Oleh : Yudi Prayoga, M.Ag, Sekretaris MWCNU Kedaton Bandar Lampung
Selain puasa Ramadhan, umat Islam juga dianjurkan berpuasa sunnah selama enam hari di bulan Syawal, bulan kesepuluh dalam kalender hijriah.
Meski hukumnya sunah, puasa di bulan Syawal memiliki keistimewaannya sendiri, yakni pahalanya dihitung seperti berpuasa setahun penuh. “Barang siapa berpuasa Ramadan kemudian dianjurkan dengan enam hari dari Syawal, maka seperti pahala berpuasa setahun.” (HR. Muslim).
Akan tetapi yang menjadi pertanyaan, bolehkah orang yang memiliki hutang puasa Ramadhan, karena udzur, seperti musafir, sakit parah, haid, hamil ataupun alasan lain yang dibolehkan syariat diqadha berbarengan dengan puasa sunnah Syawal tersebut?
Dijelaskan dalam fatwa Majma’ al-Buhuts al-Islamiyah Al-Azhar as-Syari, berikut tiga pro kontra mengenai persoalan menggabungkan puasa Syawal dengan puasa qadha:
Pertama, menggabungkan niat puasa enam hari di bulan Syawal dengan qadha Ramadan menyebabkan salah satu puasa saja yang dianggap sah. Pendapat ini adalah pendapat ulama Hanabilah.
Kedua, puasa qadha yang digabung dengan puasa Syawal dianggap sah keduanya. Pendapat ini didukung oleh ulama Malikiyah dan mayoritas ulama Syafi’iyah.
Ketiga, tidak diperbolehkan menggabungkan dua niat. Pendapat ini didukung oleh sebagian ulama Syafiiyah dan suatu riwayat ulama Hanabilah.
Atas adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama, mantan mufti Mesir yang juga anggota Dewan Ulama Senior Syekh Ali Jum'ah, menyampaikan seorang Muslim boleh menggabungkan niat puasa Syawal dan puasa qadha Ramadhan sehingga yang bersangkutan memperoleh dua pahala.
Meski begitu, Syekh Ali Jum'ah menekankan, "Lebih sempurna dan lebih utama jika kedua puasa tersebut dilakukan secara terpisah." Sebab menurutnya, mendapat pahala ganda bukan berarti memperoleh pahala secara penuh.
Sedangkan dalil dianjurkan untuk membayar atau meng-qadha utang puasa Ramadan terlebih dahulu, baru setelahnya melakukan ibadah puasa sunah Syawal, sebagaimana ditulis Al-Khatib As-Syarbini dalam kitab Mughnil Muhtaj pada jilid pertama, bahwa orang yang meng-qadha puasa di bulan Syawal tidak mendapatkan keutamaan sebagaimana yang dimaksud di atas. Berikut keterangannya.
ولو صام في شوال قضاء أو نذرا أو غير ذلك ، هل تحصل له السنة أو لا ؟ لم أر من ذكره ، والظاهر الحصول. لكن لا يحصل له هذا الثواب المذكور خصوصا من فاته رمضان وصام عنه شوالا ؛ لأنه لم يصدق عليه المعنى المتقدم ، ولذلك قال بعضهم : يستحب له في هذه الحالة أن يصوم ستا من ذي القعدة لأنه يستحب قضاء الصوم الراتب ا هـ
Artinya, “Kalau seseorang mengqadha puasa, berpuasa nadzar, atau berpuasa lain di bulan Syawal, apakah mendapat keutamaan sunnah puasa Syawal atau tidak? Saya tidak melihat seorang ulama berpendapat demikian, tetapi secara zahir, dapat.
Tetapi memang ia tidak mendapatkan pahala yang dimaksud dalam hadits khususnya orang luput puasa Ramadhan dan mengqadhanya di bulan Syawal karena puasanya tidak memenuhi kriteria yang dimaksud. Karena itu sebagian ulama berpendapat bahwa dalam kondisi seperti itu ia dianjurkan untuk berpuasa enam hari di bulan Dzul qa’dah sebagai qadha puasa Syawal”.
