Oleh : Asad Said Ali
Bu Nyai, panggilan isteri seorang kyai yang hidup di kampung pinggiran Bekasi bercerita kepada suamnya. Tadi jamaah tadarus setiap subuh saya undang buka puasa sekitar 60 orang, mumpung bapak bukber di pondok bersama santri laki-laki (sekitar 300m dari rumah). Hanya nasi, bakso, daging empal dan paru goreng plus korma dan makanan takjil.
Mereka kelihatan senang, makannya lahap dan minta izin membawa pulang makan yang tersisa. Saya persilahkan sampai ludes. Alhamdulillah, rasanya bahagia sodaqoh sederhana bisa memberikan rasa senang kepada jamaah yang juga tetangga sekitar rumah tinggal bu Nyai.
Saya ceritakn kepada suami tentang keluh kesah mereka. Kata Bu Nyai, rupanya mereka jarang sekali ketemu daging, biasanya hanya lauk tempe dan tahu, itupun ukurannya mini , sejak kedelai naik.
Ada juga yang cerita ,kalau saur lauknya ikan asin atau telor yang dibakar dengan cara dibungkus daun pisang karena migor susah dicari. Terharu dan pedih mendengarnya.
Pak Kyai hanya mendengar cerita isterinya tanpa reaksi. Pikirannya melayang jauh pada masa mudanya. Suatu saat, kyai diajak oleh adiknya yang tinggal di Jakarta , makan di warung tegal di pinggir jalan.
Selama seminggu setiap malam adiknya mengajak makan di kaki lima, warung sederhana sejenis warung Tegal.
Adiknya, seorang anggota intelijen menanyakan kondisi sehari-hari kepada tamu langganan warung yang datang. Adik kyai selalu mendengar dengan tekun sambil menawarkan rokok.
Cerita mereka selalu kesulitan hidup sehari-hari dan pasrah sambil sesekali bertanya “apakah pembesar negara tahu kehidupan rakyat yang sebenarnya?".
Sebelum pulang, adik kyai minta pandangan kakaknya tentang keluhan para langganan warung tegal. Kakaknya menjawab, keluhan itu sama dengan keluh kesah para orang tua santri.
Sang adik menunduk kelihatan sedih sambil bergumam, keadaan masyarakat seperti rumput kering yang kalau dilempar puntung rokok akan terbakar habis. Kisah ini terjadi sebulan sebelum jatuhnya Presiden Soeharto.
Pak kyai selalu ingat cerita adiknya, seorang intelijen muda, Kakak, kata sang adik; saya ceritakan kepada komandan saya tentang situasi masyarakat yang sebenarnya, tetapi tidak menggubris.
Komandan salah menilai kondisi masyarakat seolah baik baik saja, sambil mengepalkan tangannya; negara dijaga oleh TNI dan Polri yang perkasa. “Under estimate”.
Teringat kisah sekitar 24 tahun lalu, Sang Kyai menerawang jauh kisah tentang perang Bharatayuda. Resi Bisma, sesepuh pandawa dan korawa yang buta penglihatan mengajak pengawal untuk mendatangi perkemahan para korawa.
Bisma menyimak dengan tekun laporan pandangan mata pengawal yang intinya para korawa, mereka sedang berfoya foya makan enak sambil minum tuak dan berjoget dengan penari jaipong.
Resi Bisma pun minta dibawa pulang kembali ke kemahnya dan kemudian dengan suara lirih berkata “mereka besok akan mati semua di medan Kuru Setra, tetapi mereka tidak menyadari apa bencana yang akan menimpa“. Rumput kering mudah terbakar oleh puntung rokok, hanya puntung rokok.