Oleh : Asad Said Ali
Bendungan Bener, Purworejo adalah proyek strategis nasional, satu dari 15 proyek yang sedang dan akan dibangun. Proyek itu sekali gus juga “ mega proyek “ dimana ketinggiannya mencapai 159 m atau tertinggi di Asia dan mampu mengairi lebih 15 ribu ha sawah, tenaga listrik dan air minum untuk 4 kota yang berdekatan. Rencana pembangunan selama lima tahun dan menurut rencana pada 2023 akan rampung.
Megaproyek strategis tersebut seharusnya menjadi kebanggaan masyarakat Purworejo, bukan hanya dilihat dari aspek besarnya manfaat ekonomi termasuk untuk tujuan turisme manca negara, tetapi kelak akan menjadi ikon Purworejo dan terkenal diseluruh dunia. Bendungan tersebut akan setara dengan bendungan Grand Coulee di Amerika Serikat dan bendungan Tiga Ngarai di Tiongkok yang ramai dikunjungi para pelancong manca negara.
Bukan suatu hal baru, proyek bendungan raksasa mendapat protes keras dalam masa pembangunannya, demikian juga Bendungan Bener. Sepuluh desa disekitar bendungan mendukung, hanya penduduk desa Wadas, itupun sebagian saja yang menolak dengan alasan merusak kelestarian lingkungan dan mengancam sumber mata pencahariannya. Aktivis lingkungan hidup yang biasanya terkoneksi dengan gerakan lingkungan hidup internasional , diduga mempunyai peranan yang tidak kecil.
Memang tidak bisa dihindarkan, dampak negatip pembangunan bagi sebagian masyarakat. Dalam pembangunan suatu proyek, apalagi suatu mega proyek pasti ada masyarakat yang dirugikan, tetapi dalam kasus desa Wadas tampaknya bisa diminimalisir. Pola pendekatan dialogis seperti yang dilakukan Gubernur Jawa Tengah merupakan metode yang tepat. Tentu saja hal tersebut perlu dilanjutkan oleh pejabat dan para politisi lainnya.
Terjadinya benturan fisik antara aparat keamanan dengan kelompok masyarakat yang menolak proyek beberapa waktu yang lalu, sedapat mungkin dihindari karena hal itulah yang dikehendaki para provokator. Sesungguhnya, kehadiran aparat tersebut tidak bertujuan negatip, tetapi dalam rangka pengamanan dalam proses pengukuran tanah yang akan dibebaskan guna penambangan batu andesit dan sekali gus mencegah konflik antara mereka yang pro dan kontra.
Struktur bendungan yang tinggi memerlukan batu andesit dan vital karena dinding dari beton semen saja tidak cukup kuat. Dan batu andesit di desa Wadas dipilih karena lokasinya paling dekat dengan proyek bendungan. Deposit batu andesit desa wadas keseluruhan diperkirakan 40 juta meter kubik dan yang diperlukan oleh proyek hanya 8,5 juta meter kubik saja.
Penolakan pembangunan megaproyek bendungan Narmada di India , mengilhami para aktivis lingkungan hidup internasional untuk berusaha menggagalkan proyek bendungan besar. Tokoh yang berada digaris depan gerakan tersebuy adalah Arundhati Roy penulis dan feminis India. Alasannya adalah demi menjaga kelestarian lingkungan hidup dunia, tetapi tanpa memperdulikan manfaatnya atau kesejahteraan bagi masyarakat suatu negara . Hal demikian bisa dianggap sebagai bagian dari “ proxy war “ dalam bentuk soft power.
Kita juga mempunyai pengalaman adanya campur tangan asing yang memanfaatkan para aktivist dalam menggagalkan pembangunan bendungan Kedungombo pada era Orde baru. Pengalaman yang dapat diambil adalah jangan sampai terjadi aksi kekerasan atau tekanan yang berlebihan terhadap mereka yang menolak proyek. Seperti kasus Kedungombo, dam atau bendungan Bener juga mendapat sorotan dari pegiat lingkungan hidup internasional.
Hanya sebagian warga desa Wadas yang sampai saat ini masih menolak proyek bendungan karena belum yakin manfaatnya dan sebaliknya mengkhawatirkan masa depan mereka. Disamping itu,masyarakat desa Wadas juga belum yakin bahwa rencana proyek pembangunan kawasan wisata di area bekas tambang batu andesit akan melibatkan warga.Pendekatan dan dialog dengan warga desa Wadas hendaknya tetap dikedepankan. sedapat mungkin terus berlanjut. Dan tidak kalah penting adalah membangunkan kembali jiwa patriotisme yang diwariskan pahlawan nasional Kyai Mojo, tokoh Purworejo dalam perang Diponegoro.