad Sahal, salah satu pendiri Gontor. Beliau wafat pada 9 April 1977, ketika saya masih belajar di tahun kedua di Ngabar. Begitu mendengar KH Ahmad Sahal wafat, semua guru di Ngabar menghentikan proses belajar-mengajar, lalu kami berbondong-bondong berangkat ke Gontor hingga Ngabar mirip kuburan …
Hal pertama yang membuat saya kagum pada sosok KH Imam Zarkasyi adalah beliau tidak mau dipanggil ‘’kyai’’. Semua santri dan guru memanggilnya ‘’Pak Zar’’. Sejak awal saya menangkap, panggilan ‘’kyai’’ hanya membuat beliau jadi berjarak dengan santrinya. Kepada mereka beliau ingin berkomunikasi batin: ‘’Jika kalian berpisah jauh dengan ayah kalian, jadikanlah saya ayah kalian. Jadikan istri saya ibu kalian.’’ – makanya dapur yang dikelola Pak Zar bernama ‘’Dapur Bu Zar’’, bukan ‘’Dapur Pak Zar.’’
Saya belum pernah melihat kharisma sebesar kharisma Pak Zar. Jika beliau ingin menyapaikan pesan penting kepada semua santri, hampir 1000 santri berkumpul di aula. Suara kami bising sekali mirip jutaan lebah. Tapi, begitu Pak Zar mulai masuk aula dengan langkah yang sangat kami kenal, tiba-tiba suara bising kami berhenti serempak seperti tersedot dalam sayap Homonoia, dewa Yunani yang bertugas menyatukan batin banyak orang. Saat itu, jarum jatuh pun terdengar. Alumni Gontor sezaman dengan saya yang membaca tulisan ini pasti membenarkan cerita magis ini.
Saya bersyukur pernah diajar oleh Pak Zar di kelas V C. Kata banyak ustaz saat itu, jika sebuah kelas diberi label ‘’C’’, itu mengindikasikan kelas tersebut dinamis (saya menolak sebutan nakal). Kelas kami memang dinamis. Pernah seorang guru salah menyebut ‘’ambassador’’ menjadi ‘’asambador’’ lalu setiap kami menyerangnya sambil terkekeh-kekeh. Kami tahu guru itu malu bukan main. Tapi, semakin mukanya memerah dan dia sudah berusaha mengalihkan perhatian dengan menjelaskan hal lain, semakin kami terpacu menyerangnya. Ketika guru itu bertanya ada pertanyaan, beberapa di antara kami angkat tangan lalu bertanya: ‘’Ustaz, kita beli asambador di mana?’’ – lalu kami tertawa ngakak.
Maka, jadilah kelas kami yang dinamis seperti ini dikucilkan dari semua kelas yang ada. Hanya kelas kami, satu-satunya kelas, diletakkan di samping rumah Pak Zar – tepatnya di sebuah ruang di ujung Gedung Shigor Baru yang kini bernama Gedung Aligarh. Pak Zar mengajari kami ilmul-mantiq atau ilmu logika. Jika beliau mengajar, kami yang merasa paling pintar di kelas pun tak mau bertanya, bahkan sangat takut jika disuruh membaca.
Pernah suatu ketika, saat mengajar, Pak Zar harus melakukan sesuatu di luar kelas. Beliau meletakkan pecinya di meja, lalu keluar kelas setelah memerintahkan kami mengerjakan tugas. Begitu lonceng berbunyi tanda kami bisa istirahat ke kantin, Pak Zar tak kunjung kembali ke kelas. Tapi, anehnya, tak satu pun di antara kami berani keluar kelas, kendati kami melihat ratusan santri lain bubar dari kelas dan berbondong-bondong menuju kantin atau kamar. Sampai lonceng tanda masuk kelas lagi berbunyi, Pak Zar juga tak kunjung tiba. Tapi kami terhibur, guru yang hendak mengajar kami berikutnya batal masuk kelas hanya gara-gara melihat peci Pak Zar masih tergeletak di meja lalu, seperti biasa, kami tertawa bersama …
Terlalu banyak yang hendak saya tulis tentang Pak Zar. Salah satu yang paling relevan dengan isu terkini adalah beliau mengizinkan kami para santrinya berkali-kali menyaksikan reog Ponorogo dipentaskan di dalam asrama. Saya tahu, berat singa barong dan bulu merak yang dikipas-kipaskan di kepala seorang warok bisa mencapai 50 sampai 100 kilogram. Itu belum termasuk ‘’jatil’’ yang duduk di punggung si warok. Jika singa barong itu dikenakan di leher ‘’orang biasa’’, lalu dia diminta mengibas-ngibaskan singa barong itu, saya yakin leher orang tersebut patah. Hanya orang dengan kesaktian tertentu yang mampu melakukan itu!
