Awal Mula Paham Ke-Islaman yang Berkembang di Indonesia

Para ahli sejarah sepakat bahwa penyebaran agama Islam di Indonesia berlangsung dengan cara damai dan dalam waktu yang relatif singkat sudah menjadi agama sebagian besar masyarakat. Akselerasi penyebaran agama Islam di bumi nusantara terjadi karena ajaran tauhid yang menjadi inti doktrin keimanan Islam menempatkan manusia dalam kedudukan yang sama (musawah) dan bebas dari penghambaan terhadap sesama makhluk (hurniyah). Prinsip ini merupakan ajaran baru yang bertentangan dengan kondisi nilai masyarakat ketika itu dan dapat membebaskan mereka dari belenggu pembagian manusia dalam kelas-kelas sosial yang berdasarkan keturunan.

Selain itu cara, perilaku dan sikap para mubaligh yang arif dan bijaksana menarik simpati masyarakat untuk memeluk agama Islam. Para mubaligh dengan sangat hati-hati melakukan  dakwah secara bertahap (tadrij) dan sejauh mungkin memperkecil beban yang bisa dirasakan masyarakat (taqlilut taklif). Disamping itu mereka menghormati adat, tradisi dan nilai-nilai yang sudah ada dan menjadi milik masyarakat.

Ada beberapa prinsip yang mendasari sikap ini, antara lain :
  • Nilai lama yang secara diamentral bertentangan dengan akidah disikapi dengan cara menolaknya disertai dengan alasan yang kuat.
  • Nilai lama yang tidak sesuai dengan syariat Islam diluruskan secara bertahap
  • Nilai lama yang tidak bertentangan ajaran Islam dibiarkan termasuk keberadaannya dan diwarnai dengan nafas Islam sehingga menjadi budaya yang Islami.
Memperhatikan sikap dan perilaku dakwah yang dilakukan oleh para mubaligh Islam di Indonesia sebagaimana terurai di atas diketahui bahwa dakwah Islam dilakukan dengan sikap moderat (tawassuth), toleran (tasamuh) dan keseimbangan (tawazun). Sikap dan perilaku ini merupakan watak (karakteristik) umum penganut paham Ahlussunnah wal Jama’ah. Dengan demikian diketahui bahwa paham  keagamaan yang berkembang di Indonesia pada masa permulaam adalah “Ahlussunnah Wal Jama’ah”.

Perkembangan Islam yang berhaluan Ahlussunnah wal Jama’ah ini bertambah pesat ketika para generasi penerus (kader mubaligh) mengembangkan strategi dan pendekatan penyebaran Silam melalui lembaga pesantren. Sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia, pesantren berperan sebagai pusat pendalaman pemahaman ajaran Islam (tafaqquh fiddin) dan dakwah Islamiyah secara lebih sistematis dan terarah. Pada tahap-tahap permulaan, pesantren lebih memfokuskan perhatiannya pada upaya pemantapan tauhids (akidah), kesadaran beribadah (fikih) dan pembinaan akhlakul karimah (tasawuf). Ketiganya diajarkan dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga melahirkan pemahaman dan pengalaman agama yang utuh dan lurus.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dipastikan bahwa paham keagamaan Islam yang berkembang di Indonesia pada masa permulaan adalah Ahlussunnah wal Jama’ah berintikan madzhab Syafi’i. Ada beberapa bukti yang memperkuat kesimpulan tersebut, diantaranya adalah :

Menurut catatan sejarah, pada abad ke-9 Masehi Dinasti Abbasiyah yang berpusat di Baghdad mengirim para muballigh yang terdiri dari para ulama berakidah Ahlussunnah wal Jama’ah bermadzhab Syafi’i dan bertasawuf  mu’tabar ke wilayah Sumatera Utara.
  • Prof. Hamka yang berpendapat bahwa sejak semula perkembangan Islam, para muballigh telah mengajarkan paham Ahlussunnah wal Jama’ah dengan berintikan madzhab Syafi’i. Hal ini dapat diketahui dari gelar raja-raja Samudera Pasai yang memakai gelar para raja Mesir (gelar Al Malik dan dinasti Mamluk) dan Damaskus yang mayoritas penduduknya bermadzhab Syafi’i.
  • Husein Jayadiningrat menghubungkannya dengan bukti-bukti batu nisan di Sumatera Utara dan Gresik, ditambah dengan bukti-bukti umat Islam di Malabar yang menerapkan madzhab Syafi’i seperti halnya di Indonesia.
  • Pada abad XIV Masehi seorang penulis adal Maroko yang bernama Ibnu Bathuthah berkunjung ke kerajaan Samudera Pasai yang sedang diperintah oleh Malikudz  Dhahir, putera Sultan Malikus Salih. Ibnu Bathuthah menyatakan bahwa Islam sudah hampir seabad lamanya berkembang di kerajaan tersebut. Dalam bukunya “Rihlah” Ibnu Bathuthah mengemukakan tentang kesalehan, kerendahan hati dan semangat keislaman dari raja sampai rakyatnya dengan mengikuti madzhab Syafi’i.
  • Dalam babad Cirebon kita dapatkan pula suatu berita tentang perkawinan antara  Syarifah Muda’in dengan Maulana Hud yang dilaksanakan dengan cara-cara madzhab Syafi’i. Dalam babad tersebut juga diceritakan dialog antara Sunan Gunung Jati dengan Raden Panjunan tentang masalah-masalah hukum Agama Islam madzhab Syafi’i.
Selain data-data sejarah tersebut di atas, yang penting bagi kita adalah bagaimana madzhab tersebut diajarkan dan dikembangkan hingga sangat kuat pengaruhnya di Indonesia. Setiap madzhab mempunyai kitab-kitab fiqih sebagai pedoman sekaligus rujukan bagi para pengikutnya. Demikian juga madzhab Syafi’i. Banyak kitab-kitab karya Imam Syafi’i, yang terpenting adalah kitab Al-Umm dan Ar-Risalah. Al-Umm berisi hasil-hasil ijtihad Imam Syafi’i dalam masalah-masalah fiqih, sementara Ar Risalah berisi dasar-dasar Ushul Fiqh yang menjadi dasar pemikiran untuk berijtihad.
     
