Oleh : Dr. KH. Muchlis Hanafi
Rasanya berisik soal toa belum hilang. Kini, sudah harus berpindah ke soal logo. Yah, logo halal baru terbitan Kemenag. Menggantikan logo lawas besutan MUI. Tentu, secara bertahap. Jangan baper soal penggantian. Ini hanya soal kewenangan. Sesuai amanat undang-undang.
Apa yang salah dari logo baru?
Sebagai orang Betawi, saya tidak tertarik bahas isu jawasentris bentuk gunungan dan motif surjan. Toh, wayang dan batik sudah jadi warisan budaya Indonesia. Bukan hanya Jawa.
Menarik dicermati gaya Kufi tulisan (kaligrafi) halal. Bentuk khat (tulisan) yang berasal dari Kufah. 170 km di selatan Bagdad Irak. Kota Islam kedua di Irak setelah dikuasai Umar bin Khattab (19 H). Dengan pasukan pimpinan Sa’ad bin Abi Waqqash. Imam Ali pernah memindahkan ibu kota pemerintahan dari Madinah ke kota ini (36 H). Kufi artinya berasal dari Kufah.
Saya bukan kaligrafer. Tetapi, mushaf Qur`an periode awal, bagian studi saya, ditulis dengan khat Kufi. Sedikit banyak jadi ikut mencermati. Ini bentuk tulisan Arab (khat) yang paling tua. Dibanding jenis lainnya; naskh, riq`ah, tsuluts, dan sebagainya. Begitu sangat populernya, tulisan Al-Qur`an dan surat menyurat pada masih awal Islam menggunakan jenis Kufi.
Bentuknya khas sekali; tegak lurus dan (dulu) tanpa titik. Lihatlah mushaf Usman yang masih tersimpan di Tashkent dan Masjid Sidnal Husein Kairo. Sulit dibaca oleh yang tidak biasa. Selain itu, Kufi lebih menonjol sebagai hiasan (estetika). Ornamen dinding (istana atau masjid) arsitektur peradaban Islam klasik banyak dihiasi bentuk Kufi. Dipadukan dengan budaya lokal. Sebagai hiasan, bentuk Kufi bisa fleksibel (dzû thâbi`in marin). Terbuka dgn berbagai inovasi.
Logo halal yang baru contohnya. Garis-garisnya ditarik membentuk gunungan (wayang) dan motif surjan. Konon, surjan awalnya diciptakan oleh Sunan Kalijaga. Sebagai simbol pakaian takwa yang melambangkan kesederhanaan. Bahannya berupa kain lurik. Perpaduan yang sangat indah. Antara agama dan budaya. Tulisan ‘halal’ ber-khat Arab Kufi berpadu dengan gunungan dan surjan.
Memang jadi terkesan agak kurang terbaca. Keterbacaan ‘halal’ tertimpa oleh estetika. Tapi, dari segi kaidah penulisan khat gak ada masalah. Kufi bisa fleksibel. Soal keterbacaan, bukankah tidak semua logo dipahami semua orang? Dan, dengan tulisan latin Halal Indonesia di bawahnya keterbacaan Kufi di atas semakin jelas.
Apalah arti sebuah logo. Ia hanya sebuah tanda. Yang terpenting, pastikan kehalalan produk yang disertifikasi. Ini jauh lebih substantial. Di Indonesia, dalam konteks bernegara, kita terbiasa beragama seperti garam dalam makanan. Tak tampak tapi sangat terasa. Kalaupun harus terlihat ‘gincu’ dalam beragama bolehlah. Asal jangan terlalu menor. Ini tidak berlaku untuk nikah. Jangan ‘halalkan’ diam-diam. Tak terlihat (siri). Harus dicatat di KUA ya.