Suatu ketika, Bu Nyai Idris memberi tugas tambahan kepada sopir Kiai Idris, yakni ikut membantunya mengajari Kiai Idris cara mengoperasikan mesin ATM. Tetapi, setelah beberapa kali percobaan, Kiai Idris tetap tidak bisa.
Kenang sang sopir, Kiai Idris memang betul-betul kesulitan di hadapan mesin ATM, sampai-sampai Kiai Idris pernah berkata, “Aku gak iso. Mending aku ngafal Juman timbang ngene iki.” Juman yang dimaksud oleh Kiai Idris adalah Kitab Uqudul Juman, yang merupakan sebuah kitab sastra Arab tingkat tinggi yang terdiri dari seribu bait syair lebih.
Bayangkan, bagi Kiai Idris, lebih mudah menghafal kitab yang rumit dan panjang daripada mengoperasikan mesin ATM yang sangat mudah bagi kita. Bu Nyai pun akhirnya berujar kepada sang supir, “Abah itu kalo urusan ATM memang susah. Wong ngitung duit wae salah-salah terus.”
Asal-usul
Ning Maryam, putri Kiai Manab, pendiri Pondok Pesantren Lirboyo, sudah bukan anak-anak lagi. Sang ayah mencari-cari siapa sosok yang akan dipersilakannya memetik bunga di taman yang sedang merekah itu, sosok yang akan setia menemani putrinya mengarungi samudera kehidupan dengan segala badai dan ombaknya dalam sebuah bahtera pernikahan.
Satu nama terbesit di benak Kiai Manab. Kiai yang setelah berhaji menggunakan nama Abdul Karim itu menilai pemilik nama itu adalah sosok yang tepat. Dialah Marzuqi Dahlan, murid sekaligus keponakannya sendiri. Soal ilmu, Kiai Manab tahu betul bahwa Gus Juki, panggilan akrab calon menantunya itu, adalah orang alim, meski keilmuannya sering disembunyikan oleh tabiatnya yang tidak banyak bicara.
Soal akhlak, Gus Juki dikenal rendah hati walau pada dirinya mengalir darah kiai-kiai besar. Ia pun tidak suka kehidupan mewah di saat kondisinya mampu menggapai itu. Tidak ada keraguan yang bisa menghalangi Kiai Manab mengajukan penawaran kepada Gus Juki agar mau menikahi putrinya.
Gus Juki menerima penawaran dari gurunya dengan sepenuh hati. Ia meyakini banyak kebaikan di balik keinginan gurunya itu. Akhirnya, pernikahan antara Gus Juki dan Ning Maryam diberlangsungkan dengan khidmat berhiaskan doa-doa.
Ayah Gus Juki adalah KH. Dahlan, pendiri Pondok Pesantren Jampes, yang letaknya tidak jauh dari Lirboyo. Kiai Dahlan dan Kiai Manab merupakan sama-sama menantu Kiai Sholeh dari Banjarmelati. Kiai Dahlan menikahi Nyai Artimah. Sedangkan adik kandung Nyai Artimah bernama Nyai Dlomroh, dipersunting oleh Kiai Manab. Itu artinya, antara Gus Juki dan Ning Maryam masih terkait dalam ikatan keluarga yang tidak begitu jauh, yakni sepupu.
Sebagai putra kiai besar, Gus Juki tidak main-main kesungguhannya dalam mencari ilmu agama. Ia betul-betul menyelami ilmu agama hingga jauh ke kedalaman, terutama di bidang tasawwuf. Meski sebelum menikah, ia sudah berguru kepada banyak guru, seperti kepada Kiai Manab, yang kelak menjadi mertuanya, dan Kiai Ihsan Jampes, kakak kandungnya sendiri yang sangat terkenal itu, ia tidak menghentikan pengembaraannya mencari ilmu.
Konon, pasca menikah Gus Juki masih sibuk mencari ilmu hingga 30 tahun lamanya. Dengan riwayat pencarian ilmu yang demikian, maka tidak heran jika sepeninggal mertuanya, ia yang meneruskan kepemimpinan di Lirboyo bersama menantu Kiai Manab lainnya yang berasal dari Cirebon, KH. Mahrus Ali.
