Menurut catatan di sejumlah sumber, setidaknya masjid ini sudah ada sejak 1839 atau sudah berfungsi sejak sekitar 180 tahun lalu walaupun semula hanya berupa surau atau langgar kecil.
Lokasi masjid ini di Jalan Laksamana Malahayati Nomor 100 Kelurahan Kangkung, Kecamatan Teluk Betung Selatan, Kota Bandarlampung. Lokasinya sedikit ke pinggir dari pusat bisnis di kawasan Telukbetung, Bandarlampung. Tak jauh pula dari pusat belanja oleh-oleh kuliner khas Lampung di bagian seberang depannya.
Masjid ini juga memiliki banyak peninggalan bersejarah yang masih ada sampai sekarang.
Pemerintah Provinsi Lampung melalui Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi Lampung telah menetapkan masjid ini sebagai masjid tertua dan bersejarah di Bandarlampung. Hal ini tertuang di dalam SK Nomor: Wh/2/SK/147/1997.
Menurut penuturan Sumanta (51), salah satu pengurus Masjid Jami Al-Anwar, sejak enam tahun yang lalu, masjid ini tertua di Provinsi Lampung, bahkan berdiri sebelum Gunung Krakatau meletus, 26-27 Agustus 1883.
"Berdirinya sebelum Gunung Krakatau meletus. Gunung Krakatau kan meletusnya tahun 1883, masjid ini sudah ada sejak tahun 1839, tetapi menurut informasi saat itu masih berbentuk surau," ujar Sumanta, saat ditemui di Masjid Jami Al-Anwar, belum lama ini.
Catatan sejarah, masjid ini dibangun oleh ulama pendatang yang berasal dari Pulau Sulawesi dari Suku Bugis. Semula masih dalam bentuk surau atau mushalla yang digunakan oleh para ulama tersebut untuk perkumpulan mengaji, bersama dengan ulama dan masyarakat setempat lainnya.
"Awalnya dibangun oleh para ulama dari Pulau Sulawesi yang datang ke Lampung, yaitu Daeng Muhammad Ali, K.H. Muhammad Said, dan H. Ismail. Setelahnya mereka mendirikan surau untuk mengaji bersama ulama dan siapa pun masyarakat yang ingin mengaji bersama," ujarnya.
Surau kemudian mengalami beberapa renovasi dan perluasan bangunan sehingga membentuk masjid.
Awal renovasi dilakukan lima tahun setelah Gunung Krakatau meletus, sekitar 1888, bersama dengan para ulama dan masyarakat dengan langsung mendirikan masjid yang lebih permanen pada tahun itu, lalu dilanjutkan renovasi, termasuk yang dilakukan pada 1972, dan terakhir pada 2015.
Catatan sejarah, masjid ini dibangun oleh ulama pendatang yang berasal dari Pulau Sulawesi dari Suku Bugis. Semula masih dalam bentuk surau atau mushalla yang digunakan oleh para ulama tersebut untuk perkumpulan mengaji, bersama dengan ulama dan masyarakat setempat lainnya.
"Awalnya dibangun oleh para ulama dari Pulau Sulawesi yang datang ke Lampung, yaitu Daeng Muhammad Ali, K.H. Muhammad Said, dan H. Ismail. Setelahnya mereka mendirikan surau untuk mengaji bersama ulama dan siapa pun masyarakat yang ingin mengaji bersama," ujarnya.
Surau kemudian mengalami beberapa renovasi dan perluasan bangunan sehingga membentuk masjid.
Awal renovasi dilakukan lima tahun setelah Gunung Krakatau meletus, sekitar 1888, bersama dengan para ulama dan masyarakat dengan langsung mendirikan masjid yang lebih permanen pada tahun itu, lalu dilanjutkan renovasi, termasuk yang dilakukan pada 1972, dan terakhir pada 2015.
"Untuk renovasinya, saat Gunung Krakatau meletus, mushallanya rusak hanya menyisakan tiang-tiangnya. Jadi pada tahun 1888, menurut informasi, renovasi dilakukan dengan tetap mempertahankan enam tiang yang ada. Enam tiang tersebut menggambarkan Rukun Iman," ucapnya.
