Oleh : Drs. H. Helmi Hidayat, MA
Suatu hari, seorang lelaki dari Bani Israel datang kepada Musa AS lalu bertanya adakah orang yang lebih pandai dibanding nabi pembelah laut itu? Musa tercenung sebentar, tapi kemudian menjawab cepat: “tak ada!” Siapa yang lebih pandai dibanding Musa, lelaki yang pernah diajak bicara langsung oleh Allah SWT di Gunung Tursina?
Usai Musa bersikap seperti itu, Jibril AS turun lalu menegurnya. Ia menyuruh Musa melihat burung terbang rendah lalu menyambar sejumput air laut. “Engkau lihat burung dan setetes air yang disambarnya itu? Ilmu yang Engkau miliki mirip setetes air di paruh itu, sedang lautan adalah ilmu Allah yang tak terbatas.”
Agar tahu diri, Musa diminta bertemu seorang lelaki di pinggir laut. Jibril berjanji, dari lelaki itulah Musa akan tahu seberapa dalam ilmu yang dimilikinya.
Kisah di atas hanyalah salah satu dari banyak versi yang menjelaskan mengapa Musa, dalam Al Quran surat Al-Kahfi ayat 60 – 82, diceritakan bersusah payah menemui lelaki berilmu yang menetap di pinggir laut. Saat ditemukan, lelaki itu sejatinya enggan ditemani Musa. Dia sangat tahu Musa tak akan sabar bersamanya. Tapi, karena Musa ngotot, akhirnya lelaki itu membolehkannya dengan syarat, Musa tak boleh banyak tanya.
Al-Quran kemudian menceritakan, Musa memang tak bisa bertahan lama menyimpan rasa penasaran. Musa melambangkan logika yang meledak-ledak. Dia segera protes ketika lelaki ini justru melubangi perahu yang mereka tumpangi secara gratis, atau ketika tiba-tiba dia mencekik remaja yang lewat.
Terakhir dia malah memperbaiki rumah yang nyaris roboh di sebuah desa, padahal semua penduduk di desa itu bakhil, menolak rumah mereka ditumpangi. Langit kemudian menjelaskan alasan ketiga kelakuan aneh itu dan Musa kemudian sadar, dia bukan apa-apa dibanding lelaki misterius ini.
Lelaki yang diceritakan dalam Al Quran ini memang harus disebut “misterius”. Pertama, harap dicatat, Al-Quran sama sekali tidak pernah menyebut nama lelaki ini secara eksplisit. Padahal, kitab suci ini tidak segan menyebut tokoh-tokoh antagonis semisalnya Haman, jenderal perang Firaun, atau Qarun, konglomerat di zaman Musa.
Kedua, nama lelaki misterius dalam surat Al-Kahfi itu baru kita ketahui dari hadis Nabi SAW, itu pun disebut “Khidir”. Ini tentu menimbulkan pertanyaan fundamental sebab kata “khidir” dalam bahasa Arab berarti “hijau”.
Jadi, Musa sebenarnya diminta oleh Jibril menemui lelaki bernama Hijau. Jika pun dia seorang nabi, namanya pasti Nabi Hijau. Ulama klasik sejak awal sudah berbeda pendapat apakah lelaki itu seorang nabi atau bukan? Jika dia dianggap nabi, siapa umatnya? Bukankah seorang nabi seharusnya hidup di antara masyarakat, bukan hidup sendirian di pinggir laut?
Pertanyaan berikutnya malah lebih fundamental: apakah pertemuam Musa dengan lelaki ini sungguh nyata? Atau kisah pertemuan Musa dengan lelaki itu sebenarnya hanya sebuah alegori untuk dijadikan i’tibar oleh orang-orang berpikir bahwa logika (Musa) tak bisa menandingi intuisi (Khidir).
