Penyuluh Pertanian Lapangan


Oleh : Haspabu, Lurah Kalibata

Dulu (1976) sangat bangga diterima di Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPMA), Hajimena Lampung. Seleksinya ketat. Tinggal di asrama. Tidak naik kelas, gugur. SPMA termasuk banyak pelajaran prakteknya. Dan yang membuat bersemangat, setelah lulus jadi PPL. Dapat inventaris sepeda motor trail warna kuning. Tampak gagah. Berkeliling di jalanan desa. Mampir ke rumah-rumah petani, dan ke Pak Lurah. Hmm.

Dimasa itu merata anak Transmigran memilih sekolah kejuruan. Biasanya secara urutan yang favorit: SPG (Guru), SPMA (Pertanian), SPK (Perawat), dan STM (Teknik). Bukan apa-apa. Karena niatnya ingin meringankan beban orang tua, dan agar setelah lulus bisa langsung kerja.

Pengalaman bersama komunitas pertanian di Bandung (1984-90), kegiatan penyuluhan sangat intensif. Ada kantor BPP (Balai Penyuluhan Pertanian) di Solokan Jeruk, Lembang, Soreang, Banjaran, Cililin. Penyuluhnya komplit. Sejak PPL, PPM (madya), hingga PPS (spesialis). Ada juga jabatan Satuan Bimas/Inmas. Ketika ada serangan wereng coklat (1984), langsung semua petugas bergerak. Wajar jika Indonesia saat itu bisa swasembada pangan.

Tampaknya hal ini didukung dengan sosok Presiden (senang bertani). Sehingga memaknai dan menerapkan pembangunan pertanian secara praxis, pragmatis. Seluruh unsur pemerintahan disinergikan. Semuanya untuk mendukung pembangunan pertanian. Termasuk di lokasi transmigrasi. Sehingga wajar, sebagian besar kimtrans saat ini menjadi lumbung pangan di luar Jawa.

Pengalaman di lokasi transmigrasi,  satu UPT (unit permukiman transmigrasi) ada beberapa tenaga lapangan. Lintas sektor bersinergi. Tak tampak ego sektornya. Ada PPL (Pertanian), PLKB, Pendamping Koperasi, da'i pembangunan, sarjana penggerak pembangunan, dan aneka tenaga lapangan. 

Tetapi dukungan akselerasi yang berlebihan ini menimbulkan kesenjangan kemajuan. Desa trans cepat berkembang, sedangkan desa lama disekitarnya menjadi tertinggal. Akibatnya dikemudian hari (setelah masuk era reformasi), terjadi kecemburuan sosial. Jika ada transmigran berhasil dicemburui, jika gagal dicaci.

Tahun 1998 Era berganti. Pimpinan negara (Presiden) juga berasal dari aneka ragam profesi. Terlebih masa ini sistem politik lebih liberal (euforia demokrasi). Termasuk sistem demokrasinya menggunakan biaya amat besar. Maka bandul budget APBN-pun lebih banyak berkaitan sektor politik. Jumlah anggota legislatif bertambah, penambahan aneka lembaga mandatori, komisioner, pemekaran wilayah meningkat, dan lainnya. Menguras biaya. 

Ditingkat kabupaten, yang berhadapan langsung dengan warga tani, PPL hampir jarang dijumpai lagi. Apalagi Kadis Pertaniannya sering berganti orang. Bukan lagi orang yang paham pertanian, tetapi lebih karena kedekatan dengan kepala daerah, anggota tim sukses, dan lainnya. Kadang penggantinya juga bukan latar belakang pertanian. Sehingga lebih banyak sibuk mengurusi administratif dibandingkan urusan teknis.

Bagaimana nasib pertanian kita kedepan? Bagaimana nasib petani, penyuluh, balai penyuluhan, acara temu lapang, sekolah lapang, organisasi mitra cai, dan lainnya? Duh.

Harus dicari format baru. Bagaimana mengembalikan kedigdayaan pertanian di negeri agraris ini. Harapannya, impor komoditas pertanian makin berkurang, ekspor berkembang, harga-harga komoditas pro petani, dan yang penting, generasi millenia bangga menjadi petani.