Seorang peneliti asal Eropa takjub dan penasaran dengan Islam Nusantara.
Karenanya ia memerlukan datang ke Indonesia untuk menemui seorang tokoh yang dianggapnya paling tahu soal ini.
"Apakah Islam Nusantara itu mazhab
atau aliran baru yang lahir diabad modern ini,
Kiai?" tanya Jon Kaeder, doktor muda asal Eropa barat itu.
Sang tuan rumah tersenyum mendengar pertanyaan tamunya yang langsung pada inti persoalan.
"Islami Nusantara itu bukan mazhab baru, juga bukan aliran atau sebuah sekte," jawab Kiai Said yang merupakan pengasuh pondok pesantren salaf di ujung barat pulau Jawa.
"Terus apa bedanya dengan Islam yang lain, Kiai?”
"Yang lain yang mana yang Anda maksud?” Kiai Said balik bertanya.
"Islam di Arab, Kiai.”
"Coba jelaskan, dari sisi mana Islam di Indonesia yang Anda anggap beda dengan yang disana?"
"Banyak, Kiai."
"Seperti apa misalnya?”
"Tradisi keagamaan disana tidak
seramai dan selengkap dengan di Indonesia
atau di negara-negara muslim Asia Tenggara."
"Nah, itu jawabannya."
"Maksud, Kiai?”
"Islam Nusantara adalah Islam yang ramah
dengan budaya, tradisi dan adat yang berlaku di masyarakat, yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam,” jelas Kiai Said kepada intelektual barat itu.
"Bisa disebutkan bentuk atau contohnya, Kiai?"
"Banyak sekali, seperti kalau ada orang
meninggal dunia maka diadakan tahlilan,
tujuh hari, empat puluh hari, nyatus, mendak, haul, dan nyewu.
Dalam pernikahan ada tradisi lamaran, siraman, midodareni, saserahan, upacara panggih, sungkeman, dahar kembul, surak, dan sebagainya. Tiap-tiap daerah punya adatnya masing-masing. Begitu pengantin hamil diadakan ngupati dan tujuh bulanan.
Setelah bayi lahir ada puputan,
mendem ari-ari, dan mudun lemah. Itu semua adalah tradisi turun-temurun dimasyarakat yang masih berlaku sampai saat ini.”
Jon Kaeder mendengarkan penjelasan kiai dengan takjub. Ia benar-benar baru tahu tradisi keagamaan yang dianggapnya "beda" dari Islam yang “aslinya”. Ia semakin penasaran.
"Apakah itu artinya Islam Nusantara sama dengan sinkretisme, yang memadukan ajaran Islam dengan agama orang Jawa atau dengan kepercayaan masyarakat lokal yang sudah ada?”
"Tentu saja tidak. Islam itu sumbernya jelas,
yaitu dari Al-Qur’an dan hadits, serta ijma dan qiyas. Para wali, ulama, juga kiai yang menyebarkan Islam adalah orang-orang terbaik yang sangat memahami dan memegang teguh ajaran agamanya. Jadi tidak mungkin mereka mencampuradukan apalagi merusak kemurnian agamanya sendiri.”
Kiai Said kemudian menjelaskan bahwa dalam Islam itu ada rukun Islam dan rukun Iman. Ada akidah, akhlak dan syariat. Syariatnya ada yang qath’iyyat dan ijtihadiyyat.
“Mohon penjelasannya, Kiai?”
“Qath’iyyat itu seperti kewajiban salat lima kali sehari semalam, kewajiban puasa ramadhan, keharaman berzina, atau tata cara ibadah haji. Itu tidak akan pernah berubah.
Salatnya orang di negeri Anda sama dengan salatnya orang di negeri kami.
Puasa dari dahulu hingga kiamat dan di negara manapun pasti dimulai sebelum fajar dan berakhir saat berkumandang azan maghrib.
Penjelasan Al-Quran dan As-Sunah dalam
hukum qath’iyyat itu rinci, detail, dan sempurna. Semetara hukum ijtihadiyyat bersifat dinamis."
