Oleh : KH. Munawwir (Ketua Lbm-Nu Lampung)
Dengan suara terbata-bata, pagi itu Rasulullah Shalallahu 'alaihi Wa salam berkhutbah, ”Wahai umatku,kita semua dalam kekuasaan Allah dan dalam cinta kasih-Nya. Maka taat dan bertakwalah kepada-Nya. Kuwariskan dua hal kepada kalian, yaiut Al-Qur'an dan Sunnahku. Barangsiapa yang mencintai Sunnahku, berarti mencintaiku dan kelak orang-orang yang mencintaiku akan masuk Surga bersama-sama denganku.”
Khutbah singkat itu diakhiri dengan pandangan mata Rasulullah yang tenang menatap satu persatu para sahabatnya. Abu Bakar menatap mata itu dengan berkaca-kaca. Umar Bin Khathab menahan nafas dalam tangisnya. Utsman Bin 'Affan menghela nafas panjang. Ali Bin Abi Thalib hanya bisa menundukkan kepala. ”Isyarat telah datang dan saatnya telah tiba. Rasulullah akan meninggalkan kita semua.” Keluh dalam hati para Sahabat Rasul. Manusia paling Mulia sejagat itu telah hampir selesai menunaikan tugasnya. Dan tanda-tanda itu tampak semakin kuat. Sayyidina Ali dengan cekatan memeluk Rasulullah yang begitu lemah dan begitu goyah ketika turun dari mimbar.
Khutbah singkat itu diakhiri dengan pandangan mata Rasulullah yang tenang menatap satu persatu para sahabatnya. Abu Bakar menatap mata itu dengan berkaca-kaca. Umar Bin Khathab menahan nafas dalam tangisnya. Utsman Bin 'Affan menghela nafas panjang. Ali Bin Abi Thalib hanya bisa menundukkan kepala. ”Isyarat telah datang dan saatnya telah tiba. Rasulullah akan meninggalkan kita semua.” Keluh dalam hati para Sahabat Rasul. Manusia paling Mulia sejagat itu telah hampir selesai menunaikan tugasnya. Dan tanda-tanda itu tampak semakin kuat. Sayyidina Ali dengan cekatan memeluk Rasulullah yang begitu lemah dan begitu goyah ketika turun dari mimbar.
Matahari kian tinggi. Tapi pintu rumah Rasulullah Shalallahu 'alaihi Wa salam masih tertutup. Didalam rumahnya, Rasulullah Shalallahu 'alaihi Wa salam tengah terbaring lemah dengan kening berkeringat membasahi pelepah kurma sebagai alas tidurnya. Tiba-tiba dari luar pintu terdengar salam.
”Assalamu'alaikum. Bolehkah saya masuk?” tanyanya.
Siti Fatimah tidak serta merta mengijinkan ia masuk. ”Wa'alaikumsalam. Maaf Ayahandaku lagi demam.”
Ia kembali menemani Ayahandanya yang ternyata sudah membuka mata sembari bertanya : ”Siapakah dia wahai anakku?”
”Tak tahu Ayahandaku. Sepertinya baru kali ini aku melihatnya.” tutur Fatimah dengan lembutnya.
Lalu Rasulullah Shalallahu 'alaihi Wa salam menatap puterinya dengan pandangan yang menggetarkan. Seolah-olah bagian demi bagian wajah puterinya ingin dikenangnya. ”Ketahuilah Fatimah. Dialah yang akan menghapuskan kenikmatan sementara. Dialah yang akan memisahkan pertemuan di dunia. Dialah Malaikatul Maut.” kata Rasulullah.
Seketika Fatimah berusaha menahan ledakan tangisnya. Ketika Malaikat maut datang mendekat, Rasulullah menanyakan kenapa Malaikat Jibril tidak menyertainya. Kemudian dipanggillah Malaikat Jibril yang sudah bersiap di atas langit dunia untuk menyambut kedatangan Ruh kekasih Allah yang begitu Mulia ini.
”Jibril, katakan apa hakku nanti di hadapan Allah.” tanya Rasulullah dengan suara yang teramat lemah dan lirih.
”Pintu-pintu langit telah terbuka. Para Malaikat telah menanti Ruhmu. Semua Surga terbuka lebar menanti kedatanganmu.” jawab Malaikat Jibril.
Dan ternyata itu tidak membuat hati Rasulullah lega. Matanya masih begitu tampak penuh kecemasan.
”Engkau tidak senang mendengar kabar ini ya Rasul?” tanya Malaikat Jibril.
”Katakan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?” lanjut Rasulullah.
”Jangan khawatir ya Rasulullah. Aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku, ”Kuharamkan Surga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada di dalamnya.” jawab Malaikat Jibril.
Detik demi detik semakin berlalu. Saatnya Malaikat Izrail (Maut) melaksanakan tugasnya. Perlahan Ruh Rasulullah Shalallahu 'alaihi Wa salam ditariknya. Tampak sekujur tubuh Rasulullah bersimbah keringat. Urat-urat lehernya menegang.
”Jibril, betapa sakitnya Sakratul Maut ini.” Rasulullah mengaduh lirih.
Fatimah tak kuasa menatap Ayahandanya. Dibiarkan matanya terpejam. Sayyidina Ali yang berada di sampingnya menunduk semakin dalam. Malaikat Jibrilpun memalingkan muka.
”Jijikkah engkau melihatku hingga engkau palingkan wajahmu Ya Jibril?” tanya Rasulullah pada Malaikat Jibril sang Penyampai Wahyu itu.
”Siapa yang sanggup melihat kekasih Allah direnggut ajal ya Rasul?” kata Malaikat Jibril.
Kemudian terdengar Rasulullah memekik karena merasakan sakit yang tak tertahankan. ”Ya Allah, dahsyat sekali sakitnya maut ini. Timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku. Jangan pada umatku.”
Badan Rasulullah mulai dingin. Kaki dan dadanya sudah tak bergerak lagi. Bibirnya mulai bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu. Ali segera mendekatkan telinganya kepada Rasulullah Shalallahu 'alaihi Wa salam. ”Uushikum bishshalaati wamaa malakat aymanukum.” Aku berpesan kepada kalian jagalah sholat dan peliharalah orang-orang lemah diantara kamu.”
Di luar pintu, tangispun mulai terdengar bersahutan. Sahabat Rasulullah saling berpelukan. Fatimah menutupkan tangan di wajahnya. Dan Sayyidina Ali kembali mendekatkan telinga di bibir Rasulullah yang mulai tampak kebiru-biruan.
”Ummatii...Ummatii....Ummatii.”
Bagaimana nasib umatku.. umatku.. umatku.
Inna Lillahi Wainna Ilaihi Raji'un.
Berakhirlah sudah riwayat hidup seorang manusia yang kemuliaannya tak ada yang menandingi. Seorang manusia pilihan yang telah memberi sinar cahaya terang dan membawa kita terbebas dari kegelapan. Sosok yang begitu cinta kepada umatnya. Di saat ajalpun Rasulullah tidak memikirkan anaknya, isterinya atau yang lainnya. Dalam hatinya Rasulullah begitu gelisah memikirkan nasib umatnya.