Oleh : Budi Nurastowo Bintriman
Akhirnya aku tertarik juga untuk menulis tentang Saifudin Ibrahim Si Murtadun. Ketertarikanku menulis tentangnya muncul setelah dapat kabar dari kawan yang bisa dipercaya, bahwa (almarhum) Ustadz Yunahar Ilyas dulu pernah berkomentar tentang murtadnya Saifudin Ibrahim.
Kemudian waktu belakangan ini, ada kawan sesama kader yang masih terbilang milenial, memintaku secara khusus untuk menuliskan kasus murtadnya Saifudin Ibrahim. Tujuannya agar banyak pihak yang jadi tahu dan tersadar akan sepak terjangnya terhadap Islam.
Sejauh dan sebatas pengetahuanku, aku belum pernah temukan tulisan mengenai murtadnya Saifudin Ibrahim. Padahal ia sendiri telah menulis beberapa buku untuk misi kristenisasi. Dan padahal di internal umat Islam khususnya warga Muhammadiyah, kemurtadannya cukup membuat heboh, dan sering jadi topik pembicaraan.
Secara moril, mustinya counter terhadap agresivitas Saifudin Ibrahim hukumnya fardhu kifayah bagi Muhammadiyah atau bagi Universitas Muhammadiyah Surakarta atau bagi Pondok Hajah Nuriyah Shabran. Tapi sayang sungguh sangat disayang, sepertinya hal ini tak dilakukan. Maka mudah-mudahan, tulisanku ini akan menggugurkan hukum fardhu kifayah tersebut, aamiin.
Komentar Ustadz Yunahar Ilyas tentang hal itu kurasa memang sangat perlu untuk direspon. Karena berdasar informasi dari kawan, beliau sampai kepada kesan yang mempertanyakan sistem perkaderan di Pondok Hajah Nuriyah Shabran - UMS, tempat Saifudin Ibrahim menempuh kuliah S1-nya.
Dan kita semua tahu, bahwa Pondok Hajah Nuriyah Shabran - UMS memang sebuah lembaga perkaderan nasional tingkat mahasiswa milik Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Lembaga atau wadah perkaderan yang berdiri di awal tahun 1980-an.
Sedang kawan sesama kader yang milenial ingin tahu kejelasan yang sebenarnya. Bagaimana ceritanya hingga seorang bernama Saifudin Ibrahim sebagai kader elit Muhammadiyah tingkat nasional bisa murtad? Dan lebih parahnya lagi, ia bisa berbalik arah menyerang Islam.
Bahkan Saifudin Ibrahim tidak sekedar murtad yang jadi umat nasrani biasa-biasa saja. Tapi ia melakukan serangannya kepada Islam secara vulgar seperti sengaja dipublikasikan secara luas lewat media sosial. Makanya ia kemudian terjerat UU ITE pasal 28 ayat 2.
Di samping itu, kawan sesama kader ini, kebetulan satu daerah (Mlonggo Jeporo) dengan isteri Saifudin Ibrahim. Dan ia memintaku menuliskannya juga dengan alasan, bahwa aku dengan Saifudin Ibrahim sama-sama kader Pondok Hajah Nuriyah Shabran - UMS. Bedanya aku angkatan tahun 1986, sedang Saifudin Ibrahim angkatan tahun 1984.
Sebagai mahasantri junior, aku memandang Saifudin Ibrahim adalah tipe kakak tingkat yang murah senyum dan tidak jaga imej terhadap adik-adik tingkatnya. Dan ia ternyata memang bersikap begitu kepada siapa saja.
Pembawaan Saifudin Ibrahim riang-riang saja. Makanya ia cepat dan mudah dikenal oleh adik-adik tingkatnya. Sehingga banyak sekali mereka yang suka kepada keramahannya.
Kemudian adik-adik tingkat tak sungkan-sungkan memanggil Saifudin Ibrahim dengan sebutan "Bang Kocek". Sebutan yang sangat akrab, karena seperti menghapus sekat-sekat atau batas antara kakak tingkat dengan adik tingkat.
Sebutan "Bang Kocek" ada latar belakangnya. Sebutan tersebut ternyata nama pena Saifudin Ibrahim. Ia ternyata menjadi penanggung jawab salah satu rubrik di media pers mahasantri Pondok Hajah Nuriyah Shabran - UMS.
Rubrik itu berisi nilai-nilai sufisme islami yang dikemas dengan redaksional entheng-enthengan. Dalam tulisan-tulisannya, Saifudin Ibrahim biasa mengangkat kisah-kisah jenaka penuh makna dari Nasrudin Efendi (Abu Nawas versi negeri Turki).
