Wanita Pertama Yang Masuk Surga

                                 Foto ilustrasi

Dikutip dari artikel di Facebook

Suatu ketika, Siti Fatimah bertanya kepada Rosulullah SAW. Siapakah wanita yang kelak pertama kali masuk surga?

Rosulullah menjawab : "Dia adalah seorng wanita yang bernama Muti’ah”.

Siti Fatimah terkejut. Ternyata bukan dirinya, seperti yang dibayangkannya. Mengapa justru orang lain, padahal dia adalah putri Rosulullah sendiri?

Maka timbullah keinginan Fatimah untuk mengetahui siapakan gerangan wanita itu..? Dan apakah yang telah diperbuatnya hingga dia mendapat kehormatan yang begitu tinggi.

Setelah minta izin kepada suaminya, Ali Bin Abi Thalib, Siti Fatimah berangkat mencari rumah kediaman Muti’ah. Putranya yang masih kecil yang bernama Hasan diajak ikut serta.

Ketika tiba di rumah Muti’ah, Siti Fatimah mengetuk pintu seraya memberi salam,
"Assalamu’alaikum…!”
 "Wa’alaikumussalaam! Siapa di luar..?” terdengar jawaban yang lemah lembut dari dalam rumah.

Suaranya cerah dan merdu.
“Saya Fatimah, Putri Rosulullah,” sahut Fatimah kembali.

“Alhamdulillah, alangkah bahagia saya hari ini Fatimah,, putri Rosululah, sudi berkunjung ke gubug saya,”  terdengar kembali jawaban dari dalam. 

"Suara itu..?" terdengar ceria dan semakin mendekat ke pintu.
"Sendirian, Fatimah..?” tanya seorang wanita sebaya dengan Fatimah, Yaitu Muti’ah seraya membukakan pintu.

“Aku ditemani Hasan,” jawab Fatimah.

"Aduh maaf ya,”  kata Muti’ah, suaranya terdengar menyesal." Saya belum mendapat izin dari suami saya untuk menerima tamu lak-laki.”

“Tapi Hasan kan masih kecil?” jelas Fatimah.

“Meskipun kecil, Hasan adalah seorang laki-laki. Besok saja Anda datang lagi ya..? saya akan minta izin dulu kepada suami saya,” kata Mutiah dengan menyesal.

Sambil mnggelengkan kepala, Fatimah pamit dan kembali pulang. Besoknya, Fatimah datang lagi ke rumah Muti’ah, kali ini ditemani oleh Hasan dan Husain. Beritga mereka  mendatangi rumah Muti’ah.

Setelah memberi salam dan dijawab gembira, masih dari dalam rumah Muti’ah bertanya :

“Kau masih ditemani oleh Hasan, Fatimah.? Suami saya sudah memberi izin.”
“Ha..? Kenapa kemarin tidak bilang..? Yang dapat izin cuma Hasan, dan Husain belum. Terpaksa saya tidak bisa menerimanya juga, “ dengan perasaan menyesal, Muti’ah kali ini juga menolak.

Hari itu Fatimah gagal lagi untuk bertemu dengan  Muti’ah dan  keesokan harinya Fatimah kembali lagi, mereka disambut baik oleh wanita itu dirumahnya.

Keadaan rumah Mutiah sangat sederhana, tidak ada satupun perabot mewah yang menghiasi rumah itu. Namun, semuanya teratur rapi. Tempat tidur yang terbuat dengan kasar juga terlihat bersih, alasnya yang putih, dan baru dicuci. Bau dalam ruangan itu harum dan sangat segar, membuat orang betah tinggal di rumah. Fatimah sangat kagum melihat suasana yang sangat menyenangkan itu, sehingga Hasan dan Husain yang biasanya tidak begitu betah  berada di rumah orang, kali ini nampak asyik bermain-main.

"Maaf ya, saya tidak bisa menemani Fatimah duduk dengan tenang, sebab saya harus menyiapkan makan buat suami saya,” kata Mutiah sambil mondar-mandir dari dapur ke ruang tamu.

Mendekati tengah hari, masakan itu sudah siap semuanya, kemudian ditaruh di atas nampan. Mutiah mengambil cambuk, yang juga  ditaruh di atas nampan.

“Suamimu bekerja dimana.?” Tanya Fatimah

“Di ladang,”  jawab Muti’ah.

“Pengembala..?” Tanya Fatimah lagi.

"Bukan. Bercocok tanam.”

“Tapi, mengapa kau bawakan cambuk..?”

"Oh, itu..?” sahut Mutiah dengan tersenyum.
"Cambuk itu kusediakan untuk keperluan lain.

Maksudnya... ?" tanya Fatimah 

"Maksudnya begini, kalau suami saya sedang makan, lalu kutanyakan apakah masakan saya cocok atau tidak..? Kalau dia mengatakan cocok, maka tidak akan terjadi apa-apa. Tapi jika dia bilang tidak cocok, cambuk itu akan saya berikan kepadanya, agar punggung saya dicambuknya, sebab berarti saya tidak bisa melayani suami dan mnyenangkan hatinya.”

“Apakah itu kehendak suamimu..?” Tanya Fatimah keheranan.

"Oh, bukan..! Suami saya adalah seorang penuh kasih sayang. Ini semua adalah kehendakku sendiri agar aku jangan sampai menjadi istri yang durhaka kepada  suami.”

Mendengar penjelasan itu, Fatimah mnggelengkan kepala.

Kemudian ia meminta diri, pamit pulang.

“Pantas kalau Muti’ah kelak menjadi seorang wanita pertama yang masuk surga,” kata Fatimah dalam hati, di tengah perjalannya pulang, “Dia sangat berbakti kepada suami dengan  tulus.

Perilaku kesetiaan semacam itu bukanlah lambang perbudadakan wanita oleh kaum lelaki, Tapi merupakan cermin bagi citra ketulusan dan  pengorbanan kaum wanita yang harus dihargai dengan perilaku yang sama.” 

Tidak hanya itu, saat itu masih ada benda kipas dan kain kecil.

“Buat apa benda ini Muthi’ah..?” Siti Muthi’ah tersenyam malu.

Namun setelah didesak iapun bercerita. “Engkau tahu Fatimah, suamiku seorang pekerja keras memeras keringat dari hari ke hari.

Aku sangat sayang dan hormat kepadanya. Begitu kulihat ia pulang kerja, cepat-cepat kusambut kedatangannya.

Kubuka bajunya, kulap tubuhnya dengan kain kecil ini hingga kering keringatnya.

ia-pun berbaring ditempat tidur melepas lelah, lalu aku kipasi beliau hingga lelahnya hilang atau tertidur pulas”

Sungguh mulia Siti Muthi’ah, wanita yang taat kepada suaminya. maka tidaklah salah jika dia wanita pertama yang masuk surga..

Adakah wanita masa kini seperti Mutiah.?

Wallahua'lam...