YOGYA, metanews.co.id - Sebagai santri pembelajar, saya gemar menyelami makna di balik hiruk pikuk masyarakat, meskipun bukan orang yang terlibat secara langsung. Misalnya, eforia masyarakat muslim khususnya dengan tim kesebelasan Maroko yang melangkah ke babak semifinal Piala Dunia 2022 usai menyingkirkan Portugal, Sabtu, 10/12/2022.
Setelah Qatar berhasil dengan sangat brilian, dan elegan “mengajarkan” dunia tentang keindahan, dan kosmopolitanisme Islam, serta mengoreksi secara alamiah banyak sekali bias-opini (Islamophobia), khususnya di kalangan masyarakat Barat: tim sepak bola Maroko menunjukkan panorama tauhid dalam selebrasi kemenangan mereka.
Konsep tauhid tak lagi dimonopoli narasinya dalam kitab-kitab para ulama, dan tidak pula dalam perdebatan teologis tak berujung. Kali ini, masyarakat dunia diajarkan untuk Kembali kepada Sang Khaliq : “BERSUJUD” (simbol hubungan vertikal manusia dengan Rabb-nya); dan “MEMULIAKAN IBU” (simbol menyatunya keindahan Islam dengan kemanusiaan, dan kehidupan bumi).
Sepak bola yang sangat dekat dengan selebrasi kemenagan dan eforia yang berlebihan, bahkan—maaf—menelan korban jiwa suci manusia, serta sangat dekat dengan dunia laki-laki: kini menjelma menjadi kepatuhan dan ketundukan pada yang Maha Kuasa dengan bersimpuh sujud di bumi; dan menunjukkan kemuliaan seorang ibu, disanjung, dan dicium keningnya. Di saat opini sesat disebarluaskan media sekuler bahwa Islam mengajarkan bias gender, dan bahkan merendahkan martabat perempuan. Terima kasih Maroko !. Anda telah menyadarkan dunia, dan mempertontonkan panorama keindahan Islam.
Apapun agama, ideologi, dan kepercayaan manusia, ia akan selalu bertanya pada dirinya: siapa Penciptanya; dari mana ia berasal; di mana ia berada; untuk apa keberadaannya; dan akan ke mana ia setelah kehidupan di dunia ini?. Siapapun bisa saja meragukan akan kebenaran, bahkan mengingkari Adanya Tuhan, tetapi satu hal yang berlaku universal: kematian itu pasti.
Bagi muslim, apapun profesinya; setinggi/rendah apapun jabatan dan kedudukannya; sebaik/seburuk apapun dirinya di dunia ini, dan seterusnya…semuanya itu merupakan bukti nyata dan otentik atas (kualitas) “tauhid” yang terpatri dalam qalbunya. Keyakinan tauhid akan mewarnai keseluruhan kegiatan dalam kehidupan ini, tanpa terkecuali. Bagi muslim, realitas kehidupannya bukan hanya pada alam yang nyata (syahadah), tetapi juga pada alam yang supra-nyata (ghaib). Sebabnya, baik dalam kesendirian maupun kebersamaan dengan orang lain; baik dalam permainan sepak bola taupun dalam shalat dan dzikirnya : ALLAH SELALU ADA (dzikrullah).
Seorang muslim sangat menyadari dirinya memiliki Tuhan yang hanya semata kepadaNYA ia menghamba (ibadah) dan patuh total (QS Ar-Rum:40). Ia meyakini dirinya sebagai ciptaan sempurna Allah Yang Maha Sempurna; sebabnya ia sadar menjaga kemuliaan dirinya (QS At-Tĩn: 1-8). Ia pun menyadari dirinya hidup di alam yang telah ditundukkan baginya oleh Allah sebagai fasilitas, dan demi ia menyempurnakan penghambaan diri kepadaNya (QS. Hud:61); bersebabnya seorang muslim takkan mengeksploitasi alam, termasuk dunia sepak bola. Mengapa demikian? Sebab ia pun memiliki kesadaran Imani dan kesadaran natural bahwa alam, termasuk bola yang ditendangnya menghamba, bersujud, dan bertasbih kepada Allah Taála (QS Al-Isra’: 44). TERIMA KASIH MAROKO. (Penulis : Fatkhurrahman Kamal )
Seorang muslim sangat menyadari dirinya memiliki Tuhan yang hanya semata kepadaNYA ia menghamba (ibadah) dan patuh total (QS Ar-Rum:40). Ia meyakini dirinya sebagai ciptaan sempurna Allah Yang Maha Sempurna; sebabnya ia sadar menjaga kemuliaan dirinya (QS At-Tĩn: 1-8). Ia pun menyadari dirinya hidup di alam yang telah ditundukkan baginya oleh Allah sebagai fasilitas, dan demi ia menyempurnakan penghambaan diri kepadaNya (QS. Hud:61); bersebabnya seorang muslim takkan mengeksploitasi alam, termasuk dunia sepak bola. Mengapa demikian? Sebab ia pun memiliki kesadaran Imani dan kesadaran natural bahwa alam, termasuk bola yang ditendangnya menghamba, bersujud, dan bertasbih kepada Allah Taála (QS Al-Isra’: 44). TERIMA KASIH MAROKO. (Penulis : Fatkhurrahman Kamal )