Bandar Lampung --- Pengahuan gelar pahlawan nasional pada sosok KH Ahmad Hanafiah sudah sangat lama dipersiapkan oleh UIN Raden Intan Lampung (RIL) dan Pemda Lampung Timur.
KH. Ahmad Hanafiah sebagai sosok kepahlawanan bisa dibilang sebagai seorang. Hal itu disampaikan oleh Rektor UIN RIL Prof. Wan Jamaluddin.
Menurutnya KH Ahmad Hanafiah yang tidak sekadar telah masyhur sebagai tokoh agama maupun sebagai pemimpin pergerakan dan perlawanan fisik umat Islam di Lampung, tetapi juga diyakini memiliki kemampuan unik yaitu ilmu kebal dalam melawan penjajah Belanda.
"Ketokohan KH Ahmad Hanafiah kembali terangkat dan menjadi topik pembicaraan dalam berbagai media pemberitaan di daerah Lampung sebagai salah seorang putra daerah yang diajukan oleh pemerintah Provinsi Lampung untuk dinobatkan sebagai pahlawan nasional," katanya saat ditemui langsung di Ballroom UIN RIL, Rabu, 27 Juli 2022.
Dosen Sejarah Peradaban Islam, UIN RIL Abd. Rahman Hamid pun dalam buku Biografi Perjuangan KH Ahmad Hanafiah Dalam Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia di Lampung 1945--1947 menjelaskan KH. Ahmad Hanafiah lahir pada tahun 1905 di Kecamatan Sukadana, Kabupaten Lampung Timur.
Beliau merupakan putra sulung dari KH. Muhammad Nur, pimpinan Pondok Pesantren Istishodiyah di Sukadana. Pesantren tersebut menjadi pondok pesantren pertama di Provinsi Lampung.
Ia menuturkan jika faktor homogenitas agama menjadi faktor terpenting tumbuhnya nasionalisme Indonesia.
"Beliau ini ternyata keturunan penyiar Islam Ki Masputra yang diutus Sultan Banten Maulana Yusuf (1570-1580) ke Sukadana. Kakeknya KH. Abdul Halim pernah belajar selama di Mekkah abad ke-19, dan Ayahnya KH. Muh. Nur pernah belajar di Mekkah selama 10 tahun sejak masa kecilnya," tuturnya.
KH Ahmad Hanafiah adalah ulama dan pejuang dari Sukadana yang berjasa mempertahankan kemerdekaan di Lampung (Sumatera bagian Selatan) pada 1945--1947.
"Pilihan untuk berjihad mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari cengkraman kolonialisme Belanda tak lepas dari latar sosiohistoris Hanafiah," katanya tertulis dalam buku.
Setelah belajar di Baravia (Jakarta), Malaysia dan Mekkah, ia menghasilkan dua karya penting yaitu Sirr al-Dahr (1934-1936) dan Al-Hujjah (1937). Bilankarya pertama menitikberatkan mengenai tafsir surat al-Ashr yang disinonikkan dengan kata Al-Dahr.
Maka karya kedua membahas tentang aspek- aspek fiqih seperti ; Salat sunnah qalbiyyah sebelhm khutbah Jumat mengangkat tangan saat qunut, menyentuh mushaf bagi yang berhadats, dan hukum tabu-tabuhan dan peralatan musik yang terjadi di masyarakat Lampung.
Selain menulis dua kutab tadi, Hanafiah pun aktif dalam pergerakan nasional. Ia tercatat aktif Ketua Sarekat Islam di Kewedanan Sukadana (1937-1942).
Organisasi ini, dalam spektrum pergerakan nasional masa Hindia Belanda (1900-1942), merupakan wadah perjuangan umat Islam lintas daerah dan suku bangsa untuk mencapai kemerdekaan. Karena itu SI dianggap organisasi berbahaya dan setiap pergerakannya di berbagai daerah mendapat pengawasan dari pemerintah Hindia Belanda.
Organisasi lain dengan posisi sebagai pimpinan, adalah Nahdatul Ulama (NU) dan Masyumi pada tahun 1937-1942. Pada masa penduduk militer Jepang, Hanafiah aktif sebagai anggota Sangikai Keresidenan Lampung (1943-1945).
Pada awal proklamasi kemerdekaan Indonesia, ketika dibentuk Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) di Keresidenan Lampung, Hanafiah berkiprah sebagai Ketua KNID di Kewedanan Sukadana.
Pada era ini ia tercatat sebagai
ketua Masyumi dan pimpinan Hisbullah Sukadana. Peran dan posisi tersebut memperkokoh semangat kebangsaan
(nasionalisme) Hanafiah dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan di Lampung. Apalagi, sejak Oktober 1945, Masyumi pusat sudah menegaskan bahwa membela Tanah Air
dari cengkeraman kekuasaan kolonial (Belanda) merupakan kewajiban bagi setiap ummat Islam, dan tindakan tersebut
adalah Jihad.
Berlandaskan upaya menegakkan kemerdekaan dan semangat keagamaan (jihad), Hanafiah mengerahkan segenap
jiwa dan raganya memimpin laskar-laskar dari Lampung merebut Baturaja dari pendudukan pasukan Belanda pada
bulan Juli dan Agustus 1947, ketika Agresi Militer Belanda Pertama.
Pada serangan yang kedua (16-17 Agustus 1947), Ahmad Hanafiah dan ratusan laskar Lampung dikepung oleh tentara Belanda. Setelah melakukan perlawanan sengit, Hanafiah berhasil ditangkap dan kemudian dieksekusi sampai mati oleh Belanda di Baturaja dengan cara ditenggelamkan ke
dalam Sungai Ogan sehingga jasadnya tidak dapat ditemukan oleh para pejuang dan masyarakat setempat.
"Itulah sebabnya
tidak ada makam untuk sang ulama dan pejuang yang sangat heroik ini. Dia telah mengakhiri hayatnya di jalah Allah demi
untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia," pungkasnya.