Abu Nawas Menjual Agama

   Ilustrasi gambar Abu Nawas

Malam ini tekad Abu Nuwas sudah bulat, besok pagi dia ingin menjual agamanya! 

Esok pagi, ketika pasar Musayyib di Baghdad Selatan mulai ramai, Abu Nuwas terlihat menghampiri toko demi toko, menyusuri lorong demi lorong, menjajakan agamanya. Hampir semua toko dia masuki meski setelah itu setiap penunggu toko melongo menatap Abu Nuwas. 

‘’Toko ini menjual agama?’’ begitu selalu Abu Nuwas bertanya. 

Biasanya penjaga atau pemilik toko geleng-geleng kepala, heran. 

‘’Kalau Anda tidak menjual agama, saya ingin menjual agama saya. Berminat?’’

‘’Saya kira Anda sudah sinting, Abu Nuwas,’’ selalu begitu jawaban para pemilik toko. 

Abu Nuwas selalu tersenyum setiap ada yang menuduh dia sinting. Jika dia terlihat segera pergi meninggalkan toko, itu tanda dagangannya tidak laku. Tapi, pujangga ini tak kenal lelah. Dia segera pergi ke toko lain, lalu kembali menawarkan barang dagangannya. ''Agama ... agamaaa, ada yang mau beli agama?'' 

Akibatnya pagi itu pasar geger. Sesama pedagang di pasar berkasak-kusuk lalu menuduh Abu Nuwas gila. Banyak juga yang menuduhnya sudah jadi atheis. Mereka berpikir, bagaimana mungkin Abu Nuwas bisa menyembah Tuhan jika dia tak punya agama lagi? 

Akhirnya, mereka bersepakat membekuk penyair Baghdad itu untuk diserahkan kepada Khalifah Harun Al-Rasyid. Maklum, menurut konstitusi yang berlaku di Baghdad, atheisme sangat dilarang. 

Dengan tangan diikat, Abu Nuwas digeret ke istana. Orang-orang di pasar bahkan hampir memukuli penulis syair berjudul ‘’Al-Firdaus’’ itu atas tuduhan atheisme. Khalifah tentu saja kaget melihat Abu Nuwas digiring massa dengan tangan terikat. Benarkah penyair kesayangannya itu tertangkap basah mencopet di pasar, pikir khalifah. 

Ketika massa pulang, Harun Al Rasyid tak sabar ingin tahu apa yang terjadi pada pujangga yang dia kagumi itu. Didampingi beberapa qadhi istana, Abu Nuwas dibawa ke ruang tengah untuk diperiksa oleh Khalifah. 

'’Apa yang terjadi, Abu Nuwas?’’ tanya khalifah tak sabar. 

‘’Paduka Yang Mulia, mereka menangkap saya karena saya ingin menjual agama saya di pasar, lalu mereka marah. Itu saja,’’ jelas Abu Nuwas sangat tenang.

Khlaifah sebenarnya juga kaget mendengar penjelasan Abu Nuwas, tapi dia pura-pura tenang. ‘’Kalau Anda ingin menjual agama Anda sendiri, mengapa mereka marah?’’ 

‘’Jika saya menjual agama saya sendiri, mereka berpikir saya tak lagi punya agama. Jika saya tak lagi punya agama, mereka menyimpulkan saya tak bisa salat lagi. Jika saya tak bisa salat lagi, mereka menyimpulkan berarti saya tak punya Tuhan. 

Jika saya tak punya Tuhan, mereka berpendapat kalau begitu saya atheis. Begitu cara pengadilan jalanan berlangsung, Paduka. Atas vonis mereka itulah sekarang saya digiring ke istana,’’ jelas Abu Nuwas. 

Khalifah Harun Al-Rasyid tertegun mendengar penjelasan Abu Nuwas. Diam-diam dia hampir membenarkan logika rakyatnya, tapi  dia ingin mendengar sendiri apa jawaban Abu Nuwas atas tuduhan orang-orang di pasar itu. Harun tahu kecerdikan penyair satu ini. 

Makanya khalifah bertanya lagi: '’Saya mencoba paham jalan pikiran orang-orang di pasar itu, wahai Abu Nuwas.  Jika Anda tak punya agama lagi karena sudah Anda jual, bagaimana cara Anda menyembah Allah?’’ 

‘’Bagaimana cara saya menyembah Allah. Ya saya salat di masjid, paduka,’’ jawab Abu Nuwas cepat. 

‘’Kok dengan cara salat? Kok di masjid? Bukankah itu cara orang Islam beribadah? Berarti Anda masih beragama, padahal Anda sendiri sudah menjual agama. Jangan mempermainkan saya Abu Nuwas,’’ tanya Harun Al Rasyid mulai naik pitam. 

‘’Kalau begitu, saya balik bertanya paduka khalifah yang mulia, apa sebenarnya agama menurut paduka?’’

Khalifah Harun Al-Rasyid kemudian menjawab bahwa agama adalah seperangkat ajaran yang datang dari Langit, yang mengajarkan seluruh umat manusia untuk salalu berbuat baik. Mengganggu orang lain, sekecil apa pun, adalah tidak baik. Jika setiap orang beragama berbuat baik, maka tatanan hidup bersama umat manusia akan baik dengan sendirinya.