Sebagai penulis tetap di media pers mahasantri tersebut, Saifudin Ibrahim menamakan rubriknya "Pojok Bang Kocek". Hingga kini tak ada yang tahu makna "kocek" itu apa maksudnya.
Postur tubuh Saifudin Ibrahim tinggi 180-an cm dengan rangka tulang yang besar. Tapi badannya cenderung agak melengkung (bungkuk), berbeda dengan perawakannya yang sekarang, yang gemuk, tegap, dan agak gendut.
Saat mahasantri, Saifudin Ibrahim belum gemuk, sehingga masih bisa main bola sama-sama. Meskipun begitu, dalam hal sepakbola, ia sekedar pemain penggembira. Sedang aku sekedar pemandu soraknya, he he he...
Jika dilihat dari tampilan pakaiannya, Saifudin Ibrahim mungkin bukan berasal dari keluarga berada. Mungkin berasal dari keluarga miskin, sama seperti aku. Ini memang keadaan kebanyakan mahasantri Pondok Hajah Nuriyah Shabran - UMS.
Oleh karena itu, hampir kami semua mahasantri merasa sangat beruntung dan bersyukur atas program perkaderan tingkat mahasiswa gratis ini, bagi yang tak mampu. Ekspresi rasa syukur kami beragam, tentu sesuai kepribadian masing-masing. Nah, mungkin ceria dan riang itulah cara Saifudin Ibrahim mensyukuri nikmat kuliah S1 dan hidup yang relatif terjamin.
Meski Saifudin Ibrahim banyak mempunyai sisi baik, tapi ada satu catatan penting yang membuatku tak simpatik kepadanya. Tapi ini tentu sangat subyektif sifatnya. Ia penyayang kucing. Tapi kucing yang ia sayangi pasti dikebirinya.
Maka kucing-kucing kesayangannya jadi gemuk gembul, besar, berbulu indah, sangat jinak, rumahan, tapi jadi kucing penakut. Sedang proses pengebirian kucing itu dilakukannya saat kucing masih sangat kecil. Aduh, tega sekali Saifudin Ibrahim ini!
Karena alasan itulah, mungkin aku menjadi adik tingkat satu-satunya yang tak respect kepada Saifudin Ibrahim. Hingga kini masih terngiang suara jeritan kucing kecil ditelingaku, saat dikebiri secara sadis olehnya. Kabetulan aku ini berasal dari keluarga penyuka dan penyayang kucing.
Secara keseluruhan, Saifudin Ibrahim selama jadi mahasantri adalah kader yang manis dan penurut. Terbukti saat pernikahannya, para petinggi Pondok Hajah Nuriyah Shabran - UMS hadir ke Jeporo. Bahkan penceramah nasehat perkawinannya adalah pucuk pimpinan Pondok Hajah Nuriyah Shabran - UMS. Luar biasa bukan?
Pada tahun 1994, aku mengabdi di Pondok Pesantren Muhammadiyah Darul Arqom Sawangan Bogor milik Pimpinan Wilayah Muhammadiyah DKI Jakarta. Sebuah pesantren yang sedang kesusupan faham NII KW IX (Negara Islam Indonesia Komando Wilayah Sembilan) Pimpinan Abu Toto atau Panji Gurmilang.
Konon kabarnya, faham itu dibawa atau disusupkan ke Pondok Pesantren Muhammadiyah Darul Arqam oleh Saifudin Ibrahim. Nah rupanya, ia sebelum murtad sudah tersesat terlebih dahulu di Gerombolan Sesat NII KW IX itu.
Faham sesat itulah yang dijadikan alasan kawan-kawan kader utusan PWM DKI Jakarta untuk memanggilku turut mengabdi di Pondok Pesantren Muhammadiyah Darul Arqam Sawangan. Tentu dalam rangka untuk meluruskan dan membersihkannya.
Faham sesat NII KW IX langsung berdampak buruk kepada para santri dari kelas III Aliyah hingga para santri kelas III Tsanawiyah. Mereka berani tak melaksanakan shalat wajib atau puasa Ramadhan. Karena bagi NII KW IX, syari'at itu hanya wajib dilaksanakan jika Negara Islam Indonesia telah tegak berdiri.
Ada lagi satu faham sesat yang diterapkan oleh para santri. Yaitu, mencuri barang milik orang di luar gerombolan NII KW IX hukumnya halal. Siapapun orang itu, termasuk terhadap orang tuanya sendiri sekalipun.