Pernikahan yang menyatukan dua insan mulia ini melahirkan 9 keturunan. Di antara putra-putri yang paling menonjol adalah putra nomor dua bernama Ahmad Idris yang lahir pada 12 Agustus 1940. Kelak ia meneruskan jejak kakek dan ayahnya menjadi pengasuh di Lirboyo. Ia dikenal sebagai KH. Ahmad Idris Marzuqi dari Lirboyo yang karismanya menyebar hingga seluruh penjuru nusantara.
Masa Kecil dan Mulai Mondok
Sejak kanak-kanak, Gus Idris sudah diberi pendidikan ilmu agama secara disiplin, terutama oleh ayahnya. Setiap hari Kiai Marzuqi membangunkan putranya itu mendahului cahaya fajar menyinari langit Lirboyo, agar ikut mengaji bersama kakak perempuannya, Ning Ruqoyyah. Alasan ‘masih ngantuk’ tidak bisa menjadi celah supaya dirinya bisa bebas dari rutinitas harian tersebut. Ini berlangsung hingga Gus Idris menjelang usia remaja.
Sebetulnya sejak kecil Gus Idris ingin keluar dari rumah demi bergabung dengan santri-santri di asrama. Namun, ia harus menahan keinginan itu terlebih dahulu. Baru setelah memasuki usia remaja, ia resmi pindah ke asrama pesantren dan resmi menjadi santri.
Di sana ia menyemplungkan diri sepenuhnya ke dalam kehidupan santri. Meski asrama dan rumahnya hampir tiada berjarak, tetapi ia jarang pulang ke rumah. Bahkan, ia pernah sanggup menahan diri untuk tidak pulang selama bertahun-bertahun.
Banyak putra kiai yang menuntut ilmu di pesantren yang diasuh oleh orang tuanya sendiri. Biasanya mereka menjadi santri yang mendapat perlakuan istimewa layaknya sebutir permata di tengah hamparan bebatuan biasa. Namun, Gus Idris malah menjalani laku hidup yang berbeda.
Alih-alih menikmati hidup bak pangeran, ia justru mencopot jubah kehormatannya, lalu membuangnya jauh-jauh demi menyetarakan dirinya di derajat yang sama dengan santri-santri lainnya. Kegiatan belajar, tidur, makan, hingga memasak, semua itu dilakoninya tak berbeda dengan yang lainnya.
Saya berkesempatan sowan ke sosok yang menjadi teman Gus Idris semasa mondok. Kiai Rohani namanya. Ia tinggal di rumah sederhana di desa Ngronggot, Nganjuk. Ketika itu siang hari. Kiai Rohani sedang santai di bagian depan rumahnya. Duduk di salah satu kursi yang mengelilingi meja yang difungsikan menjadi meja tamu sekaligus meja belajar.
Tumpukan kitab-kitab lawas berserakan di bawah lampu baca yang menggantung di atasnya. Saya diterima di situ dan kami berbincang-bincang lama tentang Gus Idris. Kiai Rohani sangat bersemangat menceritakan sahabat sekaligus panutannya tersebut.
“Ketika mondok, Gus Idris itu tidak memperlihatkan bahwa dirinya adalah putra kiai, sangat khumul menurut kitab Hikam. Jadi, beliau bergaul dan makan bersama santri-santri itu biasa. Pernah suatu saat kami makan sayur kangkung setengah matang. Setelah makan beliau bilang, “Alhamdulillaaaah makan ini rasanya nikmaat sekali.”
Padahal itu hanya sayur kangkung. Setengah matang pula. Bukan daging. Beliau itu menyesuaikan diri dengan santri-santri. Gus Idris itu hidup dengan sederhana dan sangat qona’ah,” ujar Kiai Rohani mengenang Gus Idris di masa lampau.
Suatu ketika, Gus Idris tidur di sisi beduk yang terletak di salah satu sudut serambi Masjid Lawang Songo Lirboyo. Entah apa alasan ia memilih tidur di situ alih-alih meringkuk lebih nyaman di kamarnya sendiri. Dalam lelap, ia tentu tidak menyadari kedatangan seorang laki-laki bersamaan dengan masuknya waktu subuh. Salah satu tangan laki-laki itu menggenggam pentungan kayu. Dari tanda-tanda yang tampak, laki-laki itu petugas penabuh beduk.
Gus Idris hanya satu dari sekian banyak santri-santri yang tidur di serambi masjid. Laki-laki penabuh beduk itu pasti tidak sempat memperhatikan dengan jeli siapa yang tidur di sisi beduk yang hendak ditabuhnya. Ia melangkah seperti biasa. Dan tatkala tiba di hadapan beduk, dilayangkannya tabuhan keras ke permukaan kulit beduk.
