Mengenal Asal Muasal Carok: Jejak Sejarah dan Maknanya |
Dalam kisah-kisah sejarah yang melintasi zaman, terdapat banyak tradisi yang muncul dari latar belakang yang kompleks dan terkadang tak terduga. Salah satu di antaranya adalah tradisi carok, pertarungan tradisional yang melibatkan penggunaan senjata tajam, khususnya clurit. Namun, siapa sebenarnya dalang di balik munculnya tradisi ini, dan mengapa clurit menjadi senjata pilihan?
Asal muasal carok ternyata memiliki akarnya dalam zaman kolonialisme Belanda. Tradisi ini pertama kali muncul di wilayah Pasuruan, Jawa Timur. Salah satu tokoh utama dalam sejarah carok adalah Sagiman, yang lebih dikenal dengan sebutan Sakera. Ia terkenal karena keahliannya dalam pertarungan, sehingga dijuluki Sang Kerah oleh masyarakat sekitar, serta dihormati oleh para buruh tebu.
Sakera memperjuangkan hak-hak para buruh, yang sebagian besar berasal dari etnis Madura, yang telah dipindahkan ke Pulau Jawa sebagai akibat dari kebijakan Cakraningrat Madura. Namun, di tempat baru tersebut, orang-orang Madura mengalami penindasan tanpa perlindungan dari penguasa mereka. Sakera, sebagai pemimpin yang adil dan pembela buruh Madura, dianggap sebagai pahlawan bagi komunitasnya.
Budaya carok di Madura tidak muncul begitu saja. Belanda menggunakan taktik adu domba untuk memecah belah komunitas Madura, dengan harapan bahwa carok akan membuat mereka lebih mudah dikuasai. Namun, sebelum kedatangan Belanda, tradisi carok tidak dikenal di Madura.
Pertarungan mematikan menggunakan clurit, senjata khas carok, baru muncul pada abad ke-18 setelah perlawanan yang dilakukan oleh Sakera, seorang pahlawan Madura dari kalangan santri dan petani di Pasuruan. Meskipun pemerintah kolonial Belanda menganggap Sakera sebagai pemberontak, sebenarnya ia adalah seorang mandor tani tebu yang berjuang melawan penindasan yang dilakukan oleh kolonial dan perusahaan-perusahaan yang bekerja sama dengan mereka.
Clurit pada awalnya adalah alat pertanian yang kemudian dijadikan senjata simbolik dalam perlawanan terhadap Belanda. Namun, ironisnya, Sakera sendiri akhirnya tewas di tangan rekan-rekannya yang berkhianat, yang terpengaruh oleh janji kekayaan dari pihak pro-Belanda.
Meskipun Sakera dieksekusi, perlawanannya memberi inspirasi bagi warga Madura untuk melawan penjajah, meskipun hanya dengan clurit sebagai senjata mereka. Seiring berjalannya waktu, clurit menjadi simbol penyelesaian konflik di Madura, terutama yang berkaitan dengan harga diri, harta, tahta, atau urusan wanita.
Meski prosesi carok jarang terjadi pada masa kini karena peningkatan pendidikan dan kesadaran agama yang mengelola emosi masyarakat, namun tradisi ini masih merupakan bagian dari sejarah dan identitas budaya Madura. Orang Madura secara umum ramah dan terbuka terhadap tamu yang sopan dan menghormati, namun, penting untuk menghormati adat dan kebiasaan setempat untuk menjaga kedamaian dan keselamatan di mana pun berada.
Sekilas tentang tempat, makam Sakera terletak di Makam Bakacak, Kolursari, Kecamatan Bangil, Kabupaten Pasuruan. Di sekitar makam tersebut, terdapat patung yang menjadi ikon, menggambarkan seorang pria gagah dengan clurit, mengingatkan kita akan perjuangan dan warisan budaya yang telah ditinggalkannya.