Akibatnya, hampir semua para santri yang telah terkontaminasi faham sesat NII KW IX, hampir serempak menggelapkan uang SPP untuk Pondok dari orang tuanya. Praktek sesat mereka yang demikian itu berlangsung hingga berbulan-bulan. Bahkan hingga ada yang lebih dari satu tahun atau dua tahun.
Ini bisa terjadi, karena staf Tata Usaha (TU) di Pondok pun telah terkontaminasi faham sesat NII KW IX tersebut. Jadilah antara para santri dan para staf TU dan para ustadznya berkongkalingkong. Tetapi serapat-rapatnya mereka menutupi praktek sesat itu, akhirnya terbongkar juga.
Penggelapan uang SPP itu juga digunakan untuk membayar iuran wajib (seperti pajak) sebagai anggota NII KW IX. Jika beberapa kali tak membayar iuran wajib itu, mereka bisa dicap kafir. Suatu hal yang sangat menakutkan bagi santri yang hidup di tengah-tengah gerombolan santri sesat NII KW IX.
Di situ jadi ada pertanyaan yang luar biasa besarnya. Bagaimana ceritanya, Saifudin Ibrahim yang kader elit Muhammadiyah bisa menyebarkan faham sesat itu ke Pondok Pesantren Muhammadiyah Darul Arqam Sawangan? Dari mana asal mula ia bisa terkontaminasi faham sesat NII KW IX itu?
Selama aku mengabdi di Pondok Pesantren Muhammadiyah Darul Arqam Sawangan, hanya sempat sekali jumpa Saifudin Ibrahim. Saat itu bersamaan waktu di mana para santri sedang libur panjang tutup tahun ajaran. Mereka pulang ke rumah masing-masing sekitar dua pekan atau tiga pekan lamanya.
Saat aku datang di Pondok Pesantren itu, Saifudin Ibrahim sudah kabur. Karena ia sudah masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) Koramil Sawangan. Saat itu urusannya terkait dengan urusan subversif. Makanya urusannya dengan Koramil, bukan dengan Polsek.
Saat aku jumpa Saifudin Ibrahim, aku terkejut dan terheran-heran sekali. Penampilannya sangat parlente. Bajunya, celananya, sepatunya, sabuk gespernya, dan arlojinya, semuanya branded. Ia juga mengenakan cincin emas yang sangat mencolok. Sesuatu hal yang saat di Pondok Hajah Nuriyah Shabran - UMS dahulu, tak terbayangkan bisa nempel pada diri "Bang Kocek".
Di pinggang Saifudin Ibrahim terselip alat komunikasi pager. Alat komunikasi tercanggih saat itu, tahun 1980-an. Kendaraan yang ia pakai pun motor Honda GL 125 cc keluaran terbaru. Motor impian anak-anak muda yang doyan nampang.
Sikap riang dan ceria Saifudin Ibrahim masih ada. Hanya saja, ia ada tambah sikap petentang-petenteng. Itu sangat kurasakan saat ia ngobral atau mendakwahkan "seperioritas" Gerombolan NII KW IX kepadaku.
Dari "dakwah" Saifudin Ibrahim itu, aku diberi tahu, bahwa di "negara" NII KW IX itu, ia menjabat sebagai Ketua Mahkamah Agung. Tugas utamanya membai'at anggota-anggota baru Gerombolan NII KW IX. Di mana tiap kepala yang dibai'at, dikenai dana wajib minimal Rp. 20.000.
Uang Rp. 20.000 saat itu kira-kira setara dengan uang Rp. 200.000 saat ini. Itulah pendapatan sampingan Ketua Mahkamah Agung "negara" NII KW IX. Makanya saat "mendakwahiku" dalam waktu yang tak terlalu lama, sikap petentengannya dan cengengesannya selalu mendominasi obrolan dan obralannya.
Dari sekian poin yang menggambarkan "superioritas" NII KW IX untuk menarikku agar mau turut bergabung, hanya kujawab dengan satu jawaban : "Aku belum "silau" dengan NII-mu, selagi para petinggi NII KW IX hanya beristeri satu. Aku baru akan "silau" dengan NII KW IX, jika semua para petingginya beristeri empat, sebagaimana tuntunan dalam Al-Qur'an".
"Dakwah" Saifudin Ibrahim yang ditimpali sikap petentengan tengil itu, terpatahkan seketika oleh jawaban sedikit "ngawuriyah" ro'yu dengan sedikit landasan tekstual dariku. Karena sebenarnya NII KW IX itupun hanya ngawur-ngawuran dalam berislam.
