Suara Adzan dan Moderasi Beragama

Oleh: Imam Yahya - Direktur Rumah Moderasi Beragama UIN Walisongo - Semarang

Geger Menteri Agama RI Yaqut Cholil Qomas menyamakan suara adzan dengan gonggongan anjing di media massa belakngan ini merupakan pemahaman yang menyesatkan dari penggalan pernyataan Menteri Agama berkaitan dengan Surat Edaran Menteri Agama  Nomor 05 Tahun 2022 yang membahas tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Mushala.

Sebetulnya SE ini dibuat dalam rangka mengembangkan pola moderasi beragama yang santun dan harmonisasi antar umat beragama.

Tetapi lewat SE ini  justru Meneri Agama dituduh merusak toleransi dan moderasi beragama.
 
Ditambah lagi dengan adanya laporan ke Bareskrim Polri oleh politisi kawakan Roy Suryo, ahli telematika yang mendadak ahli dalam hal ikhwal penistaan agama.
 
Pengalihan isu moderasi beragama yang sedang diusung oleh Kementerian Agama beberapa tahun belakangan ini, menunjukkan bahwa  isu moderasi beragama bukan hanya aspek idiologis, tetapi juga soal sosial dan politik di negeri ini.

Masuknya kegiatan moderasi beragama ke dalam Agenda Pembangunan Nasional yang tertuang dalam RPJMN 2020-2024, banyak membuat pihak yang sewot, mau apalagi Kementerian Agama yang dipimpin oleh Gus Menteri Yaqut.

Tak heran dalam beberapa waktu terakhir ini beberapa pernyataan Menteri Agama menjadi isu tidak produktif misalnya geger Menteri Agama mengakui agama Bahai, melindungi kelompok syiah dan ahmadiyah, dan terakhit tentang pengaturan Adzan.
 
Sebatulnya moderasi beragama bukan untuk mengacak acak bentuk bentuk keberagamaan kita, justru dengan moderasi beragama memberikan batasan agar ekspresi keberagamaan kita tidak melanggar keberagamaan pihak yang  berseberangan.

Moderasi beragama mendapat momentum dengan mulai banyaknya isu-isu intoleransi yang dilakukan oleh oknum oknum msyarakat baik yang disebabkan oleh konflik antar maupun intern umat beragama di Indonesia.

Suara Adzan

Suara adzan sebagai sebuah fenomena sosial di negeri ini difahami sebagai ritual keagamaan yang telah mentradisi dalam masyatakat di Indonesia. Tidak ada yang mempermasalahakan terhadap tradisi adzan di muka bumi Indonesia tercinta ini.

Malah kita semua dikagetkan dengan unggahan artikel di sebuah media barat berjudul “Kesalehan atau hiruk pikuk? Indonesia Mengatasi Reaksi Volume Azan” pada Kamis, 14 Oktober 2021, AFP menyebutkan bahwa pengeras suara dari sebuah masjid di Jawa Barat yang menyebabkan gangguan kecemasan. Apa yang diungkapkan dalam artikel tersebut adalah berkaitan dengan suara keras yang mengganggu warga non-muslim yang ada di sekitar masjid.
 
Aturan tentang penggunaan pengeras suara di masjid sebenarnya telah diatur dalam Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Nomor KEP/D/101/1978 tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar, dan Mushalla.

Beberapa hal yang diatur secara tehnis dalam lampiran instruksi tersebut disebutkan syarat-syarat penggunaan pengeras suara, antara lain tidak boleh terlalu meninggikan suara doa, zikir, dan salat, serta bacaan Al-Quran maupun tarhim boleh diputar maksimal 15 menit sebelum datang waktu salat. Aturan ini telah berlangsung sudah bertahun tahun dan tidak ada yang mempermasalahkan bahkan menuduh Dirjen Bimas Islam non-toleran.

Ketika aturan yang sama dikeluarkan oleh Menteri Agama RI, justru datang kontroversi dan bahkan tuduhan kebencian penistaan agama sebagaimana kita dengan belakangan ini. Tidak hanya menjadi bahan perdebatan di media sosial, tetapi sampai melaporkan Menteri Agama ke Bareskrim Polri dengan tuduhan penistaan agama.

Memoderasikan Keberagamaan

Isu penistaan agama yang dituduhkan kepada Menteri Agama RI merupakan isu yang jelas dilatarbelakangi oleh pemahaman yang sempit terhadap pernyataan yang disampaikan Gus Menantri. Mungkin benar pernyataan David Little (2007) dalam Peace Makers in Action Profile of Religion in Conflic Resolution,  yang menyatakan bahwa agama bisa menjadi sumbser konflik dan juga bisa menjadi sumber perdamaian.

Moderasi beragama sebagai program kementerian agama yang diusung oleh Gus Menteri yang sejatinya untuk memberikan rasa perdamaian dan persaudaraan, malah dijadikan sebagai jalan untuk menuduh Menteri Agama menjadi penista agama. Untuk itu perlu pemahaman yang integral terhadap toleransi dan moderasi beragama.

Moderasi beragama berbasis pada komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan dan pengembangan nilai nilai local wisdom. Melalui empat hal ini, diharapkan  dalam kehidupan berbangsa terjadi keharmonisan dalam kehidupan masyarakat majemuk yang berkeadilan. 

Meski kita berbeda suku bangsa, beda agama, dan beda latar belakang tetapi kita tetap satu bangsa, bangsa Indonesia. Tak ada lagi saling curiga bahkan menuduh yang lain telah melecehkan suku, bahasa bahkan pelecehan agama.

Tuduhan terhadap Menteri Agama menyamakan suara adzan dan gonggongan anjing merupakan tuduhan yang sangat anarkis dan mengarah pada disintegrasi bangsa. Bantahan Menteri Agama baik yang dilakukan oleh Gus Menteri maupun melalui bantahan yang disampaikan oeleh pelaksana tugas (Plt) Kepala Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama, Thobib Al Asyhar, jelas jelas menyatakan bahwa Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas tidak menyamakan Adzan dan gonggongan anjing. Semoga kasus ini cepat berlalu.