Bagi yang berpendapat bahwa kisah Musa-Khidir adalah faktual, itu sah-sah saja. Faktanya Al-Quran memang menceritakan kisah itu secara detil. Tafsir ini paling mudah diterima oleh mayoritas umat Islam. Tapi, jika ada orang berpendapat kisah itu hanya sebuah alegori, itu juga sah-sah saja. Misalnya dia tak bisa membayangkan, benarkah ada seorang nabi tiba-tiba memanggil seorang remaja yang lewat di depannya, kemudian -- keeeeek! Remaja itu menggelepar lalu tewas dicekiknya.
Tafsir adalah buah logika. Ia boleh dipercaya boleh tidak, namanya saja tafsir. Buat seorang literalis, kisah perjumpaan Nabi Musa dan Nabi Hijau sulit dianggap sekadar alegori sebab kisah mereka sangat detil diungkap Al-Quran. Tapi, buat penggemar tasawuf, tafsir alegoris ini malah menambah kekaguman mereka pada Al-Quran.
Fakhruddin Ar-Razi (1149-1209), dalam kitabnya “At-Tafsir al-Kabir lil-Quranil Karim”, memang tidak secara eksplisit menyatakan tokoh Khidir tidak faktual. Tapi, saat menjelaskan kisah pertamuan Musa dan Khidir, ia mengibaratkannya sebagai pertemuan dua lautan ilmu; yang satu lautan logika, satu lagi lautan intuisi. Pertemuan epistemologi keduanya tidak hanya melahirkan ilmu baru, tapi juga pengalaman tasawuf tingkat tinggi.
Jika terlalu sulit memahami epistemologi ini, simak ilustrasi ini: Anda mungkin pernah mengalami kejadian ini. Suatu hari Anda hendak keluar kota naik pesawat bersama istri atau suami, tapi pasangan Anda dandan lelet sekali. Anda gusar sejak dari rumah. Gara-gara dia, sangat mungkin Anda terlambat tiba di bandara. Di jalan Anda marah-marah pula, apalagi jalanan macet.
Nah, ketika sampai di bandara Anda mendapatkan apa yang Anda khawatirkan sungguh terjadi, pesawat telah take off, rasanya Anda ingin berantem dengan Dasamuka. Marah luar biasa!
Tapi, satu jam kemudian, Anda ternganga melihat semua stasiun televisi menyiarkan berita menggemparkan. Pesawat yang tadi meninggalkan Anda ternyata jatuh menabrak gunung. Ya Allah, untung tadi terlambat, kata Anda. Untung tadi istri atau suami Anda lelet. Untung tadi jalanan macet. Untung tadi pakai nyasar segala …. Untung ....
Dalam kondisi seperti itu sesungguhnya Anda sadar, logika Anda salah. Jika Anda menyadari bahwa kalkulasi logis Anda dikoreksi oleh fakta yang datang kemudian, seperti logika Nabi Musa dikoreksi oleh intuisi Nabi Hijau, Anda sebenarnya telah menggabungkan dua samudera ilmu sebagaimana dilakukan Musa. Anda sudah keluar dari kerangkeng akal rendah menuju akal murni, dari logika matematis menuju logika intuitif yang lebih mencerahkan.
Jagalah terus sikap ini sampai kapan pun, terutama ketika Anda mengalami sial dalam hidup. Percayalah, jiwa Anda akan seluas samudera jika mempertahankan sikap legawa ini. Jangan mengutuk atau mengumpat kesialan itu, tapi katakan: “Setiap perbuatan Allah pasti ada hikmahnya.” Lalu sabarlah ...
Apakah tafsir seperti ini terlalu berat untuk dinisbatkan pada alegori pertemuan Nabi Musa dan Nabi Hijau? Jika tafsir ini terlalu berat, apalagi ini menyangkut materi dalam kitab suci yang sangat rawan, para wali di tanah Nusantara kemudian menyampaikannya dalam bentuk pertemuan Bima Sakti dengan Dewa Ruci.
Alkisah, Pandhawa Lima bersama 100 Kurawa menimba ilmu pada guru yang sama, Resi Durna atau Kumbayana. Kurawa sangat sadar, tahta kerajaan Astina yang saat itu diduduki ayah mereka, Prabu Destrarastra, sebenarnya hanya titipan Prabu Pandu Dewanata, ayah Pandhawa. Tahta itu harus dikembalikan jika Pandhawa telah dewasa. Kurawa kemudian mencari berbagai strategi untuk melenyapkan Pandhawa.
