Pendidikan di Ujung Timur Indonesia


Covid-19 telah mengubah pandangan dunia termasuk indonesia. Hal-hal yang dulunya dianggap tabu perlahan menjadi hal yang lumrah. Justru hal yang lumrah seakan menjadi tabu di saat sekarang ini. Fenomena yang ditimbulkan oleh pandemi covid-19 pelan tapi pasti menciptakan adaptasi kebiasaan baru yang suka tidak suka, mau tidak mau harus dijalankan oleh semua orang termasuk guru di Indonesia.

Beberapa tahun belakangan ini, guru-guru senantiasa digenjot untuk lebih maksimal dalam pemanfaatan TIK dalam proses belajar dan mengajar. Hal ini bisa kita lihat dari penerapan kurikulum 2013 yang mengintegrasikan TIK dalam setiap mata pelajaran. Namun, kebijakan ini tidak sepenuhnya berjalan maksimal. Berbagai hambatan dan rintangan turut menjadi tantangan yang mewarnai kebijakan ini. Tantangan yang utama adalah kemampuan menggunakan TIK itu sendiri serta sarana dan prasarana yang dianggap belum dimiliki oleh semua guru.

Pengalaman 2013/2014 silam saat mendidik di daerah 3T (Terdepan, Terluar, dan Tertingal), sebagian wilayah Terluar Indonesia belum memiliki fasilitas yang mumpuni. Ketersediaan listrik serta jaringan seakan menjadi hal yang mewah di tengah kemerdekaan Indonesia yang sudah memasuki usia 67 tahun. Seperti inikah cita-cita para pendiri bangsa yang tertuang dalam UUD 1945 "...dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa...". Tentu ini menjadi refleksi bagi saya saat ini ketika berstatus sebagai seorang guru bantu yang diutus melalui program SM-3T.H

Hal yang remeh dan biasa saja di tempat kita menjadi hal yang luar biasa bagi mereka. Bagaimana bisa kita menyusul ketinggalan kita dengan bangsa lain sementara saudara kita di Timur sana justru kita tinggalkan. Wajar saja jika mereka sering menuntut keadilan yang kemudian dibesar-besarkan oleh media. Pengalaman saya sendiri sebelum ke Papua, banyak cerita yang tak sesuai dengan faktanya. Yang semuanya terjawab setelah saya sampai ke tempat ini.K

Kita memang lebih mementingkan cover dari isinya. Kita sering mengambil kesempulan dari sebuah buku hanya dari sampulnya tanpa membaca isinya. Begitupun dengan stigma yang sering kita lekatkan pada saudara kita yang belum kita kenal. Hitam tak selalu berhubungan dengan kegelapan hati, begitupun putih tak selalu berhubungan dengan kebersihan jiwa. Kata yang selalu saya ingat dari kepala kampung saat itu, Pak guru, kitong memang hitam, tapi hati putih.

Setahun di sana menjadi pengalaman berarti bagi saya. Toleransi yang masih dipertahankan baik. Hal menarik lainnya adalah apresiasi yang besar terhadap guru. Saya yakin, jika Papua mendapat kesempatan yang sama dengan wilayah lain, bukan tidak mungkin 10 tahun kedepan mereka akan lebih baik dari wilayah lain di Indonesia. Pemenuhan guru, pembangunan sarana dan prasarana yang sama akan menjadikan pendidikan di Indonesia timur dapat berdiri sejajar dengan saudaranya Indonesia Tengah dan Indonesia Barat yang nantinya bisa menjadi Indonesia seutuhnya.

Melalui momen yang diberikan oleh Pandemi covid-19, mari kita ciptakan peluang dibalik ujian yang dialami oleh seluruh dunia. Kesempatan pemerintah melakukan pemerataan di sektor pendidikan. Melakukan pemetaan wilayah-wilayah yang belum terjangkau Jaringan dan listrik harus menjadi skala prioritas percepatan pembangunan. Yang pada akhirnya nanti, setelah pandemi ini berakhir, mereka juga mampu merasakan hal yang sama di kota-kota besar.