Atas jawabanku itu, Saifudin Ibrahim tertawa ngekek-ngekek sebagaimana khasnya. Ia menepuk-nepuk bahuku, kemudian ngeloyor pergi dengan sikap petentengan yang agak tengil. Aku hanya beristighfar dalam hati.
Pada perjumpaan yang tak lama itu, aku lihat Saifudin Ibrahim seperti sangat menikmati keparlenteannya. Suatu hal yang seperti sangat mustahil, jika dikaitkan dengan masa mahasantrinya di Pondok Hajah Nuriyah Shabran - UMS dahulu.
Mungkin begitulah cara Saifudin Ibrahim mensyukuri "nikmat" yang diperolehnya. Nikmat pakaian, nikmat asesoris, nikmat sarana kendaraan, nikmat jabatan, nikmat pendapatan, dan nikmat-nikmat keduniaan lainnya. Hingga tega dan membabi-buta berkhianat kepada Muhammadiyah yang mencerdaskannya, menaikkan derajat dan martabatnya.
Alhamdulillah, kami kader Shabran yang berjumlah tujuh orang dan unsur-unsur lainnya berhasil menendang NII KW IX dari Pondok Pesantren Muhammadiyah Darul Arqam Sawangan. Mengenai perjuangan kami melawan tokoh-tokoh setempat, para ustadz, para staf, bahkan para santri NII yang dramatis bak film, kucukupkan biar tercatat di langit.
Pada tahun 2014, aku memperoleh kabar tentang proses murtadnya Saifudin Ibrahim. Pemberi kabar ini adalah guru mata pelajaran Bahasa Indonesia di Pondok Pesantren Al-Zaitun Indramayu. Jadi bisa dibilang kabar valid (tapi tetap disadari dan didasari frasa wallahu a'lam).
Entah mengapa, manajemen Al-Zaitun tiba-tiba menggeser jabatan Saifudin Ibrahim. Dari jabatan bergengsi dan basah (Mahkamah Agung) menjadi ke bagian kehumasan. Menerima kenyataan penggeseran ini, ia tampak kecewa.
Maka sebagai kompensasinya, Saifudin Ibrahim jadi sering bergaul secara intensif dengan salah satu tamu tetap Pondok Pesantren Al-Zaitun yang beragama Kristen. Dan tamu ini banyak meminjamkan literatur-literatur agama Kristen kepada Saifudin Ibrahim. Termasuk salah-satunya Kitab Injil Barnabas.
Dari bacaan Kitab Injil Barnabas inilah, Saifudin Ibrahim mengaku mendapat kebenaran (agama) yang sejati. Singkat cerita, murtadlah ia dan kemudian jadi pendeta yang hebat luar biasa, khususnya dalam hal menyerang agama Islam.
Nah, pada kasus ini, lagi-lagi, aku memperhatikan, bahwa dinamika kehidupan agama Saifudin Ibrahim sejatinya hanya sebatas motif kenikmatan lahir, motif kenikmatan fisik, dan motif kenikmatan dunia semata yang ia reguk. Tak ada motif lain di luar motif rendahan itu.
Lihatlah penampilan Saifudin Ibrahim sekarang! Ia semakin mentereng. Sikapnya sudah didominasi oleh arogansi. Lihatlah mulutnya yang berbusa-busa menyampaikan ajaran kasih-sayang, tapi romannya tampak garang, dan gesturnya tampak angkuh!
Mungkin materi atau apa yang didapat oleh Saifudin Ibrahim dari gereja jauh lebih bergelimang dari pada apa yang diperolehnya dari Muhammadiyah dan NII KW IX. Maka pada posisinya yang terakhir ini, ia tega dengan gelap-mata mengkhianati Islam. Na'udzu billahi min-dzalik!
Maka rekam jejak dinamika keagamaan atau pasang-surut relijiusitas Saifudin Ibrahim dapat dirunutkan, kurang-lebih sebagai berikut :
(1) Atas fasilitas kuliah gratisan dan "ma'isyah bulanan" yang relatif di atas rata-rata dari Muhammadiyah, Saifudin Ibrahim memerankan diri sebagai kader yang manis dan penurut.
(2) Atas dasar nikmat pendapatan dan jabatan mentereng dari manajemen Al-Zaitun, Saifudin Ibrahim memerankan diri sebagai "perwira" andalan bagi NII KW IX.
(3) Dan atas gelimang kenikmatan dunia yang serba di atas Muhammadiyah dan NII KW IX, Saifudin Ibrahim dengan gelap mata memerankan diri sebagai "Abu Jahal Pongah" yang dengan gagah berani menginjak-injak agama Islam, agamanya dulu. Na'udzu billahi min-dzalik!
