PERINGATAN HARI SANTRI NASIONAL DAN UNDANG UNDANG CIPTA KERJA KLASTER PENDIDIKAN


 Penulis sedang Wawancara dengan Ketua Tanfidziyah PWNU Lampung 
Prof. Dr. KH. Moh. Mukri, M.Ag menyambut Peringatan Hari Santri Nasional 2020

Oleh :

Makut Candranegara, M.Pd.

Wakil Sekretaris PWNU Lampung

Presiden Joko Widodo telah resmi menandatangani Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015 tentang penetapan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional, namun bukan sebagai hari libur nasional. Keppres tersebut ditandatangani Jokowi pada hari Kamis tanggal 15 bulan Oktober 2015.

Kepres Hari Santri Nasional ini merupakan wujud dari janji Presiden Jokowi saat kampanye Pemilu Presiden tahun 2014,  Jokowi menyampaikan janjinya untuk menetapkan satu hari sebagai Hari Santri Nasional. Namun, ketika itu, Jokowi mengusulkan tanggal 1 Muharam sebagai Hari Santri Nasional.

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), punya pendapat berbeda tentang tanggal yang tepat dijadikan Hari Santri Nasional bukanlah 1 Muharam, melainkan pada tanggal 22 Oktober. Pada tanggal tersebut, merupakan awal perjuangan santri dalam merebut kemerdekaan memiliki landasan yang kuat.

Sebagaimana yang pernah disampaikan Ketua Umum PBNU KH. Said Aqil Siradj, tanggal 22 Oktober 1945 merupakan tanggal ketika Hadratussyeh KH. Hasyim Asy'ari mengumumkan fatwanya yang disebut sebagai Resolusi Jihad. Resolusi Jihad yang lahir melalui proses musyawarah mufakat ratusan kiai dari berbagai daerah guna merespons agresi Belanda kedua. Resolusi itu memuat seruan bahwa setiap Muslim wajib memerangi penjajah. Para pejuang yang gugur dalam peperangan melawan penjajah pun dianggap mati syahid.

Di Surabaya kedatangan pasukan sekutu yang tak lain pasukan Inggris, mendapatkan reaksi keras dari masyarakat setempat. Rakyat dengan seluruh lapisan golongan menyatakan siap melakukan pertempuran bersenjata untuk mempertahankan keutuhan kedaulatan negara. Pembelaan negara adalah hak dan kewajiban setiap warga negara.

Dengan kekuatan seluruh rakyat Surabaya termasuk para ulama dan santri yang ada di seluruh Pondok Pesantren, akhirnya bersatu padu membentuk sekumpulan masa guna melawan pihak tentara sekutu dan NICA.

Nahdlatul Ulama sebagai organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Indonesia, juga langsung tanggap terhadap kondisi kedaulatan negara yang sudah sangat terancam tersebut. Kantor Pusat Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang pada saat itu berada di Jalan Bubutan IV Surabaya menjadi yang sangat rentan terhadap ancaman akibat kedatangan pasukan sekutu di Surabaya. Hal ini diperparah dengan perilaku pasukan sekutu yang menyinggung perasaan umat Islam pada waktu itu, hingga pada akhirnya, Rois Akbar Hadrotus Syeh K.H. Hasyim Asy’ary membacakan sendiri hasil keputusan dan tanggapan dari ratusan para kiai yang tergabung dalam organisasi Nahdlatul Ulama terhadap kondisi bangsa dan negara, yaitu Resolusi Jihad.

Resolusi yang dibacakan pada tanggal 22 Oktober 1945 ini berisi pernyataan bahwa perjuangan mempertahankan kemerdekaan hukumnya adalah wajib ‘Ain bagi umat Islam, dan perang mempertahankan kemerdekaan adalah perang suci (jihad fisabilillah).

Kabar munculnya Resolusi Jihad menjadikan masyarakat Surabaya terbakar semangat untuk ikut berjuang melawan penjajah. Akhirnya dalam tempo yang singkat seruan jihad untuk melawan penjajah meluas hingga keluar Surabaya dan akhirnya sampai kepada para ulama dan santri. Mereka yang mengetahui kabar tersebut langsung tergerak hatinya ikut berjuang melawan pasukan sekutu yang masuk ke Indonesia.