Pada 1972, renovasi dilakukan kembali dengan memperluas bangunan menjadi lebih besar karena jamaah yang datang saat Shalat Jumat dan hari-hari besar semakin banyak jumlahnya.
Terakhir, perbaikan dan renovasi masjid ini dilakukan sekitar 2015 sampai 2016, yang diganti atap masjid, awalnya genting biasa menjadi seng baja.
Dalam buku berjudul "Masjid-Masjid Bersejarah di Indonesia" karya Abdul Baqir Zein pada 1999, keenam tiang masjid yang dibangun pada 1888 dibuat bukan menggunakan semen, melainkan campuran telur ayam dan kapur.
Setelah itu, masjid tersebut dinamakan Masjid Al-Anwar yang artinya bercahaya. Nama tersebut diharapkan masjid tersebut dapat menjadi sumber cahaya kehidupan yang dapat menerangi umat. Nama masjid itulah yang dipakai sampai sekarang.
Meskipun telah mengalami beberapa kali renovasi, ada beberapa hal yang tetap dipertahankan di masjid tersebut, seperti meriam peninggalan Belanda di depan masjid, beduk hadiah dari Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) yang tetap disimpan sampai sekarang, serta kitab-kitab peninggalan sejak dahulu dari berbagai bahasa yang disimpan di perpustakaan masjid.
"Yang paling dipertahankan di masjid ini adalah meriam Belanda di depan yang masih ada sampai sekarang, karena dulu kan belum ada sirine masjid seperti zaman sekarang, itu digunakan buat peringatan buka puasa. Kalau sekarang hanya dibuat pajangan. Lalu, ada beduk kecil, dari 1988 hasil dari MTQ Nasional di Way Halim, Bandarlampung yang disimpan di sini.
Yang paling dijaga juga ada kitab-kitab kuno, peninggalan dari dulu, kitab-kitab tersebut ada dalam beberapa bahasa, seperti Arab, Belanda, Portugis, dan beberapa bahasa lain yang sekarang masih disimpan di perpustakaan masjid ini," kata Sumanta.
Perpustakaan tersebut, pada masa lalu dibuka untuk umum dan ada penjaganya, yaitu Noval Arbai. Akan tetapi, sekarang ditutup karena yang menjaga sudah sibuk. Sejak ojek daring ramai, dia menjadi pengojek daring. Padahal, sebenarnya waktu dibuka untuk umum, perpustakaan itu lumayan banyak pengunjung.
Markas Pejuang
Masjid Jami Al-Anwar bukan hanya menjadi masjid tertua di Lampung dan tempat bagi masyarakat untuk belajar mengaji sejak zaman dahulu, tetapi juga menjadi markas para pejuang kemerdekaan di Lampung.
Masjid ini selalu menjadi tempat para pejuang kemerdekaan bersama dengan para ulama mengatur strategi perjuangan seusai shalat dan mengaji.
Dalam buku "Masjid-Masjid Bersejarah di Indonesia", para tokoh dan ulama yang terlibat dalam membentuk strategi perjuangan, di antaranya Haji Alamsyah Ratu Prawiranegara (mantan Menteri Agama RI), Kapten Subroto, K.H. Nawawi, dan K.H. Thoha.
Dalam buku tersebut juga dikatakan bahwa masyarakat bahu membahu dalam mempertahankan Bumi Lampung, Sang Bumi Ruwa Jurai itu dari penjajahan Belanda hingga Indonesia merdeka.
Masjid Jami Al-Anwar juga sering dijadikan tempat singgah dan menginap para peziarah dari luar pulau, terutama Pulau Jawa, di Lampung.
"Bahkan, mereka kalau sehabis berziarah biasanya menginapnya di sini. Mungkin karena masjid ini masjid yang sudah ada lama, jadi orang-orang di Pulau Jawa yang suka berziarah turun temurun tahu masjid ini, jadi kalau sehabis berziarah, ya, ke sini," ujarnya.
