Pada abad ke- 7 tahun 671 Masehi zaman pra-sejarah Lampung di Sumatra. Sriwijaya menguasai sebagian besar Asia Tenggara hingga abad ke-11 Masehi.
Di adad ke-13 tahun 1289 Masehi penyebaran Islam awal bermula dari Batu Brak di tengkuk gunung pesagi daerah hanibung yang ditandai dengan adanya peninggalan pra-sejarah hingga zaman sejarah yakni Dolmen dan Megalitikum tertua di tanah Lampung.
Lokasi ini secara administrative berada di wilayah Kabupaten Lampung Barat yang beribu kota di Liwa, penyebaran ini menjadi tanda tonggak berdirinya Kerajaan di wilayah tersebut.
Pada abad ke-16 Masehi Penyebaran Islam juga masuk dari Banten ke Tolang Pohwang, secara administrative berada di daerah Kabupaten Tulang Bawang Provinsi Lampung.
Provinsi Lampung lahir pada tanggal 18 Maret 1964 dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 3/1964 yang kemudian menjadi Undang-undang Nomor 14 tahun 1964. Sebelum itu Provinsi Lampung merupakan keresidenan yang tergabung dengan Provinsi Sumatera Selatan.
Kendatipun Provinsi Lampung sebelum tanggal 18 Maret 1964 tersebut secara administratif masih merupakan bagian dari Provinsi Sumatra Selatan, namun daerah ini jauh sebelum Indonesia merdeka memang telah menunjukkan potensi yang sangat besar serta corak warna kebudayaan tersendiri yang dapat menambah khazanah adat budaya di Nusantara.
Oleh karenanya, pada zaman VOC di dapat dari berbagai sumber bawasanya Vereenigde Oostindische Compagnie (Persatuan Perusahaan Hindia Timur) yang berada di bawah pemerintahan Belanda pada tahun 1800 selama abad ke-19 hingga abad ke-20,
Hindia Belanda adalah salah satu koloni Eropa yang paling berharga di bawah kekuasaan Imperium Belanda. Tatanan sosial kolonial didasarkan pada struktur rasial dan sosial yang kaku dengan para elit Belanda yang tinggi terpisah akan tetapi tetap berhubungan dengan penduduk pribumi yang dijajah oleh mereka.
Sedangkan istilah Indonesia digunakan untuk lokasi geografis setelah tahun 1880 Masehi, nama Hindia Belanda tercatat dalam dokumen VOC pada awal tahun 1620 Masehi. Daerah Lampung sendiri tidak terlepas dari incaran penjajahan Belanda.
Lampung Tolang Pohwang kemungkinan besar pernah menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Sunda, setidaknya sampai abad ke-16. Sebelum akhirnya Kesultanan Banten menghancurkan Pajajaran ibu kota Kerajaan Sunda. Sultan Banten yakni Sultan Ageng Tirtayasa, lalu tidak mengambil alih kekuasaan atas Lampung. Hal ini dijelaskan dalam buku The Sultanate of Banten karya Claude Guillot pada halaman 19 sebagai berikut:
"From the beginning it was abviously Hasanuddin's intention to revive the fortunes of the ancient kingdom of Pajajaran for his own benefit. One of his earliest decisions was to travel to southern Sumatra, which in all likelihood already belonged to Pajajaran, and from which came bulk of the pepper sold in the Sundanese region".
Di bawah pimpinan Sultan Ageng Tirtayasa (1651–1683) Banten berhasil menjadi pusat perdagangan yang dapat menyaingi VOC di perairan Jawa, Sumatra dan Maluku. Dalam masa pemerintahannya, Sultan Ageng berupaya meluaskan wilayah kekuasaan Banten yang terus mendapat hambatan karena dihalangi VOC yang bercokol di Batavia. VOC yang tidak suka dengan perkembangan Kesultanan Banten mencoba berbagai cara untuk menguasainya termasuk mencoba membujuk Sulta Abu Nashar Abdul Qahar, Putra Sultan Ageng untuk melawan Ayahnya sendiri.
Dalam perlawanan menghadapi ayahnya sendiri, Sulta Abu Nashar Abdul Qahar meminta bantuan VOC dan sebagai imbalannya ia menjanjikan akan menyerahkan penguasaan atas daerah Lampung kepada VOC. Akhirnya pada tanggal 7 April 1682 Sultan Ageng Tirtayasa disingkirkan dan Sultan Haji dinobatkan menjadi Sultan Banten.
Dari perundingan-perundingan antara VOC dengan Sulta Abu Nashar Abdul Qahar menghasilkan sebuah piagam dari Sulta Abu Nashar Abdul Qahar tertanggal 27 Agustus 1682 yang isinya antara lain menyebutkan bahwa sejak saat itu pengawasan perdagangan rempah-rempah atas daerah Lampung diserahkan oleh Sultan Banten kepada VOC yang sekaligus memperoleh monopoli perdagangan di daerah Lampung.
Pada tanggal 29 Agustus 1682 iring-iringan armada VOC dan Banten membuang sauh di Tanjung Tiram. Armada ini dipimpin oleh Vander Schuur dengan membawa surat mandat dari Sulta Abu Nashar Abdul Qahar yang mewakili Sultan Banten. Ekspedisi Vander Schuur yang pertama ini tidak berhasil dan ia tidak mendapatkan lada yang dicarinya.
Perdagangan langsung antara VOC dengan Lampung mengalami kegagalan disebabkan karena tidak semua penguasa di Lampung langsung tunduk begitu saja kepada kekuasaan Sulta Abu Nashar Abdul Qahar yang bersekutu dengan kompeni, sebagian mereka masih tidak mengakui Sultan Ageng Tirtayasa sebagai Sultan Kerajaan Banten dan menganggap kompeni tetap sebagai musuh.
Sementara itu timbul keraguan dari VOC mengenai status penguasaan Lampung di bawah Kekuasaan Kesultanan Banten, yang kemudian baru diketahui bahwa penguasaan Banten atas Lampung tidaklah mutlak. (Bersambung)
Dikutip dari WIKIPEDIA