Paman mereka, Harya Sangkuni alias Arya Suman, lalu membujuk Resi Durna untuk membantu Kurawa. Mereka lalu fokus membunuh Raden Wrekudara alias Arya Bimasena dan Raden Janaka alias Harjuna. Jika kedua tokoh sakti ini tewas, kisah Pandhawa tinggal kenangan.
Resi Durna lalu memerintahkan Bima mencari air kehidupan "Tirta Prawitasari" di hutan Tibaksara di kaki gunung Reksamuka. Ibu dan saudara-saudaranya sudah mengingatkan bahwa perintah Durna itu sangat mungkin hanya jebakan Sangkuni. Tapi, Bima sangat patuh pada titah gurunya. Hutan Tibaksara diacak-acak, Rukmuka dan Rukmakala, dua raksasa penunggu hutan, tewas dibunuh, tapi air kehidupan yang dicari tak ada.
Saat Bima kembali, Resi Durna terkejut sebab selama ini tak ada orang bisa selamat dari hutan Tibaksara. Tapi, Tirta Prawitasari harus ditemukan. Durna kemudian memerintahkan Bima Sakti mencarinya di dasar samudera dengan asumsi Bima kali ini pasti mati sebab tak ada orang bertahan hidup dalam air.
Mirip susah payah Musa saat menemukan Khidir, demikianlah susah payah Bima menemukan Tirta Prawitasari. Dia bahkan harus membunuh seekor Naga dulu sebelum bisa menyelami lautan, sebagaimana Musa harus membunuh egonya dulu saat diberitahu ilmunya hanya setetes air di paruh burung.
Di tengah kesungguhan dan kebingungan mencari air kehidupan itu, di dasar samudera tiba-tiba Bima menemukan makhluk kecil yang persis sama dengan rupa dirinya. Dua raksasa dia bunuh, naga ia taklukkan, tapi Bima selalu gagal mengalahkan makhluk kecil ini. Makhluk itu memperkenalkan diri sebagai Dewa Ruci dan membocorkan rahasia mengalahkan dirinya. “Wahai Bima Sakti, jika kamu ingin mengalahkanku dan menemukan air kehidupan, masuklah ke dalam telingaku.”
Dengan susah payah akhirnya Bima berhasil masuk ke dalam telinga Dewa Ruci, yang sesungguhnya adalah sukma dirinya sendiri. Sesakti apa pun, orang sulit memasuki sukma dirinya sendiri, sebagaimana Musa yang rasional sulit memasuki sukma dirinya sendiri bernama Khidir yang intuitif.
Musa adalah aura merah, Khidir adalah aura hijau.
Pertemuan kedua dimensi berbeda itu berujung pada kalimat yang sangat terkenal di kalangan para sufi, “man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu” -- barangsiapa mengenal dirinya, niscaya ia mengenal Tuhannya.
Indah bukan kisah pertemuan Nabi Musa dengan Nabi Hijau? Menarik bukan kisah pertemuan Bima Sakti dengan Dewa Ruci? Kisah Dewa Ruci sesungguhnya tidak ada dalam babon Mahabarata asal India, tapi para wali di tanah Nusantara menyampaikan kisah Dewa Ruci ini lewat tradisi wayang. Hanya tradisi wayang inilah yang sejak ratusan tahun lalu bisa diterima oleh masyarakat Hindu atau Budha di Nusantara.
Jika pesan di balik kisah pertemuan Musa dan Khidir terlalu berat buat nenek moyang kita saat itu, pesan di balik kisah pertemuan Bima Sakti dan Dewa Ruci justru menenggelamkan mereka dalam keasyikan spiritual. Itulah sebabnya Islam mudah diterima nenek moyang kita di Nusantara sejak ratusan tahun silam sebab pesan-pesan moralnya mudah ditransmisikan lewat tradisi wayang.
Sampai di sini saya heran jika ada ustaz mengharamkan wayang!