Okeh : Hamzah Sahal
Almagfurlah Kiai Bisri Syansuri saat terpilih menjadi Rais Am PBNU berumur 92. Beliau lahir di Pati 1887. Ini pertama kali beliau terpilih sebagai rais am di muktamar. Sebelumnya, kakek Gus Dur ini menjadi wakil Rais Aam, Rais Aamnya almagfurlah Kiai Abdul Wahab Chasbullah, yang juga kakak iparnya.
Belum setahun memangku amanah menjadi Rais Aam, beliau wafat, April 1980, di Jombang. Penggantinya almagfurlah Kiai Ali Maksum dari Pesantren Krapyak Jogjakarta, melalui event bernama Munas NU di Kaliurang tahun 1981. Umur Kiai Ali Maksum saat itu 66 tahun, lebih muda dari Kiai Miftahul Akhyar yang terpilih di Muktamar NU Bandar Lampung, Desember 2021.
Di Muktamar NU ke-26 Semarang, yang terpilih sebagai Ketua Umum PBNU adalah almagfurlah Kiai Idham Chalid. Beliau menjadi Ketua Umum PBNU sejak Muktamar NU ke-21 tahun 1956 di Medan, saat umur 34 tahun.
Masa-masa itu, muktamar tidak lima tahunan. Kiai Idham terpilih di Medan setelah aktif mensukseskan Partai NU di pemilu 1955. Partai NU mengejutkan perolehan suara, berhasil meraih hampir 7 juta suara atau 18%, ada di urutan ketiga. Pertama PNI dengan 8 juta sekian suara, kedua Masyumi dengan 7 juta sekian suara. PKI urutan ke-4 dengan 6 juta sekian.
Sebelum jadi Ketua PBNU, Kiai Idham adalah Ketua Lembaga Pendidikan Ma'arif NU dan GP Ansor.
Pesaing utama Kiai Idham di muktamar NU adalah almaghfurlah Kiai Ahmad Saichu (lahir 1921), kiai dan aktivis NU tulen dari Surabaya, yang belakangan mendirikan Pesantren al-Hamidiyah, Depok. Beliau adalah alumni madrasah Tashwirul Afkar yang didirikan oleh Kiai Abdul Wahab Chasbullah.
Kiai Saichu remaja memang dalam asuhan Kiai Wahab Chasbullan sebagai anak tiri. Ibunya Kiai Saichu adalah istri Kiai Wahab. Setelah tidak terpilih di muktamar Semarang, beliau mendirikan Ittihadul Muballighin, yang terkenal pada masanya itu.
Sementara itu, kaum muda NU yang menonjol adalah almagfurlah Fahmi D. Saifuddin, umurnya 2 tahun lebih muda dari Gus Dur, tapi lebih dulu berkiprah di PBNU, karena sudah lebih lama tinggal di Jakarta. Umur Pak Fahmi waktu muktamar di Semarang baru 37. Beliau lahir di Purworejo Jawa Tengah 1942.
Pak Fahmi adalah putra aktivis NU tersohor yang menjadi menteri agama di era Bung Karno terakhir, Kiai Saifuddin Zuhri (buku-buku beliau bacaan wajib aktivis NU). Kiai Saifuddin sudah tidak nyaman dengan kepemimpinan Pak Idham Chalid meski kawan kental seperjuangan sejak tahun 1940 an.
KH. A. Mustofa Bisri atau Gus Mus sedikit bercerita pada saya melalui WA bahwa dirinya dan orang-orang daerah lainnya diajak bikin "muktamar sendiri". Pengajaknya Pak Fahmi dan Gus Dur.
"Saya, (Allãhu yarhamhum) Kiai Sahal; Gus Dur; dr. Fahmi Saifuddin; Kiai Cholil Bisri; dan 'Pecinta NU' yang lain "sebagai penggembira" bikin muktamar sendiri. Konsep Program NU 5 Tahun sudah masuk," demikian Gus Mus bercerita.
Kata Gus Mus, konsep lima tahunan program NU ditulis oleh Pak Fahmi dan Gus Dur. Dokumen inu masih bisa dibaca di Perpustakaan PBNU dan sebagiannya dijelaskan dalam buku karya A. Chairul Anam.
"Sing ngonsep dr. Fahmi lan Gus Dur cs. Aku karo Kiai Sahal isih 'wong daerah'. Kadang-kadang waé 'dicangking'," ungkap Gus Mus. "Yang mengkonsep dokter Fahmi dan Gus Dur cs. Saya dan Kiai Sahal masih orang daerah. Kadang-kadang aja diajak."
"Namun karena pengurus terpilihnya masih 'status quo', ya sampai akhir periode, konsep tetap sebagai 'hitam di atas putih' belaka. Tak tersentuh realisasi blas," ungkap Gus Mus.
"Yo tho. Kan aku, Gus Dur, Dr. Fahmi termasuk santri-santri beliau. Kita juga ketemu Allãhu yarhãm Mbah Bisri Sansuri dan Mas Mahbub Djunaidi," jawab Gus Mus, saat aku tanya apakah di arena muktamar ketemu kiai Ali Maksum.
Pertemuan anak-anak muda seperti Gus Mus dkk dengan Kiai Maksum ada foto-fotonya. "Kétoké ono foto-fotoné. Jajal mengko tak golèkané; nèk menowo isih ono." Kiai Ali Maksum yang saat itu syuriah PWNU DIY adalah tokoh penting yang secara terbuka mengkritisi Kiai Idham Chalid, termasuk melakukan pembelaan ketika Pak Subhan dipecat dari ketua PBNU, tidak lama setelah muktamar 1972.
Dalam kesempatan itu, Gus Mus juga masih menyimpan ingatannya berkenelan dengan peneliti, seorang antropolog dari Jepang yang menulis disertasi Muhammadiyah, Prof. Nakamura. "Aku sempat ngantar Prof. Mitsuo Nakamura ke mesjid Baiturrahman, tempat sidang Syuriah," kata Gus Mus. (Insya Allah bagian itu akan jadi bagian sendiri).
Gus Mus belum banyak bercerita, karena saya tidak enak bertanya-tanya melalui WA. Ewuh banget, khawatir mengganggu waktunya. Namun beliau terkesan antusias bercerita. Semoga bisa mendapatkan kesempatan sowan untuk mendapatkan kisah yang lebih mendalam dan substansif.
Dalam konteks bahwa masih sangat minim kisah-kisah NU (NU ya, bukan pesantren) berupa audio visual, wawancara tokoh-tokoh NU yang sudah sepuh sangat penting. Tentang muktamar lebih penting lagi, karena muktamar adalah momentum berubahan NU.
Para pelaku sejarah muktamar NU ke-26 di Semarang tahun 1979 makin sedikit, Gus Mus saja waktu itu "cuma" datang sebagai pencinta, belum pelaku utama. Jangankan Gus Mus, Kiai Bisri Syansuri, sebagai tokoh central saja, mungkin tidak banyak diwawancarai media pada muktamar Semarang itu, karena umurnya yang sudah sangat sepuh.