Dug dug dug.
Gus Idris kaget. Ia terlonjak hingga dalam sekejap saja, tubuhnya bangkit ke posisi duduk. Nahasnya, posisi itu justru menempatkan dahinya menjadi sejajar dengan beduk. Akhirnya, tanpa disangka-sangka pukulan berikutnya tidak mendarat di beduk, melainkan menghantam keras dahi Gus Idris.
Jedug.
Gus Idris sedikit terpental. Laki-laki penabuh beduk tak kalah terkejut. Manakala ia melihat siapa yang terkena hantamannya, ia langsung gemetar ketakutan. Tabuhannya menghantam dahi Gus Idris, putra kiainya. Ia merasa sangat bersalah, apalagi kondisi dahi Gus Idris tampak tidak baik-baik saja.
Sedikit darah mengalir di sana dan benjolan mulai tampak. Ia pasrah menghadapi apa yang selanjutnya akan terjadi. Segala konsekuensi siap diterimanya asal mendapat ampunan, termasuk risiko Gus Idris yang bisa saja marah lantas mengamuk.
Apa yang selanjutnya terjadi? Gus Idris yang masih dalam kondisi duduk belum kehilangan rasa keterkejutannya. Ia meringis kesakitan sambil mengelus-elus dahinya yang terluka. Tetapi, setelah itu ia berdiri, lalu pergi begitu saja. Ia tidak marah, apalagi mengamuk. Gus Idris menyadari kejadian yang barusan terjadi bukanlah kesengajaan. Penabuh beduk itu tidak tahu.
“Wa hum la ya’lamun,”komentar Kiai Rohani.
Kisah ini sungguh menakjubkan bagi saya. Karena tidak banyak putra kiai yang bisa bersikap demikian. Bila bukan Gus Idris yang menghadapi pertistiwa demikian, barangkali reaksi yang terjadi berkebalikan dengan reaksi menyejukkan dari seorang Gus Idris.
Menjadi Pengajar
Gus Idris menyelesaikan seluruh jenjang pendidikan di Lirboyo. Sehabis itu, ia di usia yang masih muda diangkat menjadi mustahiq. Mustahiq adalah sebutan guru kelas di sana. Tugasnya mengajar hampir semua mata pelajaran sekaligus bertindak sebagai wali kelas. Sisa mata pelajaran yang tidak diajar oleh mustahiq, diserahkan kepada pengajar lain yang disebut munawwib.
Ada sebuah tradisi di pesantren bagi santri yang baru kembali dari kampung halaman. Umumnya santri itu membawa buah tangan untuk dihaturkan kepada gurunya di pesantren, biasanya disebut barang sowanan.
Santri-santri yang menjadi murid di kelas Gus Idris tidak ketinggalan melestarikan tradisi itu. Apalagi Gus Idris lebih dari sekadar guru biasa, ia adalah putra kiai mereka, sehingga oleh-oleh yang disiapkan untuknya selalu istimewa.
Gus Idris sebetulnya tidak mengharapkan pemberian-pemberian itu. Ia merasa tidak enak bila murid-muridnya harus repot terlebih dahulu demi menyiapkan oleh-oleh. Tapi, menolak itu semua akan mengecewakan hati murid-muridnya.
Bukan Gus Idris namanya jika tega mengecewakan hati murid. Akhirnya, demi melegakan mereka yang memberi, ia selalu menerima itu semua. Namun, hanya sebatas menerima saja. Selanjutnya oleh-oleh akan dibiarkannya tergeletak begitu saja. Jangankan menikmati isinya, sebatas menengok ada apa saja di dalamnya pun tidak.
Biasanya Kiai Rohani yang akan membereskan urusan oleh-oleh yang tidak terurus tersebut. Ia akan mengumpulkan semua oleh-oleh yang berceceran di kamar Gus Idris, kemudian dibawanya ke ndalem untuk diserahkan kepada Nyai Maryam, ibunda Gus Idris.
Sikap Gus Idris ini menunjukkan bahwa sejak muda, ia sudah tidak terpengaruh oleh pemberian-pemberian orang lain. Dan sikap ini senantiasa melekat di dirinya hingga akhir hayat.
