Al-Imam SARI AS-SAQATHI. Sang Sufi dari Baghdad

Al-Imam Sari As-Saqathi, nama lengkapnya, Abul Hasan Sari bin al-Mughallis as-Saqathi adalah murid Ma’ruf al-Karkhi dan paman Imam Junaid al-Baghdadi. Beliau adalah seorang tokoh sufi terkemuka di Baghdad, beliau hidup sekurun dengan imam Ahmad ibn Hanbal, meninggal pada tahun 253 H/867 M dalam usia 98 tahun.Sarri as-Saqathi adalah orang yang pertama sekali mengajarkan kebenaran mistik dan ”peleburan” (fana) sufi di kota Baghdad. Kebanyakan syeikh-syeikh sufi di negeri Iraq adalah murid-murid Sari as-Saqathi. Beliau pernah bertemu dengan Habib ar-Ra’i.

Pada mulanya Sari tinggal di kota Baghdad di mana ia mempunyai sebuah toko. Setiap hari apabila hendak shalat, digantungkannya sebuah tirai di depan pintu tokonya. Pada suatu hari datanglah seseorang dari gunung Lukam mengunjunginya. Dengan menyibakkan tirai itu ia mengucapkan salam kepada Sari dan berkata: “Syeikh dari gunung Lukam mengirim salam kepadamu”. Sari menyahut; “Si syeikh hidup menyepi di atas gunung dan oleh karena itu segala jerih payahnya tidak bermanfaat. Seorang manusia harus dapat hidup di tengah keramaian dan mengkhusyukkan diri kepada Allah sehingga kita tidak pernah lupa kepada-Nya walau sesaat pun”.

Diriwayatkan, terakhir kali beliau meninggalkan kebiasaan berdagang, yaitu ketika beliau menjual barang-barang bekas. Pada suatu hari pasar kota Baghdad terbakar. “Pasar terbakar!”, orang-orang bertariak. Mendengar teriakan-teriakan itu berkatalah Sari: “Bebaslah aku sudah!” Setelah api reda ternyata toko Sari tidak termakan api. Ketika mendapatkan kenyataan ini Sari menyerahkan segala harta bendanya kepada orang-orang miskin. Kemudian ia mengambil jalan kesufian. Selama berdagang beliau tidak pernah menarik keuntungan melebihi lima persen.

Diriwayatkan, ada seseorang yang bertanya sehubungan beliau berhenti berdagang dan mengambil jalan sufi. “Apakah yang menyebabkan engkau menjalani kehidupan spiritual ini”, Sari menjawab: “Pada suatu hari Habib ar-Ra’i lewat di depan tokoku. Lalu kuberi Habib ar-Ra’i sesuatu agar disampaikan kepada orang-orang miskin. Lantas Habib ar-Ra`i mendoakan diriku ’Semoga Allah memberkahi engkau`,. Setelah itu dunia ini tidak menarik hatiku lagi”.

Dan pada keesokan harinya datanglah Ma’ruf Karkhi beserta seorang anak yatim. ’Berikanlah pakaian untuk anak ini’, pinta Syaikh Ma’ruf kepadaku. Maka anak itu pun kuberi pakaian. Kemudian syaikh Ma’ruf berkata; ’Semoga Allah membuat hatimu benci kepada dunia ini dan membebaskanmu dari pekerjaan ini’. Karena doa Syaikh Ma’ruf al-Karkhi itulah aku dapat meninggalkan semua harta kekayaanku di dunia ini”.

Imam Junaid meriwayatkan. Sari mempunyai seorang saudara perempuan yang pernah meminta izin untuk menyapu kamarnya namun ditolaknya. “Hidupku tidak patut diperlakukan seperti itu”, Sari berkata kepada saudara perempuannya itu.

Pada suatu hari ia memasuki kamar Sari dan terlihatlah olehnya seorang wanita tua sedang menyapu. “Sari, dulu engkau tidak mengizinkan aku untuk mengurus dirimu, tetapi sekarang engkau membawa seseorang yang bukan sanak familimu”.

Sari menjawab: “Janganlah engkau salah sangka. Dia adalah penduduk alam kubur, Ia pernah jatuh cinta kepadaku, namun kutolak. Maka ia meminta izin kepada Allah yang Maha Besar untuk menyertai diriku, dan kepadanya Allah memberikan tugas untuk menyapu kamarku”.