Dengan merujuk pada karya besar Imam Syafi’i, para ulama pengikutnya menulis beberapa kitab fiqih sebagai bahan pelajaran dalam mengembangkan madzhabnya. Diantara kitab-kitab fikih karya ulama Syafi’iyah adalah At-Tuhfah karangan Ibnu Hajar dan An-Nihayah karangan Imam Ar-Ramli. Keduanya merupakan syarah (penjelasan) dari kitab Minhajut Thalibin karangan Imam An-Nawawi. Dari kitab-kitab tersebut kemudian berkembang penulisan kitab-kitab Fiqih bermadzhab Syafi’i yang sebagaian besar merupakan kompilasi penyelesaian isi kitab terdahulu.

Salah satu tradisi agung (great tradition) dalam proses pengajaran agama Islam di Indonesia adalah tradisi pengajaran agama melalui kajian kitab-kitab klasik di pesantren. Kitab-kitab ini dikenal dengan sebutan “kitab kuning”. Kandungan dari kitab yang diajarkan dipesantren-pessantren Indonesia, khususnya jawa adalah kitab Fiqih madzhab Syafi’i. Bahkan para ulama pesantren sepakat bahwa kitab-kitab fiqih yang dianggap mu’tabar (layak diajarkan) adalah kitab fiqih madzhab Syafi’i. Itulah sebabnya, maka kita lihat ada keseragaman yang diajarkan di pesantren dari dulu hingga sekarang. Dengan pengajaran kitab-kitab fiqih inilah madzhab Syafi’i sangan kuat pengaruhnya di Indonesia.

Disamping kajian terhadap kitab fiqih, pesantren di Indonesia juga mengajarkan kitab-kitab Tashawuf. Dalam hal ini, kitab standar yang dipergunakan adalah kitab karangan Imam Al-Ghazali, seperti Ihya’ Ulumuddin, Bidayatul Hidayah dan masih banyak lagi. Pesantren juga mengajarkan kitab-kitab tauhid (theology) yang sebagian besar adalah kitab-kitab dari para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah dengan mengikuti paham Imam Abul Hasan Al-Asy’ary. Misalnya kitab Ummul Barahin, Kifayatul Awam, Aqidatul Awam dan lain-lain.

Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa paham keagamaan dan madzhab yang masuk ke Indonesia pada masa permulaan adalah Ahlussunnah wal Jama’ah dengan menganut madzhab Syafi’i. Mungkin paham keagamaan dan madzhab lain juga pernah masuk ke Indonesia, akan tetapi tidak bisa berkembang dan lestari di tengah-tengah masyarakat. Tidak diketahui  dengan pasti, mengapa paham keagamaan dan madzhab yang lain itu tidak bisa berkembang . Namun berdasarkan kondisi riil (keadaan nyata) yang berkembang di masyarakat sejak dulu sampai sekarang, madzhab Syafi’ilah yang paling dominan dan sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu, tanpa diskusi yang panjang dapat disimpulkan bahwa sejak semula kaum muslimin Indonesia adalah penganut paham Ahlussunnah wal Jama’ah dengan menganut madzhab Syafi’i. Akan tetapi sebagai masyarakat terpelajar, pe,mbuktian mengenai hal ini tentu memberi peluang untuk dikaji dan dikembangkan terus menerus. Pembuktian tentang aliran dan paham lain yang masuk di Indonesia dan seberapa besar pengaruhnya terhadap perkembangan da’wah islam masih tetap harus di diskusikan.

Apabila dewasa ini di sekitar masyarakat kita terdapat beberapa tokoh yang menganut dan mengembangkan ajaran selain Ahlussunnah wal jama’ah, maka tugas kita adalah meneliti dan mendiskusikan paham dan ajaran mereka. Dengan demikian kita bisa membuktikan posisi dan pengaruh paham Ahlussunnah wal Jama’ah dalam pewrkembangan masyarakat muslim Indonesia. (Pelajaran ASWAJA NU Kelas X)