Meskipun demikian, jika puasa sunnah Syawal tidak dilaksanakan selepas menunaikan kewajiban qadha puasanya, ia tetap dinilai mengamalkan sunnah puasa Syawal. Hanya saja, ia tidak mendapatkan ganjaran seperti yang disebutkan di dalam sabda Rasulullah saw.
Adapun bagi mereka yang tidak berpuasa Ramadhan tanpa uzur yang dibenarkan syariat, haram untuk mengamalkan puasa sunnah Syawal. Mereka wajib meng-qadha segera utang puasanya. Sementara mereka yang tidak berpuasa Ramadhan karena uzur tertentu, makruh mengamalkan puasa sunnah Syawal sebelum menunaikan qadha puasanya.
Hal demikian sebagaimana diterangkan Syamsuddin Ar-Ramli dalam kitab Nihayatul Muhtaj pada jilid ketiga sebagai berikut.
وَقَضِيَّةُ كَلَامِ التَّنْبِيهِ وَكَثِيرِينَ أَنَّ مَنْ لَمْ يَصُمْ رَمَضَانَ لِعُذْرٍ أَوْ سَفَرٍ أَوْ صِبًا أَوْ جُنُونٍ أَوْ كُفْرٍ لَا يُسَنُّ لَهُ صَوْمُ سِتَّةٍ مِنْ شَوَّالٍ . قَالَ أَبُو زُرْعَةَ : وَلَيْسَ كَذَلِكَ : أَيْ بَلْ يُحَصِّلُ أَصْلَ سُنَّةِ الصَّوْمِ وَإِنْ لَمْ يُحَصِّلْ الثَّوَابَ الْمَذْكُورَ لِتَرَتُّبِهِ فِي الْخَبَرِ عَلَى صِيَامِ رَمَضَانَ . وَإِنْ أَفْطَرَ رَمَضَانَ تَعَدِّيًا حَرُمَ عَلَيْهِ صَوْمُهَا. وَقَضِيَّةُ قَوْلِ الْمَحَامِلِيِّ تَبَعًا لِشَيْخِهِ الْجُرْجَانِيِّ ( يُكْرَهُ لِمَنْ عَلَيْهِ قَضَاءُ رَمَضَانَ أَنْ يَتَطَوَّعَ بِالصَّوْمِ كَرَاهَةُ صَوْمِهَا لِمَنْ أَفْطَرَهُ بِعُذْرٍ
Artinya, “Masalah di Tanbih dan banyak ulama menyebutkan bahwa orang yang tidak berpuasa Ramadhan karena uzur, perjalanan, masih anak-anak, masih kufur, tidak dianjurkan puasa sunnah enam hari di bulan Syawal.
Abu Zur‘ah berkata, tidak begitu juga. Ia tetap dapat pahala sunnah puasa Syawal meski tidak mendapatkan pahala yang dimaksud karena efeknya setelah Ramadhan sebagaimana tersebut di hadits.
Tetapi jika ia sengaja tidak berpuasa di bulan Ramadhan tanpa uzur, maka haram baginya puasa sunnah. Masalah yang disebutkan Al-Mahamili mengikuti pandangan gurunya, Al-Jurjani. (Orang utang puasa Ramadhan makruh berpuasa sunnah, kemakruhan puasa sunnah bagi mereka yang tidak berpuasa Ramadhan karena uzur)”.
Oleh karena itu, bagi orang yang memiliki utang puasa Ramadhan, sebaiknya meng-qadha utang puasanya dipisah dengan puasa sunnah Syawal. Mengutip Syekh Ali Jum’ah bahwa mendapat pahala ganda bukan berarti memperoleh pahala secara penuh.
Dikutip dari lampung.nu.or.id/