Mengapa Tidak Ada Pesawat Terbang Melewati Tibet?

Tibet. Foto: AP/Mark Schiefelbein

Jakarta - Tibet merupakan daerah yang selalu dihindari pilot ketika menerbangkan pesawat. Rupanya ada 3 alasan pilot melakukan hal tersebut.

Tibet dikenal memiliki kondisi geografis yang ekstrem. Daerah yang menjadi bagian China itu berada di dataran tinggi dan dikelilingi pegunungan. Ketinggian rata-rata di sana adalah 4.500 meter.

Populasi di Tibet juga rendah. Wilayah ini hanya menyumbang sekitar 0,2 persen dari populasi China. Itu sebabnya, hanya sedikit penerbangan dari dan menuju ke Tibet.

Meskipun begitu, Tibet tetap memiliki bandara internasional di Lhasa dan Xining. Banyak juga penerbangan yang beroperasi ke China dan daerah sekitarnya.

Akan tetapi maskapai penerbangan yang terbang ke atau dari tujuan lain akan sepenuhnya menghindari wilayah Tibet. Padahal jika dilihat rutenya akan lebih cepat bila melewatinya.

Dilansir dari Simpleflying, Sabtu (5/3/2022) ada tiga alasan pilot tidak terbang melewati Tibet:

1. Tidak dapat turun ke ketinggian yang aman dalam keadaan darurat
Alasan utama pesawat menghindari Tibet adalah ketinggian rata-rata yang tinggi. Itu lebih dari 14.000 kaki.

Pesawat memang terbang lebih tinggi dari itu. Akan tetapi dalam prosedur keadaan darurat, misalnya penurunan tekanan kabin, pesawat harus turun ke ketinggian 10.000 kaki sebelum menuju bandara terdekat.

Dengan kondisi medan Tibet yang tinggi, pesawat tidak akan punya cukup waktu untuk turun. Pesawat memang dilengkapi pasokan oksigen tetapi jumlahnya terbatas dan hanya cukup digunakan dengan asumsi pesawat cepat mencapai ketinggian aman.

Kondisi makin buruk karena hanya ada sedikit bandara di Tibet. Sehingga penerbangan akan semakin panjang di kondisi darurat.

2. Risiko peningkatan turbulensi
Turbulensi selama penerbangan disebabkan oleh arus udara yang bergerak naik turun dalam riak dan kecepatan yang berbeda.

Hal ini terjadi karena beberapa faktor, termasuk efek panas matahari, kondisi cuaca, dan pegunungan.

Arus udara akan naik di atas pegunungan dan menciptakan arus yang mengganggu.

Turbulensi memang bisa terjadi di rute manapun. Namun potensi turbulensi semakin besar di wilayah pegunungan yang tinggi seperti Tibet.

3. Risiko bahan bakar membeku
Alasan ketiga adalah kekhawatiran pilot dengan pembekuan bahan bakar. Seperti kita tahu, Tibet memiliki pegunungan yang suhunya lebih rendah.

Bahan bakar standar Jet A1 memiliki titik beku -47 derajat Celcius. Sedangkan bahan bakar Jet A yang umumnya digunakan maskapai Amerika Serikat sedikit lebih tinggi yakni -40 derajat.

Suhu itu memang jarang tercapai tetapi pada ketinggian di atas pegunungan yang sudah dingin, ada peningkatan risiko ini. Apalagi bila pesawat melakukan penerbangan panjang yang berkelanjutan di wilayah tersebut.

Dikutip dari detiktravel