Catatan terpentingnya : Jadi, jika sekiranya ada kepercayaan animisme atau dinamisme yang menyodorkan tawaran keduniaan jauh lebih gemerlap ketimbang Gereja (3), maka tak menutup kemungkinan, Saifudin Ibrahim bisa saja memerankan dirinya sebagai "bapak spiritualisnya", atau bahkan sebagai "bethoro kolonya" atau bahkan sebagai "dhedhemitnya".
Dalam hal mencla-menclenya Saifudin Ibrahim beragama Islam itu, ia tentu faham pesan Al-Qur'an surat Al-Baqarah ayat 79, dan di banyak ayat lainnya. Di mana frasanya berbunyi, "liyasytaru bihi tsamanan qalila"...
Terkait dengan isi-isi atau materi perdebatan Saifudin Ibrahim yang Kristen dengan muslim, aku hanya akan ungkapkan satu blunder yang pernah dibuatnya. Ia pernah mengakui, bahwa satu-satunya bahasa yang bisa paling tepat untuk mengungkapkan perasaannya adalah bahasa Arab. Selainnya tak ada.
Pada pangakuan (blunder) itu implikasinya sangat jauh dan mendalam. Tapi sangat disayangkan, Saifudin Ibrahim tak menyadarinya. Implikasinya, memang itulah substansi dari diturunkannya agama Islam sebagai PENYEMPURNA terhadap agama-agama samawi yang terdahulu.
Sedangkan aspek bahasa adalah sebagai salah satu aspeknya saja. Makanya Al-Qur'an (Kitab Sucinya umat Islam itu) terjaga bahasa aslinya. Itu juga yang menjadi salah satu tanda kesempurnaannya. Itu tidak sebagaimana bahasa pada kitab-kitab suci agama lain. Bahasa kitab-kitab suci agama mereka sudah berupa terjemahan belaka. Artinya tak mungkin bisa lagi disebut sempurna.
Lagi pula menjadi hal yang sangat aneh dan lucu. Ada pendeta Kristen sok-sokan menyerang Islam, tapi tak faham bahasa asli Kitab Injil (Ibrani), Kitab Sucinya sendiri. Tapi ia justeru bisa berbahasa Arab (meskipun tingkat dasaran). Ada apa ini? Apakah sedang ada pentas pertunjukan tonil atau ludruk atau bodoran?
Maka jika sekiranya berkenan, aku sarankan, Gereja mustinya segera cermat koreksi diri dalam mengandalkan Saifudin Ibrahim untuk buka front debat dengan Islam, dan atau buka front serangan-serangannya ke agama Islam. Bersediakah? Semuanya kembali terserah Anda.
Sementara penguasaan bahasa Arab tingkat dasaran Saifudin Ibrahim digunakan untuk "menafsirkan" Al-Qur'an secara sak karepe udele dhewe. Dalam Al-Qur'an Al-Karim, untuk menafsirkannya dibutuhkan penguasaan bahasa Arab tingkat tinggi (mufassir). Itupun musti ditunjang dengan ilmu-ilmu agama Islam lainnya.
Yah, untuk kalangan awam di kalangan kaum Kristen dan umat Islam, bahasa Arabnya Saifudin Ibrahim tampak cas cis cus. Padahal itu bahasa Arab tingkat dasaran belaka, yang belum memenuhi syarat untuk menafsirkan Al-Qur'an. Bahkan masih terlalu jauh bandingannya.
Cukup pada sisi blunder Saifudin Ibrahim itu, maka semua perdebatan Islam versus Kristen mengenai konsep teologi, konsep peribadahan, konsep-konsep sosial, dan lain sebagainya, saya anggap menjadi sudah "game over". Posisinya Islam unggul ya'lu wala yu'la 'alaihi. Dan dalam hal ini, ia pasti tahu makna Al-Qur'an surat Al-Maidah ayat 3.
Meskipun begitu, aku yang dahulu pernah bersama Saifudin Ibrahim sebagai sesama kader Muhammadiyah, tetap mendoakan, agar ia sadar atas kemurtadannya. Kemudian bertobat untuk kembali ke pangkuan Islam sebagai innaddina 'indallahil-Islam, aamiin Allahumma aamiin.
Kalaupun tetap ngeyel, Saifudin Ibrahim pasti juga faham hukum Islam yang berlaku bagi "murtadun harbi" seperti ia, alias Bang Kocek, alias Abraham Ben Moses.
Wa-ALLAHU a'lam bishshawwab...[ ]
Solo Raya, Jum'at 25 Desember 2020, jam 16.57.
Penulis adalah kader akar rumput ber-NBM : 576.926