Kiai Said kemudian mencontohkan,
dalam fiqih ada qaul qadim ada qaul jadid. Menurut Imam Syafi’i, orang yang bersentuhan kulit dengan yang bukan muhrim maka batal wudunya.
Tapi Imam Hanafi mengaggap tidak batal.
Maka, perbedaan mazhab ini bisa mempermudah orang Islam dalam melaksanakan ibadah haji.
Itulah fiqih, yang merupakan hasil ijtihad para ulama, sifatnya dinamis. Kedinamisan inilah yang mempermudah para wali dalam menyebarkan Islam di Nusantara.
Selain itu, menurut kiai yang pernah belajar di Arab ini, Islam Nusantara juga menjadi “maslahah” dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Di negara kami, Islam bersenyawa dengan kebangsaan. Puncaknya ketika Mbah KH. Hasyim As’yari mengeluarkan fatwa “hubbul wathon minal iman” untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Islam menyatu dengan nasionalisme. Bela negara adalah kewajiban!" tegas Kiai Said.
Jon Kaeder nampaknya mulai
bisa memahami apa itu Islam Nusantara.
Ternyata bukan soal kebudayaan semata,
tapi juga menyangkut bagaimana hubungan agama dan negara.
“Apakah Anda sudah pernah melihat dari dekat bagaimana umat Islam Indonesia melaksanakan ibadah?” tanya Kiai Said.
“Belum pernah, Kiai,” jawab doktor yang juga menguasai bahasa Arab dan bahasa Indonesia itu.
“Saya sarankan, sebaiknya Anda keliling ke berbagai daerah. Coba perhatikan baik-baik bagaimana ummat Islam melaksanakan salat. Hasilnya kita diskusikan minggu depan.Bagaimana?”
“Baiklah, Kiai.”
Satu minggu melakukan pengamatan dibeberapa daerah, akhirnya Jon Kaeder kembali menemui kiai di kediamannya.
“Apa ada yang beda dari salat jumatnya orang Islam disini dengan di Arab?”
“Ada, Kiai. Khutbahnya menggunakan bahasa Jawa. Dibeberapa masjid menggunakan bahasa Sunda dan bahasa lokal yang saya tidak tahu itu bahasa apa. Jadi saya tidak bisa memahaminya.”
“Selain itu apalagi?”
“Ada bedug besar di sudut masjid dan ditabuh berkali-kali dengan irama yang khas menjelang pelaksanaan salat jumat. Seperti sebuah pertunjukan musik.”
Kiai tersenyum.
“Apakah Anda juga mengunjungi musala?”
“Iya, Kiai. Di musala ada kentongan
yang ditabuh sebagai pertanda waktu salat, waktu berbuka puasa, pengingat sahur dan tanda imsak pada bulan Ramadhan.”
“Selain kentongan?”
“Tidak ada, Kiai. Kecuali penamaan
musala yang berbeda-beda tiap daerah. Seperti di Cirebon dan sekitarnya musala disebut tajug, sementara di Jawa Tengah orang menyebutnya langgar.
Saya juga melakukan penelitian melalui google ditemukan istilah surau di Sumatra dan Malaysia. Juga banyak orang Islam menyebut salat dengan sembahyang. Ada banyak sebutan dan istilah yang berbeda meski arti dan maksudnya sama.”
Kiai Said mendengarkan cerita Jon Kaeder yang disertai berlembar-lembar kertas seperti sebuah makalah, lengkap dengan data dan foto-foto pendukungnya.
“Ketahuilah. Khutbah jumat dengan bahasa Jawa, bedug di masjid, atau kentongan di musala, juga penamaan tempat ibadah yang berbeda-beda seperti yang tadi disebutkan, itu semua tidak ada di Arabnya. Tidak ada di zaman Rasulullah SAW.
Itu khas budaya Indonesia, budaya Nusantara. Dan itu semua adanya di masjid serta musala, tempat tersakral dalam Islam.
