Oleh : Asad Said Ali
Sejak awal digelindingkannya isu perpanjangan jabatan presiden untuk periode ketiga, Presiden Joko Widodo menolak dengan gayanya yang serius tapi santai “ ada yang ingin menampar, mengambil muka dan menjerumuskan saya “. Bagi mereka yang faham budaya Jawa, sudah pasti akan mengartikannya dengan benar, tetapi bagi yang gagal faham maka akan memaknainya lain.
Setelah tiga bulan reda, isu perpanjangan periode dilempar kembali dan secara serentak disambut oleh tiga partai koalisi (Golkar, PKB dan PAN) yang mendukung isu perpanjangan tiga kali periode jabatan Presiden. Sebaliknya partai koalisi lainnya dengan didahului oleh PDI Perjuangan menolak usulan tersebut, kemudian disusul oleh Partai NASDEM dan Partai Gerindra.
Tentu saja PDI Perjuangan sebagai pihak pertama yang menolak, wajar akan mendapat kredit poin atau apresiasi tinggi dari masyarakat politik dan rakyat pada umumnya. Sebagai pendukung utama Presiden , PDI Perjuangan tetap konsisten menjunjung konstitusi dan tidak larut euforia kekuasaan. Partai lainnya Nasdem dan Gerindra , sedikit banyak juga akan mendapat kredit poin atau apresiasi, meskipun tidak sama kadarnya dengan PDI Perjuangan.
Partai Demokrat (oposisi) menolak perpanjangan, sayang kehilangan momentum kalah dulu dari partai pendukung pemerintah. Walau bagaimanapun, sikap Partai Demokrat tetap tercatat sebagai partai yang konsisten berpegang teguh pada konstitusi . PPP sampai jam 18.00 WIB tanggal 4 Maret sejauh ini belum menunjukkan sikapnya. Akhirnya PPP juga mengeluarkan sikap menolak.
Perkembangan politik tersebut diatas merupakan perkembangan positip dalam perpolitikan nasional. Penolakan dari Partai Koalisi Pemerintah tersebut, diharapkan dapat menimbulkan suasana segar dan sikap lebih terbuka dalam diskursus tentang isu politik nasional yang penting pada masa mendatang dengan menjadikan konstitusi sebagai arus utama.
Menjadi catatan tersendiri bahwa merupakan pengalaman “sangat mahal “ bagi partai politik , yang karena terbelenggu oleh persoalan masa lalu akhirnya menjadi sandera dalam menentukan sikap politik yang krusial. Sikap partai menjadi bias dalam menghadapi dilema antara “mengedepankan konstitusi atau menyelamatkan kepentingan taktis partai “.
Bulan Sa’ban atau satu bulan menjelang Ramadhan rupanya cuaca politik nasional menjadi lebih cerah.Soal politik yang sangat pelik dan rawan ,” isu tiga kali jabatan Presiden “ dapat diselesaikan dengan bijak mengacu pada kearifan lokal ; yaitu sikap konsisten terhadap konstitusi.
Tepat sekali kata mutiara dalam khazanah kitab kuning yang berbunyi “ Laa Karomata illa bil istiqomah. Wa al istiqomatu khairu min alf Karomah”: (Tidak ada kemuliaan yang diperoleh tanpa sikap konsisten” dan “sikap konsisten itu sebaik baiknya kemuliaan“).