Oleh : Ust. Munawir (Ketua LBMNU Propinsi Lampung)
Niat
Didalam niat ada tiga hal yang harus di perhatikan, yaitu:
1. Al-tabyiit, yaitu berniat di malam hari mulai terbenamnya matahari sampai terbitnya fajar, kecuali puasa sunat.
عَنْ عَائِشَةَ عَنِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيَامَ قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ (الدارقطنى, اسم الكتاب : جامع الأحاديث المؤلف : جلال الدين السيوطي )
Dari ‘Aisah ra, dari Nab SAW bersabda: Barang siapa niat puasa tidak pada malam hari sebelum terbitnya fajar, maka puasanya tidak dianggap.(HR. Daruqutni)
Menurut Imam Abu hanifah, niat puasa ada dua, yaitu niat puasa yang di saratkan tabyiit dan ta’yin, dan niat puasa yang tidak di saratkan tabyiit dan ta’yin. Niat puasa yang di saratkan tabyiit dan ta’yin seperti qoda’ puasa ramadhan, qoda’ puasa sunat yang batal, puasa kafarat dan puasa nadzar. Sedangkan niat puasa yang tidak disaratkan tabyiit dan ta’yin adalah puasa yang berhubungan dengan waktu tertentu, seperti puasa ramadhan, puasa nadzar yang tertentu waktunya dan puasa sunah, maka di perbolehkan niat dari malam hari sampai tengah hari.
Menurut Imam malik bin Annas, niat puasa (baik fardu maupun sunah) harus di lakukan pada malam hari (wajib tabyiit), yaitu mulai terbenamnya matahari sampai terbitnya fajar.
Menurut Imam Ahmad bin hambal, niat puasa hukumnya sama dengan pendapatnya Imam Syafi’I, yaitu harus dilakukan pada malam hari, mulai terbenamnya matahari sampai terbitnya fajar, sedangkan puasa suanah boleh di lakukan setelah terbitnya fajar.
(Mughni Muhtaj, juz 1, halaman 423, kasaful Qoana’, juz 2, halaman 366, Al bada’I, juz 2, halaman 85, Syarhus Shohir, juz 1, halaman 695)
2. Al-ta’yiin, yaitu menjelaskan jenisnya puasa dalam niat, baik puasa wajib atau sunnah (semisal melafadkan ramadhan, nadzar, kifarat), tetapi tidak di saratkan menyebutkan kata ada’ atau qada’ dan lillahi ta’ala, karena puasa merupakan jenis ibadah yang tergantung dengan waktu seperti sholat.
Menurut Qoul Mu’tamad dari Madzhab Syafi’iyah tidak di saratkan dalam niat menyebutkan fardu, karena puasa yang di lakukan oleh orang balig adalah fardu.
Menurut Imam Abu Hanifah tidak di saratkan adanya ta’yin dalam niyat.
Dan didalam melafadlkan niat puasa tidak harus dengan lisan, tetapi yang diwajibkan adalah dengan hati. Sedangkan lafadnya niat yang sempurna adalah sebagai berikut :
نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ اَدَاءِ فَرْضِ شَهْرْ رَمَضَانِ هَذِهِ سَنَةِ لِلهِ تَعَالَى
“Saya berniat puasa pada hari besok kerena mengerjakan ibadah fardu bulan ramadhan pada tahun ini karena Allah SWT”.
(Mughni muhtaj, juz 1, halaman 425, Al Fiqhul Islam wa Adilatuhu, juz 3, halaman 55)
3. Al-tikror, yaitu niat harus berulang setiap malamnya, karena puasa pada setiap harinya terbatasi dengan waktu dan tidak berhubungan dengan hari setelahnya, dengan bukti jika ada puasa yang batal dalam satu hari maka tidak berpengaruh pada puasa yang lain.
Menurut Imam Malik bin Annas, niat tidak di saratkan setiap malam, tetapi cukup niat sekali pada malam pertama di bulan Ramadhan. Alasan dari pendapatnya Imam Malik bin annas adalah firmanya Allah QS Al Baqarah ayat 185:
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ (البقرة:185/2)
Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.
Kata الشَّهْرَ merupakan isim zaman tunggal, maka puasa dari awal bulan samapai akhir bulan merupakan ibadah yang tunggal seperti sholat dan hajji.
Dalam hal kaitanya dengan niat, maka pahala puasa seseorang di raih (didapat) setelah niat.
(Bidayatul Mujtahid, juz 1 halaman 282, Sarhul Kabir, Juz 1, halaman 520)
Rukun puasa
Rukun Puasa ada tiga yaitu,
· orang yang berpuasa,
· niat
· menahan diri dari sesuatu yang membatalkan puasa.
Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hambal rukun puasa ada satu yaitu menahan diri dari sesuatu yang membatalkan puasa, sedangkan niat dan orang yang berpuasa merupkan syarat. Sedang menurut Imam Malik bin Annas rukun puasa ada dua, yaitu niat dan menahan diri dari sesuatu yang membatalkan puasa. (Madzahibul Arba’ah, Juz 1, halaman 185)
Syarat-Syarat Puasa
Sarat puasa terbagi menjadi dua, yaitu syarat wajib dan syarat syah.
1. Syarat Wajib
Sarat wajib ada empat, yaitu baligh, Islam, berakal dan mampu.
a. Baligh
Bagi anak kecil tidak di wajibkan berpuasa, tetapi orang tua wajib memerintahkan anaknya yang sudah berumur tujuh tahun jika anak tersebut mampu berpuasa, dan jika anak sudah berumur sepuluh tahun maka orang tua di perbolehkan memukulnya apabila anak tersebut meninggalkan puasa.
b. Islam
Puasa tidak wajib bagi non muslim, tetapi tetap wajib bagi orang murtad.
c. Berakal
Orang yang tidak berakal (gila) tidak wajib puasa dan juga tidak wajib mengqoda’ puasa, sedangkan orang yang mabuk karena di sengaja puasanya tidak sah dan wajib mengqodo’ puasa.
d. Mampu
Orang yang dalam perjalanan atau orang yang sakit tidak wajib puasa, tapi wajib mengqodo’ puasa. Orang tua yang sudah tidak mampu menjalankan puasa atau orang yang sakit yang tidak bisa di harapkan kesembuhanya (menurut dokter) tidak di wajibkan puasa, tetapi wajib membayar fidyah setiap hari satu mud. Perempuan hamil atau menyusui yang tidak mampu puasa boleh untuk tidak puasa dan wajib membayar fidyah.
(Fiqh ‘Ala Madzahibulm Arba’ah, juz 1 halaman 867)
2. Syarat Sah
Sarat sah puasa ada empat, yaitu Islam, Tamyiz, suci (dari haid, nifas dan wiladah / melahirkan), dan sarat sah yang terahir adalaha pada hari yang di perbolehkan puasa.
a. Islam
Orang kafir dan murtad puasanya tidak sah.
b. Tamyiz
Anak kecil (belum tamyiz), orang gila, orang mabuk (hilang ingatanya), ayan (epilepsi) puasanya tidak sah.
c. Suci
Perempuan yang sedang haid, nifas, wiladah (melahirkan) apabila berpuasa maka puasanya tidak sah, dan jika seorang perempuan pada siang hari mulai keluar darah haid, maka puasa yang ia lakukan batal.
d. Hari diperbolehkan puasa
Hari yang tidak di perbolehkan puasa adalah hari raya ‘Idul Fitri dan Adha, hari tasyrik, hari yang di ragukan (yaumus sak), seperti tanggal 30 Sya’ban dan tanggal 30 Ramadhan yang di ragukan sudah tanggal satu, dan setelah tanggal 15 sya’ban jika tidak mempuanyai kebiasaan puasa pada hari sebelumnya.
(Fathal Wahab, Juz 1, halaman 206)
Menurut Imam Abu Hanifah sarat puasa terbagi tiga, yaitu sarat wajib, sarat wajib dan ada’, sarat sah. Sarat wajib ada tiga, yaitu Islam, berakal, balig. Sarat wajib dan ada’ ada dua, yaitu yang pertama sehat dan mukim (tidak dalam perjalanan), yang kedua suci dan niyat.
Menurut Imam Malik bin Annas sarat puasa terbagi tiga, yaitu sarat wajib, sarat sah dan sarat wajib dan sah. Sarat wajib ada dua, yaitu balig dan mampu berpuasa. Sarat sah ada tiga, yaitu Islam, pada hari yang di perbolehkan untuk puasa dan niat. Sarat wajib dan sah ada tiga, yaitu berakal, suci, masuk bulan Ramadhan.
Menurut Imam Ahmad bin Hambal sarat puasa terbag tiga, yaitu sarat wajib, sarat sah dan sarat wajib dan sah. Sarat wajib ada tiga, yaitu Islam, baligh dan mampu berpuasa. Sarat sah ada tiga, yaitu niat, suci dari haid dan suci dari nifas. Sarat wajib dan sah ada tiga, yaitu Islam, berakal dan tamyiz. (Al fiqhul Islam wa Adilatuhu, Juz 3, halaman 44)