Para ulama dan santri kemudian berjuang dengan sangat gigih dan tanpa rasa takut untuk menghadapi pasukan tentara sekutu yang pada waktu itu datang dengan perlengkapan dan senjata yang sudah modern. Namun mereka ini tidak memiliki rasa takut ataupun gentar sedikitpun walau taruhannya adalah nyawa mereka, hal ini demi mempertahankan kemerdekaan NKRI agar tidak jatuh lagi ketangan para penjajah.

Tujuan dari resolusi jihad tersebut antara lain untuk menggerakkan para santri, pemuda, dan masyarakat agar bergerak bersama, berjuang melawan pasukan kolonial yang puncaknya adalah terjadi pada tanggal 10 November 1945.

Saat itu, KH Hasjim Asy’ari menyerukan jihad dengan mengatakan bahwa “Membela tanah air dari penjajah hukumnya fardlu ‘ain atau wajib bagi setiap orang.” Seruan ini mampu membakar semangat para santri di Surabaya untuk menyerang Markas Bridge 49 Mahratta pimpinan Brigadir Jenderal Aulbertin Walter Sothern Mallaby.

Pada pertempuran tersebut, Jenderal Mallaby tewas dalam pertempuran yang berlangsung tiga hari berturut-turut. Pertempuran itu terjadi pada tanggal 27, 28, dan 29 Oktober 1945. Jenderal tersebut tewas bersama pasukannya sebanyak +/- 2.000 pasukan. Peristiwa tersebut menyulut kemarahan angkatan perang Inggris, yang akhirnya berujung pada Peristiwa 10 November 1945.

Kendatipun penetapan Hari Santri Nasional dilatarbelakangi oleh resolusi jihad yang diserukan oleh KH Hasyim Asy’ari yang merupakan pendiri NU, akan tetapi peringatan ini tidak dimaksudkan hanya untuk sekelompok atau golongan tertentu saja. Peringatan Hari Santri Nasional di Indonesia harus dimaknai sebagai upaya meningkatkan rasa nasionalisme di seluruh kalangan umat Islam yang sudah ada sejak zaman penjajahan dulu.

 

Peran umat Islam sendiri pada masa penjajahan dapat terlihat dari banyaknya pahlawan yang melandaskan perjuangannya atas dasar agama Islam. Banyak para kiyai atau para pemuka agama Islam dan raja-raja Islam yang turun dan memimpin peperangan melawan para penjajah. Peran organisasi-organisasi Islam juga tidak kalah hebatnya dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Organisasi tersebut misalnya Sarikat Dagang Islam (SDI) dan Sarikat Islam (SI).

UU Cipta Kerja Klater Pendidikan

Salah seorang Pengamat pendidikan Budi Trikorayanto (Kontan.co.id, 20/08/2020) memberikan penilaian tentang UU Cipta Kerja Klaster Pendidikan, bahwa dengan masuknya undang-undang sistem pendidikan nasional (Sisdiknas) ke dalam Omnibus Law Cipta Kerja akan memberikan perubahan bagi pendidikan di Indonesia. Terutama poin mengenai kemudahan masuknya lembaga pendidikan asing dan pengajar asing, akan mampu memacu lembaga pendidikan dan pengajar lokal untuk tingkatkan mutu dan kualitasnya. Dimana Karena selama ini kualitas guru Indonesia memang diakui belum sepenuhnya bagus. Dari uji kompetensi yang digelar pemerintah setiap tahunnya, hanya ada 30% guru yang mendapatkan nilai bagus, sisanya masih kurang.

Meskipun lembaga pendidikan dan pengajar asing akan dimudahkan masuk ke Indonesia, namun pemerintah tetap harus melakukan filter yang berpatokan pada Pancasila.

Lembaga asing yang masuk ke Indonesia tentu perlu di filter, filter pertama itu yang penting berkaitan dengan ideologi jadi jangan nyebarin radikalis jangan nyebarin liberalisme dan sebagainya, nah Pancasila sebagai filter utama kita.

Inilah sejarah Hari Santri Nasional  di Indonesia. Semoga peringatan hari santri dapat dimaknai dengan baik oleh umat Islam maupun umat non Islam di Indonesia. Semoga artikel ini bermanfaat. (mcn)