Imam Sari As-Saqothi dan Seorang Seorang Jurutulis Istana

Pada suatu hari ketika Sari sedang memberikan ceramah. Ahmad Yazid si jurutulis Kholifah lewat dengan pakaian kebesaran yang megah diiringi oleh para hamba dan pelayan-pelayannya. “Tunggulah sebentar, aku hendak mendengarkan kata-katanya”, kata Yazid kepada para pengiringnya. “Kita telah mengunjungi berbagai tempat yang membosankan dan yang seharusnya tak perlu kita datangi”. Ahmad Yazid pun masuk dan duduk mendengarkan ceramah Sari.

Sari dalam ceramahnya berkata: “Di antara kedelapan belas ribu dunia itu tidak ada yang lebih lama daripada manusia, dan di antara semua makhluk ciptaan Allah tidak ada yang lebih mengingkari Allah daripada manusia. Jika ia baik maka ia terlampau baik sehingga malaikat-malaikat sendiri iri kepadanya. Jika ia jahat maka ia terlampau jahat sehingga syaithan sendiri malu untuk bersahabat dengannya. Alangkah mengherankan, manusia yang sedemikian lemah itu masih mengingkari Allah yang sedemikian perkasa!”

Kata-kata ini bagaikan anak panah dibidikkan Sari ke jantung Ahmad Yazid, sehingga Ahmad Yazid menangis dan tak sadarkan diri. Setelah sadar ia masih menangis Ahmad Yazid bangkit dan pulang ke rumahnya. Malam itu tak sesuatu pun yang dimakannya dan tak sepatah kata pun yang diucapkannya.

Keesokan harinya dengan berjalan kaki, ia pun pergi pula ke tempat Sari berkhotbah. Ia gelisah dan pipinya pucat. Ketika khotbah selesai ia pun pulang. Di hari yang ketiga, ia datang berjalan kaki, ketika ceramah selesai ia menghampiri Sari.

“Guru, kata-katamu telah mencekam hatiku dan membuat hatiku benci terhadap dunia ini. Aku ingin meninggalkan dunia ini dan mengundurkan diri dari pergaulan ramai. Tunjukkanlah kepadaku jalan yang ditempuh para khalifah”. Kata Ahmad Yazid.

“Jalan manakah yang engkau inginkan”, tanya Sari. “Jalan para sufi atau jalan hukum? Jalan yang ditempuh orang banyak atau jalan yang ditempuh oleh manusia-manusia pilihan?”

“Tunjukkanlah kedua jalan itu kepadaku”, Yazid meminta kepada Sari.

Maka berkatalah Sari: “Inilah jalan yang ditempuh orang banyak. Lakukanlah shalat lima kali dalam sehari di belakang seorang imam, dan keluarkanlah zakat – jika dalam bentuk uang, keluarkanlah setengah dinar dari setiap dua puluh dinar yang engkau miliki. Dan inilah jalan yang ditempuh oleh manusia-manusia pilihan, berpalinglah dari dunia ini dan janganlah engkau terperesok ke dalam perangkap-perangkapnya. Demikianlah kedua jalan tersebut”. Yazid meninggalkan tempat itu dan mengembara ke padang belantara.

Beberapa hari kemudian seorang perempuan tua yang berambut kusut dengan bekas-bekas luka di pipinya datang menghadap Sari dan berkata: “Wahai imam kaum Muslimin. Aku mempunyai seorang putera yang masih remaja dan berwajah tampan. Pada suatu hari ia datang untuk mendengarkan khotbahmu dengan tertawa-tawa dan langkah-langkah yang gagah tetapi kemudian pulang dengan menangis dan meratap-ratap. Sudah beberapa han ini ia tidak pulang dan aku tidak tahu kemana perginya. Hatiku sedih karena berpisah dari dia, Tolong, lakukanlah sesuatu untuk diriku”,

Permohonan wanita tua itu menggugah hati Sari. Maka berkatalah ia: “Janganlah berduka. Ia dalam keadaan baik. Apabila ia kembali, niscaya engkau akan kukabarkan. Ia telah meninggalkan dan berpaling dari dunia ini. Ia telah bertaubat dengan sepenuh hatinya”.