Sumanta selaku pengurus masjid berusia sekitar 180-an tahun itu, mengharapkan halaman depan masjid dibuat beraspal semua, supaya tampak lebih rapi dan bersih.
Selain itu, beberapa pintu mungkin bisa ditutup agar anak-anak yang bermain tidak bolak-balik di masjid agar masjid terlihat lebih suci dan terjaga ketertiban serta keadaban. Umat juga bisa lebih khusyuk saat beribadah di masjid itu.
Lingkungan masjid memang telah dipadati dengan permukiman warga, sehingga seringkali anak-anak menggunakannya untuk bermain dan bercengkerama.
Apalagi, sisi tengah masjid terdapat jalan lurus menembus ke bagian sisi lain jalan umum di sebelahnya dari pintu masuk masjid di depannya.
Masjid Jami Al-Anwar sebagai masjid tertua di Lampung benar-benar berarti bagi umat serta terbukti hingga kini dapat dipertahankan fungsinya, bukan hanya oleh warga dan umat Islam sekitar, tetapi juga para peziarah yang datang ke Lampung.
Semua pihak diimbau untuk peduli untuk terus menjaga dan mempertahankan keberadaan serta fungsi secara optimal atas Masjid Jami Al-Anwar, agar tetap terjaga dan bersinar sepanjang masa.*
Markas Pejuang
Masjid Jami Al-Anwar bukan hanya menjadi masjid tertua di Lampung dan tempat bagi masyarakat untuk belajar mengaji sejak zaman dahulu, tetapi juga menjadi markas para pejuang kemerdekaan di Lampung.
Masjid ini selalu menjadi tempat para pejuang kemerdekaan bersama dengan para ulama mengatur strategi perjuangan seusai shalat dan mengaji.
Dalam buku "Masjid-Masjid Bersejarah di Indonesia", para tokoh dan ulama yang terlibat dalam membentuk strategi perjuangan, di antaranya Haji Alamsyah Ratu Prawiranegara (mantan Menteri Agama RI), Kapten Subroto, K.H. Nawawi, dan K.H. Thoha.
Dalam buku tersebut juga dikatakan bahwa masyarakat bahu membahu dalam mempertahankan Bumi Lampung, Sang Bumi Ruwa Jurai itu dari penjajahan Belanda hingga Indonesia merdeka.
Masjid Jami Al-Anwar juga sering dijadikan tempat singgah dan menginap para peziarah dari luar pulau, terutama Pulau Jawa, di Lampung.
"Bahkan, mereka kalau sehabis berziarah biasanya menginapnya di sini. Mungkin karena masjid ini masjid yang sudah ada lama, jadi orang-orang di Pulau Jawa yang suka berziarah turun temurun tahu masjid ini, jadi kalau sehabis berziarah, ya, ke sini," ujarnya.
Sumanta selaku pengurus masjid berusia sekitar 180-an tahun itu, mengharapkan halaman depan masjid dibuat beraspal semua, supaya tampak lebih rapi dan bersih.
Selain itu, beberapa pintu mungkin bisa ditutup agar anak-anak yang bermain tidak bolak-balik di masjid agar masjid terlihat lebih suci dan terjaga ketertiban serta keadaban. Umat juga bisa lebih khusyuk saat beribadah di masjid itu.
Lingkungan masjid memang telah dipadati dengan permukiman warga, sehingga seringkali anak-anak menggunakannya untuk bermain dan bercengkerama.
Apalagi, sisi tengah masjid terdapat jalan lurus menembus ke bagian sisi lain jalan umum di sebelahnya dari pintu masuk masjid di depannya.
Masjid Jami Al-Anwar sebagai masjid tertua di Lampung benar-benar berarti bagi umat serta terbukti hingga kini dapat dipertahankan fungsinya, bukan hanya oleh warga dan umat Islam sekitar, tetapi juga para peziarah yang datang ke Lampung.
Semua pihak diimbau untuk peduli untuk terus menjaga dan mempertahankan keberadaan serta fungsi secara optimal atas Masjid Jami Al-Anwar, agar tetap terjaga dan bersinar sepanjang masa.*
Dikutip dari situs berita antaranews.com