Buya Syafi'i Mengantri di "Rumah (Sakit) Sendiri"

Mengantri di "Rumah (Sakit) Sendiri"

“Masih lama saya antrinya?”  tanya lelaki tua itu mendekati meja petugas. “Masih pak,  karena lagi banyaknya pasien,” jawab si pegawai itu sembari berjalan memeriksa lokasi chek up.

Mungkin itu percakapan biasa di sebuah rumah sakit. Namun bayangkan jika sosok tua itu adalah Buya Ahmad Syafii Maarif, ketua umum PP Muhammadiyah 1997-2005. Dan rumah sakit yang dimaksud adalah RS PKU Muhammadiyah. Rumah sakit milik organisasi yang pernah dipimpin oleh Buya Syafii.

“Beginilah di (RS) PKU (Muhammadiyah), Deni. Alhamdulillah semakin ramai,” ungkap Buya dengan wajah sumringah, menimpali pembicaraan dengan Pemimpin Perusahaan Suara Muhammadiyah, Deni Asy’ari yang ikut menemani Buya Syafii. Buya gembira karena rumah sakit ini semakin diminati masyarakat.

Beberapa saat, Buya pun kembali duduk di deretan bangku antri pasien. Sama seperti kebanyakan pasien lainnya. Biasanya setiap jadwal chek up rutin, Buya mengantri seorang diri. Bedanya, kali ini Buya Syafii ditemani oleh Deni Asy’ari. Setelah sebelumnya Buya memilih menunggu di kantor redaksi Suara Muhammadiyah dan sempat meninjau Graha Suara Muhammadiyah di Jalan KHA Dahlan.

Harus antri lama, sosok berusia 83 tahun itu tidak menunjukkan wajah marah. Apalagi merasa harus diperlakukan istimewa. Justru Buya tak pernah mau diperlakukan lebih dan diprioritaskan. 

Para pegawai RS PKU mungkin pernah ingin memberi akses terlebih dahulu ke Buya Syafii, dan para pasien lain tentu akan sangat memaklumi. Buya yang tidak mau diistimewakan seperti ini. Berkebalikan dengan layaknya kebanyakan elit dan para pejabat hari ini, senang dan minta untuk terus dilayani.

“Anda kembali saja ke kantor,  Anda bekerja saja,  tidak perlu menemani nunggu antrian ini,” kata Buya ke Deni. Sudah menjadi kekhasan Buya untuk tidak mau merepotkan orang lain. Padahal Buya menjabat sebagai Pemimpin Umum Suara Muhammadiyah, dan Deni merupakan Pemimpin Perusahaan yang tidak lain adalah bawahannya sekaligus junior dan sama-sama perantau dari Sumatera Barat.

Deni tidak langsung beranjak. Siapa pun tentu tidak tega membiarkan orang tua sendirian menunggu antrian. Setelah beberapa lama, Buya meminta sekali lagi, agar Deni mengurus pekerjaan di kantor,  dan tidak perlu menunggu antrian ini. “Anda kembali saja,  ini lama nunggunya kok,” tutur Buya.

“Sembari balik kanan,  saya pun, tertegun haru,  melihat tawadu’nya beliau,” kata Deni yang lalu kembali karena sudah diminta untuk kedua kalinya. Deni masih tidak bisa menyembunyikan perasaan kagum dan sekaligus haru. Sosok Buya tidak mau dikultuskan sama sekali, meskipun dalam bentuk yang sangat biasa, ditemani.

Bukan kali ini saja, sudah berulang kali di berbagai tempat, Buya Syafii membuat banyak orang terkagum-kagum. Pernah ‘terciduk’ makan di angkringan, membeli sabun cucian di warung, berangkat ke acara seminar dengan mendayung sepeda, naik kereta umum ke istana negara, hingga momen lain berbaur dengan rakyat jelata.

Semua itu menjadi biasa bagi Buya. Namun sangat tidak biasa di tengah situasi bangsa yang kerap kehilangan teladan dan kearifan. Para elit justru mempertontonkan kemewahan dan keserakahan di tengah kesengsaraan rakyat. Minta dilayani dan diperlakukan melangit, padahal konstribusinya untuk bangsa sungguh tidak seberapa.

Dikutip dari Sumber : Suaramuhammadiyah.id