Oleh : Budi P Hutasuhut
Thomas Diaz seorang pejabat VOC berdarah Afrika. Pada abad ke-16, dia mendapat tanggung jawab melakukan diplomasi perdagangan dengan para penguasa di Selat Malaka agar VOC mendapat tempat di hati rakyat untuk berdagang. Diaz sukses karena dia belajar bahasa Melayu, dan raja-raja menerimanya, meskipun Selat Malaka itu berada dalam kekuasaan Portugis.
Diaz bukan satu-satunya orang di luar Melayu yang belajar bahasa Melayu. Hampir semua orang yang berkepentingan berdagang di Asia Tenggara belajar Bahasa Melayu, karena bahasa ini menjadi lingua franca di Andalas, Java, Borneo, Selebes, Celion, Mianmar, Thailand. Bahkan, orang-orang China, Gujarat, Tamil, Persia, dan yang dari jazirah Arab belajar bahasa Melayu.
Soal lingua franca ini dijelaskan Anthony Reid dalam sejumlah bukunya yang membicarakan perdagangan di Asia Tenggara sejak abad ke-14. Pada saat itu, semua pelabuhan dagang dihuni oleh orang-orang berbahasa Melayu. Bukan berarti tidak ada bahasa lokallainnya. Ada. Tapi, bahasa Melayu menjadi alat komunikasi yang efektif bagi siapa saja yang ingin berbisnis.
Pedagang pemilik komoditas berbahasa Melayu, agen-agen yang mereka tebar di pelabuhan-pelabuhan berbahasa Melayu, dan kuli-kuli angkut di pelabuhan-pelabuhan berbahasa Melayu. Siapa saja yang tak memakai bahasa Melayu, mustahil akan dapat keuntungan dari kegiatan perdagangan.
Bahasa Melayu identik sebagai bahasa para pedagang. Sementara bahasa lokal tetap digunakan, tetapi untuk kalangan sendiri. Dengan kata lain, bahasa Melayu itu merupakan bahasa diplomasi yang dipahami semua kalangan.
Pernah terjadi peristiwa ketika Inggris di masa pemerintahan Thomas Stanford Raffles datang berdagang ke pesisir Barat sekitar pantai di Pelabuhan Tiku. Sebagai kelompok negara Britania yang berkuasa atas India, Inggris berbisnis memakai bahasa mereka dengan sedikit pengetahuan tentang bahasa Melayu.
Dampaknya, uang panjar yang diberikan Inggris kepada para agen pedagang di pesisir pantai Barat, dipahami oleh para agen sebagai uang cuma-cuma. Akhirnya, Inggris rugi dan mulai berpikir dua kali untuk berdagang di pesisir Barat.
Sejarah bahasa Melayu itu menunjukkan, bahasa ini sudah menjadi bahasa resmi di Asia Tenggara sejak beberapa abad lampau. Jika akhir akhir ini muncul gagasan mendorong bahasa Melayu menjadi bahasa resmi di ASEAN, ide itu pastilah datang dari orang yang lupa pada sejarah.