اَلحمد للهِ، اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِىْ جَعَلَ الْاِسْلَامَ طَرِيْقًا سَوِيًّا، وَوَعَدَ لِلْمُتَمَسِّكِيْنَ بِهِ وَيَنْهَوْنَ الْفَسَادَ مَكَانًا عَلِيًّا. اَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لَاشَرِيْكَ لَهُ، شَهَادَةَ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مَّقَامًا وَأَحْسَنُ نَدِيًّا. وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الْمُتَّصِفُ بِالْمَكَارِمِ كِبَارًا وَصَبِيًّا.
اَللَّهُمَّ فَصَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ وَكَانَ رَسُوْلاً نَبِيًّا، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ الَّذِيْنَ يُحْسِنُوْنَ إِسْلاَمَهُمْ وَلَمْ يَفْعَلُوْا شَيْئًا فَرِيًّا، أَمَّا بَعْدُ فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ رَحِمَكُمُ اللهُ، اُوْصِيْنِيْ نَفْسِىْ وَإِيَّاكُمْ بِتَقْوَى اللهِ، فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ.
قَالَ اللهُ تَعَالَى : بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ، يَا اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَاَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ.
Khotbah kali ini merupakan keterangan panjang dari satu hadits yang sangat pendek sekali, tentang anjuran meninggalkan segala centang preneng yang tidak penting. Menghindarkan diri dari segala macam hal yang bersifat skunder dan mementingkan yang primer. Inilah yang oleh Ibn Rajab dinilai sebagai akar dari hadits pendidikan. Yaitu hadits yang berupa ajaran dasar yang harus difahami dan diamalkan oleh seorang muslim. Hadits pendek itu berbunyi:
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ( من حسن إسلام المرء تركه ما لا يعنيه ) حديث حسن رواه الترمذي وغيره
Salah satu tanda kesempunaan islamnya seseb orang adalah meninggalkan segala yang dinilai tidak perlu.
Hadits yang tergolong pendek ini memuat beberapa hikmah yang sangat luas. Dalam kitab al-Wafi fi Syarahil Arbain an-Nawawi, Musthafa al-Bugha menjelaskan bahwa sebagian ulama mengatakan inilah hadits yang muatan isinya setengah dari ajaran agama. Karena agama sejatinya berisikan tentang laku yang berasal dari perintah dan tinggal yang berasal dari larangan. Sedangkan hadits ini merupakan sumber dari pemahaman segala larangan. Larangan berbuat sesuatu yang tidak penting, baik tidak penting dari tinjauan dunyawi maupun ukhrawi.
Ma’asyiral Muslimin Rahimkumullah
Marilah kita refleksikan hadits ini dalam kehidupan masing-masing diri kita. Benarkah selama ini kita telah mengamalkannya, dengan meninggalkan segala yang terasa tidak perlu? Ataukah malah sebaliknya mementingkan segala yang tidak penting? Berapakah HP yang kita miliki, apakah kecanggihan dan harga mahal itu seseuai dengan kebutuhan kita? Benarkan kita membeli HP karena terjadi kerusakan ataukah karena gengsi dan mengikuti arus trend pasar? Berapakah motor yang kita punya? Benarkah anak kita yang berada di SMP benar-benar memerlukan motor? Ataukah itu sekedar menuruti gengsi saja? Berpakah baju koko yang kita punya dan seberapa rajin kita shalat? dan seterusnya. deretan ini masih bisa diperpanjang hingga tak terhingga. Dan semoga kita segera bersadar bahwa apa yang kita lakukan jauh dari aplikasi hadits ini. Meninggalkan apa yang tidak perlu.
Jama’ah jum’ah yang Berbahagia
Hadits ini dapat dijadikan inspirasi dari tiga hal besar, pertama; membangun masyarakat sosial yang idealis (إقامة المجتمع الفاضل iqamatul mujtama’ al-fadhil). Islam sangat menjaga akan kesehatan sosial kemasyarakatan. Diantara ciri-ciri masyarakat yang sehat adalah masyarakat yang hidup dengan tatanan yang rapi. Masyarkat yang saling menghargai kepentingan dan kebutuhan yang lain. Sehingga kepentingan seseorang tidak akan mengganggu kebutuhan orang lain. Demikian pula dengan kebebasannya, tidak akan melanggar kebebasan orang lain. Hal ini bisa tercapai jika seorang individu berkonsesntrasi dan bertindak dalam batas kepentingannya masing-masing, jika individu tidak ada keinginan untuk mengurus urusan orang lain yang sebenarnya tidak perlu baginya. Karena jika diamati virus sosial itu bermula dari ketumpang tindihan (at-tadakhul) yang membuat kehidupan makin semrawut secara sosial dan sangat merugikan secara mental. Bukankah perasaan ingin tahu dengan keadaan orang lain awal dari hasud, iri dan dengki. Penyakit hati yang akut dan berbahaya.