Beberapa lama telah berlalu. Pada suatu malam, Ahmad Yazid kembali kepada Sari. Sari memerintahkan kepada pelayannya, “Kabarkanlah kepada ibunya”. Kemudian ia memandang Ahmad Yazid. Wajahnya pucat, tubuhnya lemah, dan badannya yang jangkung kokoh bagaikan pohon cemara itu telah bungkuk.

“Wahai guru yang budiman”, Ahmad berkata kepada Sari, “Karena engkau telah membimbingku ke dalam kedamaian dan telah mengeluarkan aku dari kegelapan, aku berdoa semoga Allah memberikan kedamaian dan menganugerahkan kebahagiaan kepadamu di dunia dan di akhirat”.

Mereka sedang asyik berbincang-bincang, ibu dan isteri Ahmad Yazid masuk dengan membawa puteranya yang masih kecil. Ketika si ibu melihat Ahmad yang sudah berubah sekali keadaannya ia pun menubruk dada Ahmad Yazid. Di kiri kanannya isterinya yang meratap-ratap dan anaknya yang menangis tersedu-sedu. Semua yang menyaksikan kejadian ini ikut terharu dan Sari sendiri pun tidak dapat menahan air matanya.

“Wahai Imam kaum MusIimin”, Ahmad Yazid berseru kepada Sari, “mengapakah engkau mengabarkan kedatanganku ini kepada mereka? Mereka inilah yang akan meruntuhkan diriku”. Sari menjawab: “Ibumu terus menerus bermohon sehingga akhirnya aku berjanji untuk mengabarkan kepadanya apabila engkau datang”.

Ketika Ahmad bersiap-siap hendak kembali ke padang pasir isterinya meratap: “Belum lagi, engkau telah membuatku jadi janda dan puteramu jadi yatim, Jika ia ingin bertemu dengan engkau apakah yang akan kulakukan? Tidak ada jalan lain, bawalah anak ini olehmu”. “Baiklah”, jawab Ahmad Yazid.

Pakaian indah yang sedang dikenakan anaknya itu dilepaskannya dan digantinya dengan bulu domba. Kemudian ditaruhnya sebuah kantong uang ke tangan anak itu dan berkatalah ia kepada anaknya itu: “Sekarang, pergilah engkau seorang diri”. Melihat hal ini si isterinya menjerit: “Aku tidak sampai hati membiarkannya”, dan anak itu ditariknya ke dalam dekapannya.

“Aku memberikan kuasa kepadamu”, kata Ahmad Yazid kepada isterinya, ’Jika engkau menginginkan, untuk menuntut perceraian”. Setelah berkata itu, Ahmad Yazid pergi lagi ke padang belantara.

Bertahun-tahun telah berlalu. Kemudian pada suatu malam, pada waktu shalat Isya, seseorang mendatangi Sari di tempat kediamannya. Orang itu berkata kepada Sari: “Ahmad Yazid mengutus aku untuk menjumpai engkau. Ia berpesan: ’Hidupku hampir berakhir. Tolonglah aku”.

Sari pergi ke tempat Ahmad. Ia menemukan Ahmad yang sedang terbaring di atas tanah di dalam sebuah pemakaman. Ia sedang menantikan saat-saat terakhirnya. Lidahnya masih bergerak-gerak. Sari mendengar bahwa Ahmad sedang membacakan ayat yang berbunyi: “Untuk yang seperti ini bekerjalah wahai para pekerja”.

Sari mengangkat kepalanya dari atas tanah, mengusapkan dan mendekapkan ke dadanya, Ahmad membuka matanya, terlihatlah olehnya sang syeikh, dan berkatalah ia: “Guru, engkau datang tepat pada waktunya. Hidupku akan berakhir sesaat lagi”.
Sesaat kemudian ia menghembuskan napasnya yang terakhir. Sambil menangis Sari kembali ke kota untuk menyelesaikan urusan- urusan Ahmad. Di dalam perjalanan ini ia menyaksikan orang ramai berbondong-bondong berjalan ke arah luar kota. “Hendak ke manakah kalian?” Sari bertanya kepada mereka. “Tidak tahukah engkau?”, jawab mereka. “Kemarin malam terdengar sebuah seruan dari atas langit: ’Barangsiapa ingin menshalatkan jenazah sahabat kesayangan Allah, pergilah ke pemakaman di Syuniziyah!’ “.