Tapi, apakah setelah itu para santri dicekoki ujaran kebencian bahwa para warok itu bisa jadi sakti mandraguna akibat menganut ilmu-ilmu tertentu? Itulah hebatnya Pak Zar dan sistem pendidikan yang beliau bangun di Gontor. Alih-alih disirami ujaran dan ajaran kebencian, usai salat magrib kami malah disuguhi pemandangan menakjubkan di depan rumah Pak Zar.
Ketika semua santri dan ustaz harus bertadarrus Al-Quran di kamar masing-masing, Pak Zar mengumpulkan sekitar 50 orang berseragam hitam-hitam bertopi lebar di depan rumah beliau. Mereka mirip pendekar dari Gunung Huangshang dalam film-film Shaolin. Sebagian besar berjongkok dan membuka topi, sebagian lagi tetap berdiri sambil bersedakap seolah ingin menunjukkan mereka tak hendak ditundukkan. Dari bisik-bisik yang saya dengar, mereka adalah para warok reog Ponorogo yang sengaja dikumpulkan di malam-malam tertentu untuk diajak berdialog. Tradisi mengagumkan ini saya dengar dilanjutkan oleh KH Abdullah Syukri Zarkasyi.
Sayang, saat itu saya belum mendalami antropologi, apalagi belajar fenomenologi dan participant observation. Karena itu, bisik-bisik yang saya dengar bahwa kumpulan orang-orang kampung berseragam itu benar para warok sampai kini belum terkonfirmasi secara ilmiah, meski geregetnya sangat terasa. Kendati demikian, satu ajaran bijak sangat terpatri di kepala saya bahwa Pak Zar tidak buru-buru memvonis para warok itu menganut ajaran kesaktian, tapi malah mempertontonkan reog Ponorogo itu pada kami tanpa khawatir para santrinya terjatuh dalam kekaguman berlebihan.
Itulah Pak Zar yang saya kagumi. Alih-alih melakukan tindakan revolusioner destruktif dengan menghabisi tradisi reog dan para warok, beliau malah mengajak mereka berdialog dari hati ke hati. Ingin sekali saya kembali ke masa silam, kembali ke Gontor dan menguping percakapan Pak Zar dengan penduduk kampung berseragam hitam-hitam mirip pendekar Shaolin itu. Jika terhadap reog Ponorogo berikut jatilannya saja kami diajak berakulturasi, saya tidak yakin Pak Zar akan menyuruh kami menendang sepiring kue yang diletakkan di pinggir jalan lalu rekaman videonya membuat gaduh Indonesia yang multikultural.
Saya menangis kali pertama di bawah langit Ponorogo pada 1976. Sabtu (8/1/2022) lalu, atau 46 tahun kemudian, saya kembali menangis di bawah langit yang sama. Di hari itu saya bersama kawan-kawan satu angkatan berdoa dan membaca tahlil di depan makam para pendiri Gontor. Dari kuburan kami menapak tilas ke asrama tempat kami dibesarkan, juga mengunjungi Masjid Jami’ Gontor yang fenonenal. Dalam dua rakaat yang syahdu, di lantai dua masjid itu saya kembali bercanda dengan Allah lalu menangis tersedu-sedu …