Kakek Gus Idris dari jalur ibu, Kiai Manab, punya kisah yang kurang lebih mirip dengan apa yang terjadi pada cucunya itu. Kisah ini terjadi sewaktu Kiai Manab sedang mondok di Pondok Pesantren Tebuireng yang didirikan oleh sahabatnya, Hadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari.
Di kalangan santri-santri di sana, Kiai Manab terkenal alim di bidang ilmu alat, yakni nahwu dan shorof. Jadi, jika ada yang menjumpai kemusykilan dalam ilmu alat yang tidak dapat dipecahkan, kamar Kiai Manab adalah tujuan tempat mendapatkan jawaban.
Dan sebagai bentuk terima kasih dari mereka yang dibantu, Kiai Manab biasanya diberi ‘salam tempel’. Namun, salam tempel itu akan langsung diselipkan oleh Kiai Manab di balik tikar. Ia tidak lagi menengoknya, lebih-lebih memeriksa jumlah nominalnya.
Semua orang di Tebuireng tidak mengetahui kebiasaan Kiai Manab menyelipkan salam tempel di balik tikar ini. Hingga suatu ketika di sana, kiai pengasuh memerintahkan seluruh santri untuk roan akbar bersih-bersih pondok. Kamar Kiai Manab tidak terlewat ikut dibersihkan.
Tatkala seorang santri menggulung tikar milik Kiai Manab agar bisa membersihkan lantai di bawahnya, ia terkejut bukan main memandangi banyak sekali amplop berceceran di sana. Amplop-amplop itulah salam tempel yang diberikan kepada Kiai Manab selama ini. Dan Kiai Manab sama sekali tidak mempedulikannya.
Gus Idris adalah putra asli Lirboyo dan tidak mondok selain di Lirboyo, kecuali sekadar tabarrukan di beberapa pondok lain saat bulan Ramadhan. Dengan begitu, ia berkesempatan memperhatikan lebih dekat gerak-gerik perilaku pengasuh yang merupakan kakeknya sendiri, yang dikemudian waktu diteruskan oleh ayahnya.
Dan memang, sifat yang dimiliki dua panutannya tersebut banyak yang menetes dan menitis dalam diri Gus Idris, terutama satu sifat yang paling menonjol, yakni zuhud.
Gus Abdul Muid Shohib, salah satu kerabat Gus Idris sekaligus pengagum beratnya, menceritakan sosok inspirasi kezuhudan yang dimiliki Gus Idris. “Mbah Yai (Gus Idris) jelas terinspirasi dari orang tua dan kakeknya. Jelaslah Mbah Yai Marzuqi dan Mbah Yai Manab. Kedua sosok itu sama-sama zuhud.
Mbah Yai Marzuqi kita tahu sendiri dari cerita-cerita yang beredar, kadang pakaian yang dimiliki hanya beberapa potong saja. Mbah Yai Manab konon sampai wafat tidak tahu beda nominal uang. Jadi, kalau punya uang tanya ke orang lain, “iki piro?” Kalau zaman sekarang, ya tidak tahu perbedaan antara seratus ribu, lima puluh ribu, dan dua puluh ribu. Iku sangking zuhude,” ujarnya.
Kiai Rohani pun tidak ketinggalan menceritakan gaya hidup sahabatnya itu yang sangat sederhana. “Setahu saya, sungguh, Gus Idris belum pernah menggunakan pakaian yang bagus. Bila di zaman dahulu guru-guru biasa menggunakan sarung samarinda, Gus Idris biasanya hanya pakai sarung cap gajah.”
Mantan asisten Gus Idris yang sering mengawal Gus Idris bepergian, KH. Ahmad Fahrurrozi, juga mengungkapkan hal yang sama. Pengasuh Pondok Pesantren An-Nur 1 Bululawang itu mengakui bahwa kiai yang sering dikawalnya tersebut merupakan sosok yang sangat sederhana meski reputasinya sudah dikenal khalayak luas dan dihormati tokoh-tokoh tingkat nasional.
“Beliau itu sangat sederhana. Pakaiannya sederhana meski Bu Nyai (istri Gus Idris) mempunyai butik. Tidak jarang saya yang memilihkan pakaian untuk beliau, menganjurkan agar beliau pakai sorban, karena beliau akan bertemu dengan tokoh-tokoh nasional. Saya pun sering mengaitkan kancing baju beliau yang sering tak dihiraukan. Tidak ada kesan beliau tampil mengada-ada. Beliau itu polos apa adanya,” ujar kiai yang akrab disapa Gus Fahrur itu.
