Hukum Perkawinan Islam Kontemporer

Hukum Perkawinan Islam Kontemporer

Setiap hukum dibuat dan diterapkan adalah untuk kemaslahatan mukallaf yaitu manusia. Sehingga hukum akan senantiasa membawa kemaslahatan bagi kemanusiaan. 

Argumen hukum merupakan hal yang sangat urgent dalam keberadaannya hukum itu sendiri, sehingga dikatakan dalam suatu kaidah,  "Al hukmu yaduuru m'a illatihi wujuudan wa 'adaman" Suatu hukum akan ditentukan ada dan tiadanya hukum adalah karena argumentasi yang melatarbelakangi nya. 

Dalam satu konteks ada sebuah putusan hukum yang memiliki argumen kuat dengan beberapa lanadasan telah ditetapkan, namun aturan tersebut akan mungkin berubah jika suatu argumen yang lebih kuat kemudian muncul, hal ini sangat wajar dalam wilayah fiqh, karena fikih adalah permasalahan furu'iyyah, yang bersifat dzanni dan selalu dinamis. 

Meskipun perubahan hukum dalam konteks lain dapat berubah, sebagaimana dijabarkan dalam suatu kaidah, 
"Taghayyarul ahkam wakhtilafuha bitaghayyuril amkinah, wal azminah, wal awal, wannihat, wal 'awaid" 

Perubahan hukum atau sebaliknya dapat dipengaruhi oleh tempat, waktu, kondisi, niat dan kultur tertentu" 

Hal ini juga sebagaimana dipaparkan dalam kaidah lain,  "La yunkiruttaghayyuril ahkam, bithaghayyuril amkinah wal azminah" Tidaklah dipungkiri bahwa perubahan hukum dapat dipengaruhi oleh perubahan tempat dan kondisi".

Namun demikian suatu hukum juga tidak serta merta  dapat berubah dan dapat diterima begitu saja perubahannya, maka suatu hukum yang kuatlah argumennya akan dapat diterima sebagaimana dalam sebuah kaidah,  "Al hukmu yatba'u Al mashlahah Al raajihah" Hukum akan senantiasa mengikuti pada argumen hukum yang paling kuat. 

Untuk menentukan kekuatan hukum, tentunya tetap harus melihat pada bagaimana argumen hukum itu dibangun, karena tujuan hukum adalah kemaslahatan, yaitu "lijjalbil mashalih walidaf'il mafaaaid" Tujuan hukum adalah untuk mengambil kemashlahatan dan meniadakan kemudharatan, dalam hal dharuuriyah, hajjiyah maupun tahainiyah. 

Dalam konteks dharuuriyah, maka tujuan hukum adalah untuk menjaga agama, menjaga jiwa, menjaga akal, menjaga nasab dan menjaga harta, hal penting inilah harus dilindungi dalam hukum agar hukum senantiasa membawa kemaslahatan. 

Sebagaimana dalam pandangan Imam Al Ghazaly, bahwa hukum akan dapat diterima manakala hukum membawa kemaslahatan umum, tidak bertentangan dengan syari'ah dan dalam prinsip memudahkan dan tidak menyulitkan" 

Melihat beberapa prinsip tersebut di atas, maka sekiranya penting adanya keluwesan hukum sehingga hukum akan terlihat dinamis serta berdampak maslahat bagi umat, sehingga hukum tidak terkesan baku dan kaku, dinamis dalam hukum itulah yang kemudian dianggap sebagai sikap reaponsip dan progresif, bahwa hukum adalah untuk manusia dan bukan manusia untuk hukum.

Hukum adalah moral kemanusiaan dan bukan teknologi yang tidak berarti benar, dan hukum adalah etika, sehingga tidak harus law in book, namun hukum merupakan law in action.
 
Dalam kesempatan ini, tentunanya, dinamisasi hukum perkawinan kontemporer harus dilakukan dalam konteks membangun nilai kemaslahatan secara progresif.