Kedua, membangun pola hidup sederhana ( إقامة المجتمع المقتصد - Iqamatul mujtama’ al-muqtashid) baik sederhana dalam pola berpikir, dalam tindakan dan tingkah laku. Sesungguhnya kehidupan yang sederhana diawali dari tindakan yang sederhana. Tindakan yang sederhana diawali dari ucapan yang sederhana, dan ucapan yang sederhana bersumber dari pola pikir yang sederhana. Dan pola pikir sederhana adalah memikirkan sesuatu yang bermanfaat, dan menjauhkan diri dari sesuatu yang dinilai tidak perlu.
Memang, sepintas lalu keterangan ini bersifat sangat individualis. Tetapi apabila difahami secara mendalam tidak demikian. Karena kesibukan seorang muslim pada dirinya sendiri -dalam hadits ini- tidak lain adalah kesibukan menata diri agar siap menghadapi masyarakatnya. Karena masyarakat yang sehat diawali oleh individu-individu yang sehat pula. Dengan kata lain, untuk membangun masyarakat yang islami, tentunya harus bermodal dari individu yang islami pula. Individu-individu yang saleh akan memiliki standar penilaian terhadap realita yang sama. Sesuatu yang bernilai negatif pasti disepakati kenegatifannya, begitu juga yang baik pasti mutlak disepakati kebaikannya. Inilah yang dimaksud oleh Rasulullah saw dalam salah satu haditsnya:
عن معاذ :أنه سأل النبي صلى الله عليه وسلم عن أفضل الإيمان ، فقال أن تحب للناس ما تحب لنفسك ، وتكره لهم ما تكره لنفسك
Sesungguhnya Rasulullah saw pernah ditanya tentang iman yang utama, maka beliau menjawab “apabila Engkau menyukai orang lain sebagaimana engkau menyukai diri sendiri, dan membenci mereka sebagaimana engkau membeci dirmu sendiri”
Secara tidak langsung hadits ini ingin mengatakan bahwa iman yang utama akan menyamakan standar nilai kebaikan bagi diri pribadi dan orang lain. Apa yang buruk bagi kita pastilah buruk bagi masyarakat dan begitupun sebaliknya.
Ketiga, membangun masyarakat yang beiman (religius) bukan individualis (إقامة المجتمع الإيماني لا الأناني iqamatul mujtama’ al-iymany lal ananiy). Secara teoritis mempertentangkan individualis dengan religius adalah kurang tepat. Akan tetapi karakter religius pasti bertentangan dengan karakter individualis. Mengutamakan kepentingan bersama dan mengalahkan kepentingan pribadi adalah syarat mutlak sempurnanya iman seseorang. Sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadits yang berbunyi:
ترى المؤمنين في توادهم وتعاطفهم وتراحمهم مثل الجسد إذا اشتكى منه عضو تداعى له سائر الجسد بالحمى والسهر".
“engkau melimat orang-orang yang beriman saling mencintai dan menyayangi seperti hanya satu badan yang apabila salah satu anggot badannya mengalami luka akan sekujur badan terasa meriang dan panas”
Begitu juga sebaliknya, seorang hamba yang di hatinya tidak ada rasa iman, pastilah tiada pula rasa sayang kepada sesama, porsi kebencian lebih dominan dari pada rasa sayang. Yang ada di dalam pikirannya adalah upaya mensejahterakan diri dan keluarganya. Usahanya adalah menumpuk kekayaan demi kesejahteraan anak, cucu hingga tujuh turunan. Masa bodoh dengan tetangga, masa bodoh dengan anak-anak kaum buruh yang bekerja di pabriknya. Dia merasa sudah cukup dengan memberi gaji bulanan. Padahal keringat para buruh itulah yang melipat gandakan keuntungannya. Na’udzu billahi min dzalik. Bukankah masyarakat seperti ini yang sedang merebak di sekeliling kita dengan berbagai farian dan ukuran yang berbeda?
Sesungguhnya seseorang yang mementingkan diri sendiri (Individulis) pastilah terjebak dalam pola pikir materialistik apapun diukur dengan harta dan benda. Sehingga dalam upaya melanggengkan harta bendanya itu mereka akan bertindak sebagai seorang kapitalis yang berdasar pada kaidah ‘mengambil untung sebanyak-banyaknya dengan modal sesedikit mungkin’.
Para Jama’ah Jumah yang berbahagia
Seseungguhnya hal-hal seperti ini bisa kita hindarkan dengan berpegang pada satu hadits yang sungguh mudah di hafal من حسن إسلام المرء تركه ما لا يعنيه Salah satu tanda kesempunaan islam seseorang adalah meninggalkan segala yang dinilai tidak perlu.
Demikianlah khutbah jum’ah kali ini semoga membawa banyak manfaat bagi diri khatib dan kita semua. Amin
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ فِى اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ، اِنَّهُ هُوَ الْبَرُّ الرَّؤُوْفُ الرَّحِيْمُ.
Sumber NU Online
Khutbah II
اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ اِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَاَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَاَشْهَدُ اَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى اِلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا
اَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا اَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا اَنَّ اللهّ اَمَرَكُمْ بِاَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى اِنَّ اللهَ وَمَلآ ئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ اَبِى بَكْرٍوَعُمَروَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ اَعِزَّ اْلاِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ اَعْدَاءَالدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ اِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَاوَاِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! اِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلاِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِى اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوااللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ اَكْبَرْ