Menikah, Memulai Usaha, dan Berharta
Di usia ke-33 tahun, keilmuan Gus Idris semakin matang. Pengalamannya dalam mendidik santri-santri pun sudah tak perlu diragukan lagi. Dengan ilmu dan pengalaman, Gus Idris terbentuk menjadi pribadi yang bijaksana. Namun, terdapat secercah kekosongan dalam dirinya. Sepetak bagian di hatinya masih belum berpenghuni.
Waktu itu tahun 1973. Gus Idris dijodohkan dengan seorang putri kiai asal Blitar. Ning Addiniyah namanya, putri KH. Ahyat. Dan Ning Adin yang pada akhirnya menjadi sosok yang melengkapi keutuhan Gus Idris. Kehampaan di hati Gus Idris sirna karena kehadiran Ning Adin. Ketika itu Ning Adin berusia 18 tahun. Tapi, meski usia keduanya terpaut jauh, bukan berarti keduanya tidak bisa menjadi pasangan yang harmonis dan kompak.
Sejak awal pernikahan, Gus Idris dan Ning Adin telah bersepakat dan bertekad agar kebutuhan hidup mereka berdua didapat dari hasil jerih payah sendiri. Sebenarnya, dengan menyandang status keluarga Pondok Pesantren Lirboyo, bisa saja keduanya hidup santai sambil menunggu rezeki datang tanpa dijemput.
Namun, bukan itu yang keduanya inginkan. Mereka memilih jalur terjal bernama usaha meski harus memulainya dari titik nol. Bukankah rezeki yang paling baik adalah yang didapat dari hasil keringat sendiri?
Gus Idris tidak punya modal usaha apa-apa selain sebuah kulkas dan sepeda motor yang sama-sama bekas. Dari hasil musyawarahnya dengan sang istri, diputuskanlah usaha mereka yang pertama adalah berdagang es lilin. Tiap malam, Ning Adin bertugas meramu bahan-bahan pembuatan es lilin, mengemasnya ke dalam plastik, dan menyusunnya di dalam kulkas agar membeku. Jadilah es lilin sebagaimana yang dijual di warung-warung.
Tugas selanjutnya adalah milik Gus Idris. Di sela-sela kesibukannya mengurus pondok yang memiliki aktivitas padat, ia mengantar es lilin yang sudah membeku ke warung-warung di sekitar pondok untuk dititipkan jadi dagangan di sana. Usaha berdagang es lilin ini dilakoni Gus Idris dan Ning Adin tanpa sedikit pun perasaan gengsi.
Setelah usaha es lilin, Gus Idris dan Ning Adin berhasil menambah usaha baru guna memenuhi kebutuhan hidup rumah tangga mereka berdua. Mula-mula ada seorang santri asal Pekalongan yang menawarkan kain-kain batik untuk menjadi barang dagangan. Akhirnya, menjual kain-kain batik tersebut menjadi usaha baru yang cukup menguntungkan dan diminati banyak orang meskipun belum didirikan sebuah kios untuk menjadi tempat kain-kain batik itu diperdagangkan.
Ning Adin merupakan penghafal Al-Qur’an dan sering ke Pondok Pesantren Maunah Sari yang jaraknya tidak jauh dari kediamannya di Lirboyo. Di sana ia meyetorkan hafalan kepada Kiai Mundzir. Kiai Mundzir mengetahui usaha Ning Adin dan suaminya berdagang kain-kain batik.
Kebetulan, ada tanah tak berpenghuni di dekat sana yang dijual. Kiai Mundzir menyarankan agar Gus Idris membeli sebidang tanah tersebut demi pengembangan usahanya. Gus Idris mengikuti saran itu. Maka, didirikanlah sebuah butik bernama Rizquna.
Semua usaha itu, pada akhirnya menghasilkan rezeki yang berlimpah bagi keluarga Gus Idris. Tetapi, itu sama sekali tidak mengurangi kesibukan Kiai Idris dalam mendidik dan memperhatikan santri-santri. Hampir seluruh waktu, tenaga, dan pikirannya dicurahkan untuk para santri hingga akhir hayatnya. Kiai Idris, yang namanya mengingatkan kita pada Nabi Idris As.
KH. A. Idris Marzuqi wafat pada hari Senin, 9 Juni 2014.. Lahul fatihah...
Sumber : ULAMA & KIAI Nusantara