Tempat dilaksanakannya ibadah salat,
sebuah ritual keagamaan yang paling inti dalam Islam. Itulah Islam Nusantara,” terang Kiai Said.
“Apakah dengan adanya penabuhan bedug dan khutbah menggunakan bahasa Indonesia, bahasa Jawa, Sunda, Batak atau Bugis, salat jumat menjadi tidak sah?”
“Apakah dengan adanya kentongan di setiap musala, tajug, langgar atau surau, salatnya ummat Islam di tempat tersebut menjadi batal?”
“Jawabanya tetap sah!”
“Kecuali kalau kiblatnya dipindah ke Jakarta, bacaan salatnya diganti bahasa madura, azannya diganti musik pop melayu, khutbahnya diganti seminar, atau salat jumatnya jadi satu rekaat. Jelas itu bukan hanya tidak sah, tapi sudah keluar dari Islam,” terang Kiai Said panjang lebar.
“Sekarang saya baru paham, Kiai.
Ternyata Islam Nusantara bukan mazhab baru seperti pemahaman saya selama ini,”
ujar Jon Kaeder.
“Tepat sekali. Islam Nusantara itu bukan mazhab, bukan aliran, apalagi agama baru. Ia hanya tipologi, mumayyizaat, khashais, yang resmiya merupakan sebuah tema pada Muktamar NU di Jombang tahun 2015.” Kiai Said mempertegas.
“Karenanya, Islam Nusantara
boleh tidak dianggap bagi yang tidak suka, tapi tidak bisa dibubarkan. Kenapa? Karena ia bukan sebuah organisasi. Bukan sebuah lembaga. Sehingga tidak ada kantor atau pengurus struktural yang menggerakannya. Ia hanya “penamaan” yang lahir jauh sebelum negara ini ada, tepatnya di zaman wali sango.
Apakah tuan tahu tentang wali songo?”
"Tahu sedikit, Kiai. Karena bidang
saya perbandingan agama. Bukan sejarah."
Lantas Kiai Said menceritakan
bagaimana dulu wali songo berfikir keras agar Islam sebagai agama baru bisa diterima dengan mudah ditengah masyarakat yang telah ratusan tahun menganut agama dan kepercayaan lama serta sangat kuat memegang teguh tradisinya.
Maka budaya, adat dan tradisi didekati dan dipergunakan sebagai sarana dakwah.
Para wali yang sangat mendalami agama tahu mana yang boleh mana yang tidak.
Mana yang syariat atau bukan.
Mana yang bidah mana yang bukan bidah.
Mereka menggunakan budaya dan tradisi untuk memperkuat syariat.
Semua dilakukan dengan damai,
tanpa kekerasan dan dengan menghormati budaya serta tradisi yang ada.
“Jadi, Islam Nusantara adalah
Islam ahlusunnah waljamaah yang
diamalkan, didakwahkan dan dikembangkan sesuai karakteristik masyarakat dan budaya di Nusantara oleh para pendakwahnya,
Yang meneruskan dakwah ulama terdahulu,
ulama salafusshalih, empat imam mazhab,
wali songo dan ulama-ulama pesantren, seperti Mbah KH. Hasyim Asy’ari yang mendirikan NU,” ujar Kiai Said, Seraya menjelaskan bahwa yang dimaksud Nusantara itu mengacu pada wilayah di Indonesia, Malaysia, Brunei, Pattani (Thailand Selatan) dan Mindanau (Filipina Selatan).
“Dalam bahasa santri, Islam Nusantara
itu bukan “na'at man'ut (penyifatan) yang berarti Islam yang di Nusantarakan
Tetapi sebuah “idhafah” (penunjukan tempat) yang berarti Islam di Nusantara.” Kiai Said menyimpulkan.
Sekarang Jon Kaeder benar - benar
telah mengerti sepenuhnya. Ia siap meluruskan pandangan orang -orang yang salah memahami tentang apa itu Islam Nusantara, yang sebenarnya merupakan warisan agung dari sebuah mahakarya para wali dan ulama.